Rabu, 23 Juni 2021

 

Ruang Seleksi Kepemimpinan 2024

Yunarto Wijaya ;  Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

KOMPAS, 23 Juni 2021

 

 

                                                           

Dalam beberapa pekan terakhir terjadi eskalasi penyebutan nama para kandidat Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Pemantiknya adalah rilis survei dan juga opini para pengamat maupun politisi. Eskalasi dari survei berasal dari ramainya rilis hasil survei baik dari lembaga survei yang namanya sudah dikenal maupun yang baru belakangan muncul. Atensi publik dan media tak jauh dari soal tingkat keterkenalan dan elektabilitas kandidat secara perorangan.

 

Di sisi lain, pengamat dan politisi juga mulai melempar wacana mengenai format pasangan. Yang menarik, ada dua kategori kandidat yang ternyata masih sering disebut bahkan kadang ditonjolkan: ketua umum parpol dan politisi kawakan, yaitu politisi yang pada 2024 nanti sudah berusia minimal 70 tahun.

 

Membatasi Seleksi

 

Di satu sisi, pemunculan nama-nama ketua umum (ketum) parpol itu merupakan hal lumrah. Normatifnya, setiap parpol niscaya memajukan kader terbaiknya. Dan, asumsi yang digunakan: posisi ketum adalah penghargaan yang diberikan kepada kader terbaik partai.

 

Kecenderungan seperti ini lebih terasa lagi terjadi di parpol yang bertipe partai figur. Pemunculan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Prabowo Subianto, contohnya. Partai Demokrat dan Partai Gerindra merupakan contoh partai figur yang personal, personalistik dan juga personalis.

 

Partai personal adalah partai yang bertumpu pada karisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik (Calisse, 2015). Mirip dengan itu, partai personalistik adalah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya (Gunther dan Diamond, 2003). Partai personalis adalah yang ditandai pemusatan pada pemimpin partai, sekaligus dengan kapasitas organisasi kepartaian yang minimum atau dilemahkan (Kostadinova dan Levitt, 2014).

 

Pemunculan nama Muhaimin Iskandar atau Puan Maharani dan juga Megawati konsekuensi logis ketika partai massa bertransformasi jadi partai personalis. Mengikuti Kostadinova dan Levitt, dalam konteks kepemimpinan, PKB adalah partai personalis yang tak bertumpu pada karisma pemimpin, tetapi lebih keterampilan politik Muhaimin dalam menancapkan pengaruhnya di PKB.

 

Sebaliknya, PDI Perjuangan (PDI-P) menjadi partai personalis karena kombinasi karisma dan keterampilan politik Megawati mendominasi struktur partai. Tapi, pemunculan nama ketum tak melulu berasal dari partai figur. Nama Airlangga Hartarto, umpamanya, harus dibaca sebagai strategi politik secara kelembagaan. Mengikuti tipologi Kostadinova dan Levitt, Golkar merupakan partai yang terinstitusionalisasi. Kekuatan utamanya pada kapasitas organisasi, bukan daya tarik ketua partai.

 

Terlepas dari tipe partai, pemunculan beberapa nama ketum parpol memiliki motif yang cenderung berkelidan. Kebutuhan meningkatkan awareness (Muhaimin, Airlangga, Puan) ataupun melentingkan elektabilitas (Prabowo, AHY) bertemu dengan kebutuhan membangun daya tawar politik maupun mengonsolidasikan partai. Pada saat yang sama, pemunculan politisi kawakan sesuatu yang di luar ekspektasi banyak kalangan.

 

Sebelumnya, ada semacam asa Pilpres 2019 akan jadi ajang terakhir bagi politisi generasi baby boomer (kelahiran 1946 hingga 1964). Harapan ini berpotensi kandas. Setidaknya, karena dua hal. Pertama, politisi dari silent generation (lahir sebelum 1946) rupanya masih bisa berkontestasi dan punya kans untuk menang. Keterpilihan Biden (lahir 1942) ataupun Ma’ruf Amin (lahir 1943) seakan jadi justifikasi usia lanjut tak selalu jadi penghambat dari sisi elektoral.

 

Kedua, dalam konteks Indonesia, penyebutan nama para politisi kawakan menjadi lebih menggema ketika dikaitkan dengan wacana presiden boleh tiga periode. Jika wacana ini bisa lolos di MPR-DPR, tak hanya Joko Widodo (Jokowi) yang berpeluang. Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (lahir 1949) disebut-sebut akan jadi lawan paling sepadan dengan Jokowi.

 

Tak hanya itu, Jusuf Kalla (lahir 1942) juga dinilai punya peluang besar menjadi wapres untuk ketiga kalinya.

 

Diapungkannya kembali pasangan Megawati-Prabowo yang pernah berpasangan di Pilpres 2009 menunjukkan politisi kawakan masih diperhitungkan punya kans memenangi kontestasi. Terlebih, faktualnya, politisi kawakan punya posisi sangat strategis dalam menentukan kandidat yang kelak akan diusung partai mereka. Megawati dan Prabowo adalah ketum parpol, SBY ketua dewan pembina di Partai Demokrat. Bahkan, meski tak punya posisi strategis, Kalla diyakini masih punya pengaruh dalam skala tertentu di Golkar.

 

Tapi, di sisi lain, pewacanaan ketum dan politisi kawakan secara dini dan masif juga dapat dimaknai sebagai upaya membatasi proses seleksi calon pemimpin di 2024. Dalam hal ini, proses seleksi hendak dibatasi pada satu calon saja, setidaknya di tingkat internal tiap partai. Ini bagian dari politik simbol untuk mengingatkan kader partai itu untuk tak melakukan manuver. Juga jadi pesan politik pada kandidat di luar partai bahwa kesempatan mereka diusung hanya maksimal sebagai pendamping.

 

Selain pewacanaan, upaya membatasi proses seleksi juga dilakukan dengan cara mendorong agar Pilpres 2024 nanti hanya diikuti dua pasang kandidat sebagaimana Pilpres 2014 dan 2019. Salah satu caranya dengan tetap mempertahankan ambang batas presiden (presidential threshold) yang ada saat ini. Beriringan dengan itu, ada upaya mendorong terbentuknya koalisi sejak dini dengan alasan klasik seperti mewujudkan koalisi permanen, mengefisienkan pemilu dan mendorong terbentuknya pemerintahan yang kuat.

 

Memilih kalah

 

Meski begitu, peluang bukan sama sekali tertutup bagi kandidat non-ketum parpol. Sejumlah partai menengah dan kecil belum bersikap atau membuka pintu bagi calon dari internal atau eksternal partai. Nasdem malah mengambil langkah berani ‘mencuri panggung’ dengan gagasan konvensi. Meski bukan ide baru, gagasan ini secara telak antitesis dari upaya membatasi proses seleksi itu. Adalah tantangan buat Nasdem untuk membuktikan konvensi yang akan dijalankannya tak berakhir anti-klimaks seperti pernah terjadi pada Demokrat.

 

Yang tak kalah penting, pilpres masih sekitar dua tahun lebih. Politisi yang sekadar kader biasa atau yang tak berpartai (kepala daerah, pemuka agama, selebritas hingga unsur TNI/Polri) masih punya peluang diusung. Politik Indonesia cukup dinamis, segala kemungkinan masih cukup terbuka. Asumsinya, pada saatnya parpol akan bersikap rasional. Pada akhirnya, mereka akan melihat tren elektabilitas. Kandidat yang berpotensi menang akan didukung.

 

Problemnya, asumsi itu bisa saja terlanggar. Setidaknya, ada tiga faktor yang bisa jadi penyebabnya. Pertama, parpol percaya kalkulasinya sendiri. Dalam hal ini, parpol tetap mendukung ketum partainya sendiri yang tren elektabilitasnya rendah atau stagnan. Mereka berkeyakinan hasil survei masih bisa berbalik seiring proses kampanye. Kalkulasi ini bukan sekadar ilusi. Setidaknya, Pilpres 2014 dan 2019 menunjukkan peluang mengejar kandidat yang semula diprediksi bisa menang dengan margin besar nyaris bisa dilakukan.

 

Contoh keberhasilan kuda hitam memenangi kontestasi politik cukup banyak. Ini umpamanya dilakukan Donald Trump ketika mengalahkan Hillary Clinton di pilpres AS 2016 lalu. Dalam konteks pilkada, hal serupa pernah dilakukan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2008, Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko pada Pilkada Jawa Tengah 2013, Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012 atau juga Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilgub DKI Jakarta 2017, untuk menyebut beberapa contoh.

 

Kedua, parpol secara sadar memilih strategi ‘bunuh diri elektoral’. Maksudnya, parpol sengaja tetap mengusung ketum partai meski sudah berkalkulasi akan kalah. Yang dikejar adalah efek ekor jas (Coat-Tail Effect) dari pencalonan itu. Dalam hal ini, pilpres hanyalah agenda tambahan untuk mendukung agenda utama: pemilu legislatif (pileg). Ini bisa jadi pilihan menarik karena meyakini koalisi permanen tak akan terwujud sebagaimana terjadi di pilpres 2019 lalu. Kesempatan meraih posisi menteri di kabinet tetap akan terbuka, terlebih jika meraih kursi yang signifikan di DPR.

 

Masih terkait itu, ketiga, ada upaya pengendalian risiko. (Ketum) partai berupaya mencegah kerugian lebih besar. Dalam hal ini, parpol bersikeras mencalonkan ketumnya sendiri daripada mengusung kader partainya yang secara elektoral lebih besar peluangnya untuk menang. Pilihan ini dilakukan karena elite parpol memprediksi adanya potensi kerusakan reputasi organisasi yang fatal jika kader itu justru memenangi pilpres.

 

Sebab, kader itu diduga bisa atau terpaksa membuat kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan garis politik parpol. Selain itu, ketum sangat mungkin punya prediksi bahwa kader biasa itu bisa saja kemudian terdorong mengambil alih kepemimpinan partai setelah terpilih menjadi presiden atau wakil presiden.

 

Harus berkoalisi

 

Timbul pertanyaan, apakah sikap parpol untuk tak realistis tadi bisa dieksekusi? Jika ambang batas presiden tak diturunkan, hanya PDI-P yang bisa. Mereka bisa mencalonkan diri secara mandiri karena jumlah kursi di DPR lebih dari batasan minimal 20 persen, persisnya 22,26 persen. Artinya, partai-partai figur lain yang bersikeras ngotot mencalonkan ketumnya sendiri harus berkoalisi. Perkoalisian akan membuka pintu bagi calon dari kalangan bukan ketum, baik sebagai capres atau cawapres.

 

Tak hanya itu, kemungkinan adanya lebih dari dua pasangan kandidat masih cukup terbuka. Ini artinya lebih besar lagi peluang bagi kandidat non-ketum parpol untuk ‘manggung’. Seperti ini ilustrasinya. Katakanlah PDI-P dan Gerindra berkoalisi (36 persen), minimal masih ada dua slot pasangan tersedia.

 

Misal saja ada koalisi, sebut saja Anak Bangsa (Nasdem, PKS dan PPP yang totalnya sekitar 22 persen kursi di DPR) dan koalisi demokrasi (Demokrat, PKB dan PAN, sekitar 27 persen). Masih ada Golkar yang bisa bergabung dengan salah satu dari tiga koalisi tersebut atau membelah dua koalisi terakhir.

 

Alternatif lain, tetapi jauh lebih sulit, adalah Golkar memastikan dukungan dari parpol non parlemen. Golkar bisa melakukan ini jika memiliki kandidat yang kompetitif, selain tetap memajukan Airlangga Hartanto sebagai cawapres, misalnya. Dus, ini akan menjadi ruang bagi kandidat non-ketum untuk tampil dalam pentas Pilpres 2024 nanti.

 

Seturut uraian di atas, upaya menyempitkan jalur bagi tampilnya kandidat non-elite (baca: ketum parpol) akan berhadapan dengan realitas politik (persyaratan pencalonan). Pada saat yang sama, kandidat-kandidat non-ketum justru makin giat bermanuver untuk melentingkan elektabilitasnya. Ini jelas menimbulkan gangguan psikologis politik bagi para ketum parpol.

 

Tidak jaminan

 

Pesan utama tulisan ini sederhana saja: peluang kompetisi politik harus lebih terbuka. Ketum parpol dan yang bukan ketum parpol seyogianya memiliki kesempatan yang relatif sama untuk dicalonkan. Dalam sistem presidensial, parpol normanya akan mencari kandidat terbaik dan tentunya yang paling mungkin untuk menang. Ini berbeda dengan sistem parlementer di mana ketua partailah yang diajukan sebagai kandidat menjadi perdana menteri.

 

Meski demikian, harus diakui, tak ada jaminan kita akan mendapatkan kandidat terbaik, sungguhpun peluang pencalonan menjadi lebih terbuka. Seperti diingatkan Pakulski (2013), di era pemusatan kepada pemimpin, kontestasinya lebih terarah pada citra ketimbang kebijakan atau ideologi. Ini tak lepas dari peran besar media massa. Kandidat yang memiliki keterkenalan dan elektabilitas tinggi tidak menjamin memiliki kompetensi yang tinggi juga.

 

Lebih pada itu, Pakulski juga mengingatkan kemungkinan terjadinya apa yang ia sebut sebagai kevakuman kepemimpinan. Ini bukan karena tak ada pemimpin yang tersedia untuk dipilih melainkan tak adanya calon-calon pemimpin yang berkualitas.

 

Dalam situasi seperti ini, panggung politik hanya akan diisi oleh para calon pemimpin medioker. Tipe pemimpin seperti ini, kata Pakulski, cenderung oportunis, demagog dan menghamba pada kemenangan ketimbang kesetiaan pada (ideologi) partai. Ini jelas menimbulkan kerapuhan bagi demokrasi.

 

Dan, akhirnya setiap kekuasaan selalu punya virusnya sendiri. Salah satunya apa yang disebut Musella (2018) dengan istilah hukum besi kepemimpinan. Intinya, ketika memegang tampuk kekuasaan, figur yang demokratis dan berkualitas pun tak tertutup kemungkinan untuk terus tergoda mempertahankan kekuasaannya atau memperluas kekuasaannya. Yang terakhir ini dapat saja terjadi pada kandidat non-ketum. Setelah terpilih, mereka dengan satu atau lain alasan, dapat saja tergoda untuk merebut kepemimpinan partai yang mengusungnya. Ini jelas akan mengganggu jalannya pemerintahan.

 

Kita tentu berharap akan mendapatkan pemimpin terbaik pada 2024 nanti. Tapi, juga perlu menyiapkan diri untuk mendapatkan pemimpin dengan kualitas medioker saja. Karena itu, pekerjaan rumah kita yang utama adalah penguatan kelembagaan demokrasi. Kita perlu, umpamanya, memastikan check and balances berjalan, demokratisasi internal di parpol terlembagakan dan juga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar