Memahami
Katalisator Kebencian dalam Islamofobia Ima Sri Rahmani ; Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta; Peneliti
dalam kajian Islamophobia di UCLouvain, Belgia |
KOMPAS, 11 Juni 2021
Menelaah islamofobia akan
membawa kita pada sejarah kebencian yang telah tumbuh berkembang dengan
berbagai ragam bentuk dan fungsi. Menurut Mastnak dalam artikelnya yang
berjudul Western hostility toward Muslims: A history of the present (2010),
permulaan sikap antipati yang dikenal sebagai anti-Muslim di dunia Kristen
dimulai pada pertengahan abad ke-9, yaitu terjadi ketika ketakutan dialami
oleh masyarakat Kristen yang hidup di bawah pemerintahan Muslim di masa lalu
terhadap asimilasi budaya Islam. Dan, saat pertama kali ketika Islam menjadi
normative, fundamental, quintessential, universal enemy terjadi ketika Paus
Urban menyerukan Perang Salib pada 1095. Glorifikasi yang kemudian
terus digunakan untuk menyulut semangat yang oleh Gottschalk dan Greenberg
dalam bukunya Islamophobia and anti-Muslim Sentiment bahwa masyarakat Kristen
pada saat itu menganggap sikap dan perlakuan mereka terhadap Islam sebanding
dengan ”Christ” dalam kekristenan. Sebuah semangat yang menggunakan
kekristenan sebagai pola untuk penaklukan dan ekspansi ekonomi dan politik di
wilayah Mediterania. Namun, the west dan the
muslim world pada saat itu belum muncul sebagai batas geografis imajinatif
hingga kemudian imperialisme Eropa muncul dan menciptakan ”oriental” dan
”oksidental” sebagai wilayah pertarungan yang sulit untuk ditentukan batas
geografisnya. Hal ini berangsur-angsur berkembang menjadi rasa identitas
Eropa versus Kesultanan Ottoman pada periode modern awal. Mastnak bahkan
menjelaskan bahwa kebencian beberapa orang terhebat Eropa terus berlanjut
terhadap ”Turki”, termasuk tokoh-tokoh seperti Erasmus dari Rotterdam, Martin
Luther, dan Voltaire. Dan memasuki abad ke-19,
katalisator kebencian ini terus bertransformasi, seperti yang diungkapkan
Esposito dalam artikel pengantarnya di buku yang berjudul Fear of Muslims?:
International Perspectives on Islamophobia bahwa katalisator utama yang
mendorong munculnya ketakutan terhadap Muslim dan Islam adalah revolusi Iran,
9/11, ancaman global Al Qaeda, NIIS (ISIS), dan afiliasinya khususnya di
wilayah Afrika Utara. Kenyataan ini memberi
gambaran kepada kita bahwa sejarah di masa lalu telah menjadi ”predisposisi”
yang sangat penting. Dalam hal ini Esposito menekankan, katalistaor ini tidak
berpengaruh secara langsung terhadap kebencian di masa kini, tapi memberikan
atau menjadi sumber informasi bagi tumbuhnya kebencian di masa-masa
berikutnya. Dalam fungsi itulah,
(I)slam dalam terma islamofobia memiliki makna ’(i)slam’ sebagai sebuah
sejarah penaklukan di masa lalu dan sebagai sebuah ancaman bagi masa depan
yang kini tampak nyata kita alami dan kita lihat. Kita berada di dalam
”debris sejarah yang hidup”. Oleh sebab itu, Andrew
Rippin di dalam bukunya yang berjudul Muslim: Their Religious Beliefs and
Practice menjelaskan bahwa islamofobia bukanlah tentang Islam dan Muslim
sebagai agama dan sebagai penganut agama, melainkan tentang bagaimana Islam
dipahami oleh mereka yang berada di luar Islam. Jadi bukanlah tentang kritik
terhadap Islam, melainkan sebuah konsep yang dengannya seseorang memahami
Islam (dengan caranya sendiri). Jika kembali pada masa di
mana kata islamofobia ini pertama kali digunakan, kita akan menemukan
relevansi pandangan Rippin tersebut. Pada kenyataannya, sejarah mencatat
bahwa kata islamofobia tidak dapat dilepaskan dari sejarah penjajahan
Perancis. Kata ini digunakan pertama
kali di dalam sebuah artikel yang ditulis Maurice Delafose berjudul L’etat
actuel de l’Islam dans l’Afrique Occidental Franc?aise di tahun 1910. Dalam
posisinya sebagai seorang administrator kolonial di Sudan, Delafose
menjelaskan bahwa Pemerintah Perancis seharusnya tidak perlu takut terhadap
Muslim di Afrika Barat. Justru yang perlu ditakuti adalah non Muslim, yaitu
masyarakat lokal yang dipandang jauh lebih sulit untuk diajak bekerja sama. Bahkan
dia melanjutkan bahwa yang terjadi justru islamofilia yang justru menimbulkan
kemarahan dari masyarakat lokal non-Muslim yang jumlahnya jauh lebih banyak. Kita juga dapat menemukan
konsep islamofobia di dalam artikel yang ditulis Alain Quellien di tahun 1910
yang berjudul La Politique Musulmane dans L’Afrique Occidentale Francaise
yang memberikan perspektif yang berbeda. Dalam artikel ini, dia menggunakan
kata islamofobia ketika menjelaskan latar belakang kegagalan Perancis dalam
menaklukkan masyarakat lokal dan dalam melakukan kristenisasi serta
menganggap bahwa islamisasi adalah salah satu kendalanya. Bahwa, ajaran ”Mohametism”
mudah diterima oleh masyarakat lokal karena memiliki nilai-nilai yang mirip
dengan masyarakat asli, yaitu ”Islam berharmonisasi dengan masyarakat lokal
karena dia membolehkan perbudakan, poligami, keyakinan takhayul sehingga
Islam tidak mengubah sama sekali organisasi sosial dan ekonomi masyarakat
lokal.” Quellien menegaskan, dalam hal ini Islam dipahami oleh Pemerintah Perancis
sebagai negasi terhadap peradaban Eropa dan Kristen, karena memiliki budaya
yang barbar, representasi keyakinan yang buruk dan brutal. Nada yang sama dapat kita
temukan di dalam beberapa artikel yang lainnya. Jelas kiranya, islamofobia
tidak membahas sama sekali tentang Islam sebagai agama, tapi Islam yang
direpresentasikan oleh masyarakat lokal yang telah beralih agama ke dalam
Islam yang mereka sebut sebagai pengikut Mohametism. Lebih lanjut lagi, kata
islamofobia pun memiliki perubahan makna yang signifikan dari masa ke masa.
Perubahan makna di masa pasca-penjajahan, Perang Dingin hingga di masa
setelah serangan 9/11. Dia dipahami dengan terminologi yang berbeda, dengan
masalah dan subyek yang berbeda, target yang berbeda, serta disirkulasikan oleh
medium yang berbeda. Dan di masa kini, serangan
teroris 9/11 telah menjadi momen penting yang membangkitkan ”komposit”
kebencian lama di dalam masyarakat Eropa. Terkait hal ini, Esposito
menegaskan bahwa meskipun sejarah panjang interaksi Eropa dan Islam sudah
berlangsung sangat lama, Islam dan Muslim secara virtual tidak terlihat di
Amerika dan Eropa di masa lalu. Peristiwa 9/11 telah
menjadikan Islam dan Muslim menjadi isu yang ”laku keras” disirkulasikan di
media sosial di satu sisi dan ”kompleks” di sisi yang lain. Khususnya terkait
dengan terma islamofobia, hal ini mengarah secara spesifik terhadap
kategorisasi yang direpresentasikan oleh pelaku serangan, namun membungkus
beragam hal yang saya sebut sebagai global package object of islamophobia’, yaitu
Islam, Muslims, Arabs, dan Islamis. Islamofobia menafikan
ajaran Islam yang dinamis dan keragaman pemeluknya. Dia menempatkan semua
orang ke dalam satu keranjang yang sama. Islam dan Muslim sebagai entitas
yang monolitik. Oleh sebab itu, perdebatan
terkait kata islamofobia muncul di permukaan. Pertanyaannya adalah apakah isu
agama masih relevan di dalam memahami kebencian yang terangkum dalam kata
islamofobia? Mari kita refleksikan. Jika bicara tentang
islamofobia di India, kita akan bicara tentang sikap masyarakat Hindu. Jika
kita bicara tentang islamofobia di Amerika, kita akan bicara tentang kelompok
agama Kristen Protestan konservatif. Namun, ketika kita bicara
islamofobia di Perancis, yang akan kita dibicarakan adalah Charlie Hebdo.
Sebuah majalah mingguan yang isinya justru mengkritik hampir semua ajaran
agama yang ada di Perancis, yang dipandang sebagai representasi sekularisme
Perancis. Saya hanya ingin
menegaskan bahwa pada kenyataannya setiap negara memiliki pandangan dan
perlakuan yang berbeda terhadap berbagai kasus terkait fenomena yang kemudian
dikenal sebagai islamofobia. Di negara-negara di mana agama masih relevan dan
memegang kendali cukup besar, agama masih terus digunakan sebagai bahan anti
tesis terhadap Islam. Namun, di negara yang menempatkan agama di ruang
pribadi seperti di Perancis, islamofobia muncul sebagai bagian dari bentuk
antitesis dari hegemoni masyarakat setempat, yaitu laïctié. Kenyataan ini harus
menjadi bagian dari ”kritik diri” masyarakat Muslim. Setelah kita memahami
geneology kata islamofobia di atas, kita dapat melihat adanya sebuah
keberlanjutan cara pandang masyarakat Eropa terhadap Islam dan Muslim hingga
saat ini. ”Islam” sebagai sebuah
ajaran kebaikan tertutup oleh ”Islam” sebagai sebuah sejarah panjang. Sejarah
yang sebenarnya juga dialami oleh agama yang lainnya. Lebih jauh lagi, fakta
ini setidaknya memberikan gambaran bahwa tindakan ”biadab teroris” menjadi
perpanjangan katalis kebencian di masa kini yang paling signifikan yang dapat
memberikan dampak negatif terhadap Islam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar