Kekerasan
dan Radikal Revolusioner Guntur Sukarno ; Putra Sulung Presiden RI dan Pemerhati
Sosial |
KOMPAS, 22 Juni 2021
Akhir-akhir ini kata
radikalisme kerap muncul dalam topik dan perbincangan berbagai kalangan, di
pemerintah maupun di masyarakat. Radikalisme dalam konteks
bentuk dan aksi kekerasan yang merusak dan membuat kekacauan, mengusik
keamanan publik pada intinya dilihat sebagai suatu bahaya. Karena itu, perlu
diminimalkan, dicegah, bahkan dihilangkan (deradikalisasi). Pemikiran ini berkembang
terutama di kalangan tokoh nasional, pemerintahan maupun masyarakat yang
melihat radikalisme sebagai paham dan sumber dari tindakan ekstrem yang
berujung munculnya aksi-aksi seperti bom bunuh diri dan teror serta
terorisme. Bung Karno yang sejak muda
kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB) pada 1921, hingga
memimpin bangsa Indonesia 1945-1967 justru berpendirian sebaliknya tentang
hakikat radikalisme. Menurut Bung Karno, sikap,
sifat radikal dan revolusioner sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama untuk mencapai cita-cita kemerdekaan dan mendirikan
masyarakat yang adil dan makmur (sosialisme religius). Ini, artinya, menurut
Bung Karno, radikalisme berada juga dalam makna dan konteks yang positif dan
produktif. Jika kita membaca
artikel-artikelnya seperti "Di Bawah Bendera Revolusi" (DBR) Jilid
1 dan 2; "Sarinah; Indonesia Menggugat" khususnya "Mencapai
Indonesia Merdeka", Bung Karno antara lain menjelaskan, perlu adanya
satu partai pelopor yang harus bersepak terjang, tak hanya radikal tetapi
juga revolusioner di masyarakat. Menurut Bung Karno, Nabi
Muhammad SAW adalah sosok yang radikal dan revolusioner, juga Nabi Isa
Almasih atau Yesus Kristus. Hal itu karena keduanya telah menjebol dari
akar-akarnya paham-paham lama, dan diganti dengan paham-paham dan ajaran baru
secara revolusioner. Secara etimologis, kata
radikal berasal dari kata radix yang dalam Encyclopedia Britannica berarti
akar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme selain bermakna
paham atau aliran yang radikal dalam politik, juga paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis serta berarti sikap ekstrem dalam aliran politik. Sementara terorisme dalam
KBBI bermakna hampir sama, yaitu sebagai penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama politik) atau
praktik tindakan teror. Dimusnahkan
atau dikembangkan Kini, masalahnya
radikalisme mana yang harus ditiadakan, dan sebaliknya mana yang didukung dan
dikembangkan? Seperti kata Bung Karno,
tanpa sikap radikal dan revolusioner, sulit bagi kita mencapai suatu
masyarakat sosialis religius yang adil dan makmur apalagi jika hanya bersikap
pragmatis. Dalam teori dan praktik tak akan mungkin dicapai. Yang seharusnya
dihilangkan adalah sikap atau perbuatan yang bersifat Anarko Sindikalisme
atau perilaku yang kekiri-kirian radikal. Jika seseorang memiliki
sikap kekiri-kirian radikal, tentu sikap dan sifatnya akan anarkistis dan
menjurus pada aksi-aksi insureksi atau pemberontakan yang ujung-ujungnya
berdarah-darah dan chaos, seperti yang dilakukan oleh para teroris selama
ini. Jadi, yang harus dimusnahkan atau dihilangkan adalah radikalisme yang
kekiri-kirian dan bukan radikalisme revolusioner yang menghendaki adanya
perubahan nilai-nilai lama diganti dengan nilai-nilai baru dari akar-akarnya
di masyarakat Selama ini, sejumlah
kalangan kebanyakan mencampur adukkan pengertian radikalisme yang positif dan
produktif dengan radikalisme yang kekiri-kirian. Hal itu karena mereka awam
atau tak mengetahui adanya visi Bung Karno mengenai radikalisme dan
pragmatisme, juga revolusioner. Apalagi bagi mereka yang
berpendidikan Barat dan berpaham liberalisme dan tak memahami teori-teori
Bung Karno. Teori itu tertuang dalam cita-cita politik Bung Karno, sebagai
seorang nasionalis, cita-cita sosialnya adalah sosialis dan cita-cita
sukmanya adalah seorang theis. Singkat kata, seorang yang percaya sepenuhnya
adanya Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini ajaran Islam. Jadi kita jadi maklum
mengapa ada di antara kita, yang seolah fobia terhadap radikalisme. Teroris
dan radikalisme Bila kita hubungkan antara
kegiatan terorisme yang saat ini merebak lagi dengan masalah radikalisme maka
kita harus jelas mengerti bahwa radikalisme yang dianut teroris di mana-mana
adalah radikalisme kekiri-kirian atau Anarko Sindikalisme yang ujung-ujungnya
bersifat insureksi atau pemberontakan. Aksinya akan berdarah-darah dan
membuat chaos. Terorisme di era sekarang
ini, ideologinya—kalau dapat dikatakan “ideologi”— sudah berbeda dengan
terorisme klasik beberapa dekade lalu. Ideologi mereka saat ini,
“untuk masuk surga kita harus banyak membunuh manusia, apapun agama maupun
keyakinannya, dan jika berhasil roh pelaku akan dijemput 70 bidadari masuk ke
dalam surga.” Bukan main! Alangkah indah dan eloknya dijemput 70 bidadari
langsung masuk surga. Bagaimana kalau pelaku terornya seorang wanita seperti
kejadian di Mabes Polri? Bagi kita yang terpenting
sekarang ini adalah bagaimana caranya kita menumpas adanya benih-benih Anarko
Sindikalisme di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda
Indonesia. Tentu, dengan mengikuti berbagai ajaran agama secara benar, selain
juga peningkatan pendidikan dan pemahaman terhadap ideologi Pancasila, UUD
1945, serta perbaikan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi dengan pemerataan
dan keadilan. Selain itu, tentunya juga
bagaimana caranya meningkatkan kemampuan intelijen dan satuan khusus anti
teror kita seperti Detasemen Khusus 88 Kepolisian Negara RI, agar dapat
setingkat, bahkan lebih baik dibandingkan Mossad di Israel di dunia
intelijen, dan SAS di Inggris atau GSG-9 Jerman dalam satuan khusus anti
teror, Selain itu, peningkatan
pemahaman dan pendidikan serta upaya deradikalisasi yang efektif dan
berkelanjutan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) untuk
mencegah dan mengatasi Anarko Sindikalisme dan radikalisme yang
kekiri-kirian. Jika dilandasi semangat dan sikap radikalisme yang
revolusioner, semuanya pasti bisa! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar