”Jakarta
Bangkit” Terancam Bahaya Lingkungan Retno Suryandari ; Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta |
KOMPAS, 22 Juni 2021
”Jakarta Bangkit” menjadi tema
besar HUT Ke-494 Jakarta tahun 2021. Tema tersebut dipilih sebagai sebuah
semangat untuk bangkit dalam berbagai aspek kehidupan yang ada di Jakarta.
Sikap optimistis ini juga ditandai dengan mulai terbentuknya kekebalan
komunitas melalui vaksinasi dan adanya geliat positif dari sektor ekonomi,
sosial, dan budaya. Namun, kebangkitan
tersebut terancam menjadi slogan semata. Pasalnya, perusahaan riset Verisk
Maplecroft pada 12 Mei 2021 menyatakan bahwa Jakarta menempati posisi pertama
sebagai kota paling berisiko menghadapi bahaya lingkungan. Apabila bahaya
lingkungan ini tidak segera dicegah, seluruh aspek yang sedang dibangkitkan
tersebut hanya akan terpuruk kembali. Masalah lingkungan di
Jakarta memiliki keterkaitan erat dengan pesatnya industrialisasi dan
kepadatan penduduk. Meminjam teori Athur Lewis tentang pembangunan ekonomi,
wilayah dengan struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor industri
memiliki laju positif terhadap kepadatan penduduk. Umumnya, kepadatan
penduduk disebabkan oleh arus urbanisasi. Data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) 2020, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa (3,9
persen penduduk Indonesia). Industrialisasi dan kepadatan penduduk
memperparah kondisi lingkungan Jakarta menjadi semakin kompleks. Oleh sebab
itu, dalam rangka HUT yang ke-494 ini seyogianya dapat menjadi momen untuk
mencari solusi inklusif yang dapat menyelamatkan Jakarta dari ancaman
keterpurukan tersebut. Tumpang
tindih permasalahan lingkungan Jakarta terletak di
dataran aluvial rendah-datar dengan daerah rawa yang luas secara historis.
Rawa di Jakarta banyak dikeringkan untuk pembangunan sehingga mengakibatkan
tidak adanya daerah resapan air. Hal ini menjadi salah satu pemicu
permasalahan banjir yang sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Tarumanegara
(Kompas.com, 22/02/2021). Meskipun terletak di
kawasan delta yang dilalui oleh 13 sungai, ternyata genangan air di Jakarta
belum mampu ditampung. Hal ini menimbulkan pertanyaan antara volume limpasan
yang terlalu tinggi atau sungai di Jakarta yang menjadi dangkal dan
menyempit. Masalah banjir di Jakarta
pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain disebabkan oleh
perubahan iklim yang meningkatkan curah hujan, salah satu faktor penting yang
memengaruhi, yaitu penurunan permukaan tanah (land subsidence). Penurunan permukaan tanah
di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh ekstraksi air tanah, beban
konstruksi dan konsolidasi alami dari tanah aluvial. Menurut Abidin dkk,
secara umum permukaan tanah di Jakarta diperkirakan turun 1-15 sentimeter
(cm) per tahun bahkan 20-25 cm per tahun pada lokasi tertentu. Pembangunan infrastruktur
tidak hanya menyebabkan adanya beban konstruksi yang memperparah land
subsidence. Pembangunan infrastruktur yang masif juga memicu peningkatan
jumlah penduduk melalui urbanisasi yang kemudian berkorelasi positif terhadap
kebutuhan air. Apabila diasumsikan setiap
penduduk Jakarta sebagai kota metropolitan membutuhkan air bersih sebanyak
150 liter per hari (Ditjen Cipta Karya, 2006, Materi Pelatihan Penyegaran SDM
Sektor Air Minum), maka kebutuhan air bersih di Jakarta mencapai 578
gigaliter per tahun. Sedangkan potensi air
bersih yang diproyeksikan dari curah hujan Jakarta, yaitu 1.600 mm per tahun.
Dengan luas wilayah 662,33 km diketahui potensi air permukaan di Jakarta
1,062 teraliter. Maka, diperoleh Indeks Pemakaian Air di Jakarta sekitar 54
persen. Menurut Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air, pemakaian air di suatu wilayah sekitar 50-100
persen tergolong kategori kritis sedang dalam klasifikasi indeks pemakaian
air (IPA). Apabila dibandingkan wilayah lain di Indonesia, persentase
tersebut merupakan persentase tertinggi. Indeks pemakaian air yang
kritis tersebut diperparah dengan kondisi sungai yang tidak memadai. Sungai
yang seharusnya dapat menampung air untuk kehidupan penduduk Jakarta pada
kenyataannya telah tercemar dan tidak sesuai dengan baku mutu peruntukannya.
Hal ini pun mengakibatkan kebutuhan air tanah semakin tinggi. Diketahui dari
portal statistik DKI Jakarta pada tahun 2019 penggunaan air tanah di Jakarta
meningkat. Tidak hanya tercemar oleh
limbah cair, limbah padat juga tidak kalah melimpah. Tahun 2020 Jakarta
memproduksi sampah sebesar 7.600 ton per hari dan sebagian masuk ke sungai.
Dilansir dari Kompas.com (16/12/2019) sembilan sungai di Jakarta, yaitu
Dadap, Angke, Pluit, Ciliwung, Kali Item, Koja, Marunda, dan Kali Bekasi,
menyumbang sampah ke lautan. Hal ini mengindikasikan bahwa sungai-sungai di
Jakarta masih menjadi tempat pembuangan sampah favorit bagi masyarakat. Selain tidak mampu menampung
air bersih karena kondisi sungai yang kotor, sungai di Jakarta sebagian besar
juga tidak mampu menampung genangan air dalam volume yang tinggi. Hal ini
dikarenakan sungai di Jakarta tidak luput dari sedimentasi. Sedimentasi
memiliki kaitan erat dengan perubahan penggunaan lahan di bagian hulu. Perubahan penggunaan lahan
hutan menjadi pertanian ataupun pertanian menjadi permukiman, seluruhnya
mengakibatkan terjadinya erosi. Erosi menyebabkan tanah bagian permukaan
terbawa oleh air ke sungai sehingga menyebabkan sungai menjadi semakin
dangkal dan dipenuhi lumpur. Dangkalnya sungai dan banyaknya sumbatan sampah
membuat air hujan tidak dapat ditampung di sungai sehingga meluap. Oleh sebab
itu, banjir tidak dapat dihindari, krisis air tetap terjadi, dan penurunan
permukaan tanah semakin parah. Polusi
udara Tidak terbatas pada
permasalahan banjir saja, permasalahan lingkungan lain yang berbahaya bagi
masyarakat Jakarta adalah polusi udara. Penyumbang polusi udara di Jakarta
sebagian besar didominasi transportasi (30-40 persen) dan oleh pembangkit
listrik tenaga uap (20-30 persen). Padatnya transportasi di
Jakarta menjadi isu yang tidak pernah usai. Selama ini, pembangunan
infrastruktur transportasi lebih banyak berorientasi pada kendaraan bermotor
semata. Gubernur Jakarta mulai mencanangkan program transportasi yang
mengutamakan perpindahan manusia, bukan kendaraan atau motor pribadi, tetapi
belum sepenuhnya memperoleh dukungan. Berbagai polemik masih
terjadi seperti desakan untuk menghapus jalur sepeda permanen di Jalan
Sudirman-Thamrin hingga kritik bahwa pesepeda yang tidak membayar pajak
layaknya kendaraan bermotor dianakemaskan. Padahal apabila ditelaah kembali,
selama ini kendaraan bermotor telah banyak diberikan keutamaan namun tetap
saja macet dan tentu saja menyebabkan polusi. Tersedianya infrastruktur
yang aman bagi pesepeda dapat menjadi alternatif bagi penduduk Jakarta untuk
bike-to-work. Apabila jarak tempat tinggal dan kantor lumayan jauh, sepeda
dapat menjadi transportasi awal menuju transportasi umum, atau transportasi
setelah menggunakan transportasi umum. Karena pada dasarnya untuk mengatasi
kemacetan kuncinya adalah transportasi umum. Dan jalur sepeda pun tetap dapat
dipertahankan, karena pekerja bersepeda seperti starling (penjual kopi
keliling) dan kurir sepeda juga berhak memperoleh jalur yang aman. Penyumbang polusi udara
lain yang tidak kalah penting adalah keberadaan PLTU. Berdasarkan laporan
Greenpeace tahun 2017, Jakarta menjadi ibu kota yang dikelilingi oleh PLTU
terbanyak di dunia dalam radius 100 km. Hal ini diperparah dengan peraturan
dan penerapan standar emisi untuk polutan utama (particulate matter/PM) 2,5;
sulfur dioksida (SO2); sulfur dioksida (NO2); dan debu) yang masih sangat
lemah di Indonesia. Apabila dibandingkan dengan
PLTU di negara lain, PLTU baru di Indonesia diperbolehkan untuk mengeluarkan
emisi SO2 sebanyak 20 kali lebih
tinggi dari PLTU baru di China dan 7 kali lebih tinggi dari PLTU baru di
India. Padahal SO2 sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, yaitu dapat
menurunkan fungsi paru-paru, iritasi mata, penyakit jantung, dan memperparah
asma. Sulfur dioksida juga penting diperhatikan karena mampu membentuk
partikel PM 2,5 yang mematikan. Bagi lingkungan, SO2 merupakan penyebab utama
hujan asam yang dapat merusak berbagai infrastruktur ataupun ekosistem. Oleh sebab itu, pada HUT
Jakarta yang sudah mencapai angka 494 tahun ini seharusnya mendapatkan kado
dari pemerintah dan PLN untuk segera melakukan transisi energi fosil ke
Energi Baru Terbarukan (EBT). Meskipun PLN mengatakan bahwa akan mengeksklusi
batubara di tahun 2023 atau 2025, tetapi
tindakan kontradiktif, yaitu pembangunan PLTU baru sebesar 27 gigawatt
sebelum 2023 atau 2025, tetap dilaksanakan. Hal ini akan memperparah polusi
udara di Jakarta dan menghambat tercapainya target Indonesia untuk mencegah
kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius. Jakarta dan kota-kota lain
tidak bisa menunggu lebih lama. Penghentian penggunaan energi fosil sebaiknya
dilakukan sejak saat sekarang. Indonesia sebagai negara tropis memiliki
potensi besar untuk penggunaan energi terbarukan seperti pembangkit listrik
tenaga surya. Hal ini menjadi wacana strategis untuk menyelamatkan lingkungan
di Indonesia termasuk di Jakarta. Berbagai permasalahan
lingkungan yang tumpang tindih di Jakarta pada dasarnya tidak dapat
diselesaikan oleh satu sektor semata. Pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat
memiliki peran masing-masing dalam mencegah terpuruknya Jakarta setelah
dibangun sekian lama. Pembentukan regulasi yang tepat, eksekusi yang sesuai
dan edukasi kepada masyarakat yang masif harus menjadi prioritas.
Langkah-langkah tersebut dapat menjadi kado ulang tahun dari seluruh elemen
masyarakat di Jakarta untuk merawat Jakarta yang sudah menua dan di ambang
bahaya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar