Rabu, 23 Juni 2021

 

Membangun Ekonomi Demokratik

Wihana Kirana Jaya ;  Guru Besar FEB Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 22 Juni 2021

 

 

                                                           

Dari sudut pandang ekonomi institusional, terdapat paradigma yang saling bertentangan, yakni ekonomi demokratik vs ekonomi ‘nondemokratik’ (ekstraktif).

 

Ekonomi ‘nondemokratik’ di sini maksudnya adalah ekonomi yang didesain dan dikuasai oleh sekelompok elite pelaku ekonomi melalui aturan-aturan main yang menguntungkan kelompok elite tersebut demi memperoleh lisensi monopolistik atau oligopolistik, termasuk dalam mengeksploitasi sumber daya alam (SDA). Tipe-tipe ekonomi nondemokratik, seperti kapitalisme kroni, kapitalisme negara, dan kapitalisme liberal, cenderung bersifat ekstraktif.

 

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi mengatakan masa pandemi ibarat komputer sedang hang, sehingga menjadi momentum untuk resetting sistem (ekonomi/kesehatan/pembangunan). Maka, mendesain dan membangun ekonomi demokratik dalam jangka panjang relevan usai pandemi nanti, sebab sejak reformasi, institusi politik yang demokratik telah berkembang di Indonesia.

 

Istilah ekonomi demokratik diperkenalkan oleh Geoff Hodgson tahun 1984 melalui bukunya Democratic Economy. Majorie Kelly dan Ted Howard mempopulerkan istilah itu kembali dengan bukunya The Making of Democratic Economy; Building Prosperity For the Many, Not Just the Few (2019). Kelly dan Howard mendefinisikan ekonomi demokratik sebagai ekonomi dari, oleh dan untuk rakyat, sedangkan ekonomi ekstraktif adalah ekonomi ‘dari yang 1 persen (orang terkaya), oleh yang 1 persen, dan untuk yang 1 persen”.

 

Dampak ekonomi pandemi memperlebar ketimpangan akibat meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Hal ini terindikasi dari naiknya Rasio Gini menjadi 0,385 per September 2020, dari posisi September 2019, sebesar 0,380 sesuai data BPS.

 

Sebelumnya, Global Wealth Report (2018) menunjukkan 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan (finansial dan non-finansial) penduduk dewasa. Ketimpangan penguasaaan aset ini berkecenderungan memburuk pasca-pandemi.

 

Inklusif

 

Ekonomi demokratik bersifat inklusif. Namun, ekonomi inklusif tak selalu bersifat demokratik. Ekonomi demokratik adalah ekonomi inklusif yang didukung oleh institusi politik yang demokratik.

 

Salah satu tujuan utama ekonomi inklusif adalah mengatasi masalah eksklusi sosial dan ketimpangan ekonomi, dengan membangun masyarakat yang lebih berdaya tahan dan mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat di dalam proses pertumbuhan (kegiatan value creation) sekaligus pendistribusian wealth hingga ke tingkat komunitas. Prinsip ekonomi inklusif sesuai dengan peribahasa a rising tide lifts all boats, yakni bahwa ‘pasang naik mengangkat semua kapal dan perahu’.

 

Dalam Why Nations Fail (2012), Acemoglu dan Robinson berargumentasi, faktor pembeda utama antarnegara adalah institusi. Institusi ekonomi inklusif menegakkan hak milik, menciptakan peluang yang sama (a level playing field), dan mendorong investasi teknologi dan keterampilan baru. Kondisi seperti ini lebih kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.

 

Ekonomi Indonesia semasa Orde Baru dapat dikategorikan berinstitusi inklusif hingga akhir 1980-an. Namun, setelah itu berkembang menjadi ekstraktif, yang terindikasi dari kapitalisme kroni hingga terjadinya krisis ekonomi 1997/1998.

 

Implementasi praktis

 

Kelly dan Howard mengangkat tujuh prinsip ekonomi demokratik, yakni komunitas, inklusi, tempatan/lokalitas, dan menempatkan SDM di depan modal (fisik/finansial). Di samping itu, kepemilikan (modal/alat produksi) yang terdemokratisasi, keberlanjutan dan pembiayaan etis.

 

Kelly dan Howard menekankan bahwa kepentingan/manfaat bersama perlu didahulukan. Raghuram Rajan (2019) menyebutkan perlunya pertumbuhan ekonomi didistribusikan ke seluruh komunitas, sehingga warga tak perlu meninggalkan komunitasnya untuk memperoleh pekerjaan. BUMDesa dapat menjadi model dalam menerapkan prinsip-prinsip di atas.

 

BUMDesa perlu dikembangkan menjadi entitas kewirausahaan sosial inklusif untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan, sekaligus lembaga ekonomi demokratik tingkat desa. Secara etis, pengembangan BUMDesa dibiayai dengan Dana Desa/APBDes, baik modal awal maupun untuk ekspansi usaha. Komunitas lokal mendapat peluang menanamkan modal untuk meningkatkan pendapatan.

 

Berikutnya adalah kelompok-kelompok swadaya masyarakat, baik kelompok tani/kelompok wanita tani (KWT)/kelompok tani hutan (KTH) maupun kelompok-kelompok usaha kolektif. Kelompok-kelompok ini dapat dikatakan sebagai koperasi informal.

 

Mereka perlu difasilitasi untuk menjadi koperasi-koperasi formal dan bantuan modal. Bagi sebagian besar kelompok-kelompok usaha ini, biaya untuk formalisasi menjadi koperasi berbadan hukum cukup berat.

 

Para petani gurem dan buruh tani sebaiknya dihimpun dalam kelompok-kelompok usaha bersama atau koperasi dengan mengembangkan kegiatan ekonomi non-usaha tani perdesaan, sehingga mempermudah fasilitasi oleh pemerintah.

 

Sementara di daerah perkotaan, termasuk desa yang sifatnya urban, pengembangan kelompok usaha bersama dapat menyasar kegiatan pengelolaan persampahan/bank sampah, urban farming, budidaya tanaman hias, dan lainnya.

 

Model lainnya yang cukup inovatif adalah Balai Ekonomi Desa (Balkondes) yang dikembangkan di daerah perdesaan Borobudur. Pengembangan Balkondes di 20 desa di sekitar kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) Borobudur difasilitasi oleh sejumlah BUMN.

 

Balkondes yang mengelola sejumlah homestay berfungsi sebagai pusat layanan sekaligus outlet produk-produk kreatif lokal. Pengembangan pariwisata ini juga melibatkan transportasi tradisional (andong), kuliner, dan seni pertunjukan tradisional. Dengan cara ini, komunitas lokal tak hanya menjadi penonton pembangunan pariwisata ‘superperioritas’ , seperti halnya KSPN Borobudur, melainkan berpartisipasi aktif. Konsep ini dapat direplikasi di sekitar KSPN-KSPN lainnya.

 

Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial berbasis kelompok juga bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi usaha kolektif produktif. Selain itu, masih terdapat ratusan ribu unit usaha mikro/kecil di lingkup UMKM yang perlu fasilitasi pemerintah. Program Bantuan Langsung Tunai/Bansos semasa pandemi merupakan contoh kebijakan ekonomi inklusif.

 

Implementasi ketujuh prinsip perlu diperluas dalam rangka membangun dan mewujudkan ekonomi demokratik yang dimulai dari tingkat komunitas. Ekonomi demokratik secara prinsip adalah sistem atau institusi ekonomi yang dikehendaki UUD 1945 dengan Pancasila sebagai value systems.

 

Prinsip-prinsip ekonomi demokratik juga sejalan dengan agenda 2030 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) menyangkut 17 butir dan lima pilar: People, Planet, Prosperity, Peace, Partnership. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar