Sabtu, 02 Februari 2013

Gotong Royong di Era Globalisasi


Gotong Royong di Era Globalisasi
Mulyono D Prawiro ; Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat
Universitas Satyagama, Jakarta
SUARA KARYA, 31 Januari 2013



Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada apa yang disebut sebagai globalisasi dan modernisasi. Sebagian orang menyambutnya dengan sangat antusias, namun sebagian lagi menganggap biasa saja. Globalisasi dianggap sebagai suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu sendiri.
Globalisasi biasanya menyentuh seluruh aspek penting kehidupan manusia, bukan saja manusia baik di perkotaan tetapi juga rakyat di desa terpencil sekalipun. Globalisasi mampu menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang ada di masyarakat.
Banyak orang berpendapat bahwa sebenarnya globalisasi merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar tahun 1990-an, dan begitu populer sebagai ideologi baru sekitar awal tahun 2000-an. Istilah globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di masyarakat dunia.
Globalisasi bisa memberi berbagai kemudahan, terutama dalam mengakses komunikasi dengan kecepatan yang begitu tinggi. Informasi dan teknologi dengan sekejap mampu diperoleh, bahkan kejadian-kejadian yang muncul di belahan dunia yang dulunya sangat lambat dan melalui proses yang sangat rumit, baru kemudian menyebar informasinya dengan adanya teknologi canggih seperti, televisi, komputer, internet, telepon genggam (HP) dan berbagai alat komunikasi lainnya yang begitu beragam saat ini.
Tidak semua globalisasi menguntungkan, karena pengaruh globalisasi itu sendiri biasanya menciptakan terbentuknya manusia-manusia modern yang mementingkan dan menciptakan terbentuknya superman dan persaingan yang begitu ketat. Sifat-sifat individualistik terlihat pada manusia modern akan menggeser kegotong-royongan. Sebagaimana dicontohkan dan digambarkan oleh Prof Dr Ir Rahadi Ramlan, MSc, bahwa sebenarnya globalisasi itu, kalau tidak hati-hati akan menggeser budaya tradisional gotong-royong dalam interaksi sosial yang menjadi ciri bangsa Indonesia.
Betapa tidak, dalam era modernisasi yang sedang marak terjadi, mulai bermunculan adanya mal-mal dan supermarket di kota-kota, maka hubungan antara penjual dan pembeli hampir tidak terjadi dan bahkan tidak saling mengenal. Ciri budaya dalam transaksi jual-beli menimbulkan hubungan yang harmonis antara penjual dan pembeli, karena terjadi apa yang disebut dengan transaksi tawar-menawar. Tawar-menawar inilah yang membuat penjual dan pembeli saling kenal satu sama lain, dan akhir terjadi hubungan persaudaraan yang saling menguntungkan dan saling menghargai. Disini juga terjadi apa yang disebut oleh Stephen R Covey sebagai trust atau kepercayaan.
Meskipun saat ini telah terjadi perubahan yang maha dahsyat di kalangan masyarakat, munculnya sifat-sifat individualistik karena pengaruh budaya barat, maka perlu adanya antisipasi agar kerukunan hidup gotong-royong dan saling menghargai sesama anak bangsa yang telah ditanamkan oleh nenek moyang bangsa ini dan perlu dilestarikan.
Indonesia perlu berbenah, dan perlu meninjau kembali, apakah pengaruh globasilasi ini menguntungkan rakyat secara keseluruhan atau hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati dan mendapatkan keuntungan dari pengaruh tersebut. Untuk mengantisipasi berbagai pengaruh globalisasi yang begitu dahsyat tersebut, kita harus menghidupkan kembali partisipasi masyarakat secara luas.
Partisipasi masyarakat adalah suatu bentuk aktivitas masyarakat yang timbul sebagai konsekuensi logis dari adanya kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri, dan di sisi lain, partisipasi masyarakat adalah salah satu bentuk keberhasilan penggalangan sumber daya yang menyangkut kepentingan pelaksanaan suatu program, atau usaha tertentu, yang proses implementasinya berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Dalam bukunya berjudul Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Prof Dr R Hendra Halwani, MA, mengutarakan bahwa dalam menghadapi otonomi daerah, agenda pembangunan ekonomi daerah akan didominasi dengan program-program desentralisasi dan pengembangan ekonomi daerah yang berdaya saing. Untuk itu, tujuan dari program daerah jauh lebih luas cakupannya dari hanya sekedar pembangunan ekonomi daerah.
Program pembangunan daerah harus sudah mencakup upaya peningkatan rasa keadilan, pengembangan partisipasi masyarakat dan suatu sistem sosial politik yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kendati partisipasi masyarakat diakui sebagai bagian yang penting dalam proses penyelenggaraan kehidupan, seringkali peran serta masyarakat ini tidak bisa dirumuskan dalam posisi dan arti yang benar, sehingga dimana partisipasi masyarakat harus ditempatkan dan sampai dimana harus dilakukan menjadi kabur dan kurang fokus.
Partisipasi masyarakat bisa tumbuh dengan baik apabila dikaitkan dengan proses pemberdayaan keluarga melalui pos-pos pemberdayaan keluarga atau posdaya. Dalam pemberdayaan biasanya mengambil asumsi bahwa seseorang atau masyarakat telah mempunyai pengetahuan dan sikap dasar tentang masalah yang ingin dijadikan target, dalam hal ini peningkatan mutu keluarga, penduduk, khususnya perempuan.
Prof Dr Haryono Suyono mengatakan, bahwa pemberdayaan dimaksudkan untuk membangkitkan, meningkatkan atau mengembangkan potensi daya yang ada dalam diri manusia atau masyarakat yang bersangkutan agar mampu mengembangkan sesuatu secara mandiri atau swadaya. Dalam era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, posdaya diyakini sebagai solusi dan ujung tombak dalam mendorong partisipasi keluarga dan masyarakat. Sehingga, mampu meningkatkan kebersamaan, kepedulian dan menghidupkan kembali budaya gotong-royong.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar