Fobia
Pengurangan Stimulus AS Anton Hendranata ; Chief Economist PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero) Tbk, Research Director of BRI Research Institute) |
KOMPAS, 17 Juni 2021
Dalam satu atau dua bulan
terakhir, kita terusik, waswas, dan ketakutan akan dampak langkah pengurangan
stimulus moneter atau tapering off yang mungkin akan segera dilakukan Bank
Sentral AS yang dikenal dengan sebutan The Fed. Tapering off yang
dilakukan oleh The Fed adalah pengurangan pembelian surat berharga secara
bertahap. The Fed mencoba mengurangi stimulus moneternya atau tetap menyuntik
dollar AS ke dalam sistem keuangan ekonomi AS, tetapi dengan kadar yang lebih
kecil. Injeksi uang beredar yang masif dan berlimpah untuk memulihkan
perekonomian AS saat dilanda krisis ekonomi, akan dikurangi besarannya,
sesimpel itu sebenarnya. Tapering off seakan-akan
telah menodai perekonomian global yang sedang berbulan madu, yang lagi
asyik-asyiknya menikmati pemulihan setelah resesi ekonomi tahun 2020.
Tapering off membuat dunia serasa hampir kiamat saja, bagi orang yang tidak
siap lahir batin. Seharusnya kata tapering
off disikapi dengan wajar, bijak, dan hati-hati. Secara harfiah tapering off
artinya berangsur-angsur berkurang. Hal ini eksplisit mencerminkan penurunan
atau pengurangan secara perlahan, bertahap, dan gradual. Bukan dadakan, bukan
pengurangan secara drastis, yang semestinya tidak menimbulkan gejolak
signifikan atau shock dalam perekonomian. ”Taper
tantrum” 2013 Namun, kenapa tapering off
cenderung distempel super negatif oleh sebagian besar investor dan analis?
Hal ini tidak lain karena pengalaman buruk taper tantrum—koreksi terhadap
periode quantitative easing di mana bank sentral membeli aset keuangan bank
komersial dan institusi swasta lain sehingga menambah suplai uang dalam
perekonomian AS tahun 2013—yang menimbulkan trauma sampai sekarang. Mari kita lihat kejadian
persisnya sebelum taper tantrum 2013 terjadi. Krisis ekonomi AS pada
2008/2009 menyebabkan The Fed mengambil langkah ekstrem dalam kebijakan
moneternya untuk menyelamatkan dan memulihkan perekonomian AS. The Fed tak
tanggung-tanggung memberikan dua antibiotik sekaligus. Pertama, suku bunga rendah
mendekati nol persen dengan menurunkannya dari 4,25 persen per Desember 2007
menjadi 0,25 persen pada Desember 2008. Turun 4,0 persen hanya dalam kurun
setahun. Suku bunga rendah 0,25 persen dipertahankan selama tujuh tahun
hingga November 2015. Sementara yang kedua
kebijakan quantitative easing/QE (pembelian surat berharga milik pemerintah
dan swasta oleh The Fed) yang super masif. Likuiditas dollar AS saat itu
diguyurkan ke perekonomian AS. Dollar AS yang digelontorkan sekitar 3,607
miliar dollar AS selama 2008-2014. Akibatnya, aset The Fed naik signifikan
405 persen dari 891 miliar dollar AS tahun 2007 menjadi 4.498 miliar dollar
AS tahun 2014. Kedua antibiotik ini
ternyata cukup ampuh mengobati perekonomian AS yang resesi tahun 2008/2009.
Perekonomian AS berangsur pulih bertahap, pada saat itulah The Fed mencoba
mengurangi dosis antibiotik QE-nya, disebut sebagai taper tantrum 2013. Pasar
tak menduga secepat itu The Fed melakukan tapering off pada Desember 2013.
Pro dan kontra menyelimuti kebijakan ini. Akibatnya, pasar finansial global
bergejolak, aliran modal asing berlarian dari Emerging Markets ke AS. Dampak
ke Indonesia Kondisi ini sangat
mengguncang pasar finansial Indonesia. Imbal hasil obligasi RI tenor 10 tahun
mengalami tekanan sangat dalam. Rata-rata imbal hasil obligasi 10 tahun
sekitar 5,4 persen pada periode sebelum tapering off (Desember 2012-Mei
2013). Kemudian naik signifikan 2,4 persen ke 7,8 persen pada Juni-November
2013. Dan semakin tertekan lagi pada periode tapering off (Desember
2013-Oktober 2014), dengan rata-rata imbal hasil 8,3 persen. Guncangan juga terjadi di
pasar saham, tetapi tak sedahsyat di pasar obligasi. Rata-rata indeks harga
saham 4.709 pada periode sebelum tapering off (Desember 2012-Mei 2013).
Selanjutnya turun signifikan dari 4,7 persen ke 4.490 pada Juni-November
2013. Kemudian indeks pulih ke 4.813 saat tapering off (Desember 2013-Oktober
2014). Gejolak di pasar obligasi dan saham menyebabkan rata-rata nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS melemah signifikan sekitar 20,8 persen dari Rp
9.698 ke Rp 11.814. Tekanan ini terus berlanjut setelah tapering off ke Rp
13.236 AS pada periode November 2014-Desember 2015. Melihat kondisi ini dan
gejolak yang terjadi di pasar obligasi, saham, dan nilai tukar rupiah, wajar
dampak negatif taper tantrum 2013 sangat membekas dan menimbulkan traumatik
ke perekonomian nasional. Pertanyaannya, mengapa
taper tantrum 2013 membuat pasar finansial global dan Indonesia mengalami
tekanan yang dalam dan sangat berfluktuatif? Bukankah makna tapering off
secara harfiah adalah penurunan stimulus moneter secara bertahap, tak
dadakan? Kami duga penyebabnya ada perbedaan persepsi yang signifikan antara
analisis di pasar dan keputusan The Fed terkait pemulihan ekonomi AS. Di satu
sisi, The Fed cukup yakin perekonomian AS pulih dengan sangat solid.
Sementara analisis di pasar sepertinya meragukan itu. Jika ditelusuri tren
indikator perekonomian AS secara rinci, baik dari sisi permintaan, suplai,
tenaga kerja, maupun inflasi, maka terbukti pemulihan ekonomi AS tidaklah
solid, tetapi cenderung bergerak mix antarsatu variabel dengan variabel
makro-ekonomi lainnya. Contohnya, dari sisi permintaan, tren pertumbuhan
penjualan eceran cenderung melambat dari 6,7 persen pada Desember 2010 ke 3,5
persen pada Desember 2013. Sementara penjualan kendaraan bermotor meningkat
dari 12,4 juta ke 15,5 juta. Dari sisi inflasi, sangat jelas permintaan
domestiknya belum begitu kuat, tercatat masih jauh di bawah 2 persen pada
Desember 2013. Bagaimana dengan kondisi
sekarang? jika The Fed akan kembali melakukan tapering off dalam waktu dekat.
Rasanya kondisi perekonomian AS saat ini, jauh berbeda dengan taper tantrum
2013. Kami kira dampak negatif tapering off, tak sedasyat taper tantrum 2013.
Titik krusialnya tergantung pada komunikasi Gubernur Bank Sentral AS Jeremy
Powell. Jika ini bisa dikomunikasi
dengan baik ke pelaku pasar dan jelas pesannya, kami kira dampak buruknya
bisa dimitigasi banyak negara, termasuk negara berkembang (Indonesia).
Komunikasi adalah sangat penting dan ini seni tingkat tinggi. Komunikasi
adalah bagian dari kebijakan yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan itu
sendiri. Pemulihan
AS sangat solid Berbagai indikator
makro-ekonomi AS akhir-akhir ini menunjukkan tren perkembangan data yang
sangat jelas dan pemulihan ekonomi yang sangat solid. Pertama, dari sisi
permintaan. Pertumbuhan penjualan ritel naik signifikan dari 2,3 persen di
Desember 2010 ke 51,2 persen pada April 2021. Penjualan kendaraan bermotor
sangat tinggi 16,3 juta pada Desember 2020 dan naik lagi ke 17 juta pada Mei
2021. Indeks Kepercayaan Konsumen juga menunjukkan optimisme selama dua bulan
terakhir, yaitu 117 pada April dan Mei 2021, dari pesimisme 87,1 pada
Desember 2020. Kedua, dari penawaran.
Pertumbuhan produksi industri meningkat tajam dari minus 3,2 persen Desember
2020 ke 16,5 persen April 2021. PMI komposit (manufaktur dan jasa) dari 55,3
di Desember 2020 ke 68,7 pada Mei 2021 (berada di zona ekspansif), dan
utilisasi kapasitas produksi di kisaran 74 persen selama periode Desember
2020-April 2021. Ketiga, dari sisi pasar
tenaga kerja. Tingkat pengangguran turun signifikan dari 6,7 persen di
Desember 2020 menjadi 5,8 persen pada Mei 2021. Begitu juga, klaim
pengangguran awal (initial jobless claims) turun tajam dari 763 ke 385 pada
periode sama. Sementara laju pembukaan pekerjaan baru meningkat dari 4,5
persen menjadi 5,3 persen. Keempat, tren data output
gap yang mencerminkan perbedaan output aktual dan output potensial. Jika
output gap negatif, ini berarti output aktual berada di bawah output potensialnya.
Sebaliknya, output gap positif artinya output aktual di atas output
potensialnya. Perekonomian yang baik dan dalam tren positif adalah output gap
menuju ke arah positif. Terbukti output gap AS cenderung bergerak ke arah
positif. Output gap AS tercatat minus 10,1 persen pada triwulan II-2020,
diperkirakan akan membaik pada triwulan III-2021 sekitar minus 1,3 persen,
dan terus membaik ke minus 0,8 persen di triwulan IV-2022. Berdasarkan data yang
sangat komprehensif, kami berpendapat pelaku pasar sudah mulai mengantisipasi
(price in) bahwa tapering off AS akan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
Dampak negatif tapering off seharusnya tak seburuk taper tantrum 2013. Namun,
sekali lagi, tergantung komunikasi yang mulus dan efektif dari The Fed, kapan
tapering off akan dilakukan? Pemerintah, otoritas
moneter, dan pelaku usaha tetap harus berhati-hati dengan risiko yang tak
terduga dari tapering off. Tapering off pasti akan terjadi, karena ini
tindakan normal. Jadi bereaksilah secara normal dan terukur. Antibiotik QE
memang harus dicabut, agar perekonomian bisa tumbuh secara natural dan
berkesinambungan, bukan terus-terusan diberikan ’doping’. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar