Rabu, 23 Juni 2021

 

Berjalan Bersama Pengungsi pada Masa Pandemi

Adrianus Suyadi ;  Sekretaris Karya Sosial-Kemanusiaan Konferensi Jesuit Asia-Pasifik, Anggota Konsultan Jesuit Refugee Service Asia-Pasifik

KOMPAS, 21 Juni 2021

 

 

                                                           

Hari Pengungsi Sedunia diperingati setiap tanggal 20 Juni. Tahun ini UNHCR, Badan Tinggi PBB urusan pengungsi, mengambil tema Together we heal, learn, and shine. Tema ini tidak lepas dari konteks yang kini sedang dihadapi masyarakat global, yakni pandemi Covid-19.

 

Kita semua terdampak oleh adanya pandemi ini. Tingkat dampak yang kita alami berbeda-beda, ada yang berat, sedang dan ringan. Bahkan, ada juga yang menikmati dampak positifnya, misalnya keuntungan besar dari bisnis daring dan alat-alat kesehatan. Para pengungsi (refugees) dan pencari suaka juga terdampak, bahkan dampak negatifnya sangat berat dibandingkan dengan warga masyarakat pada umumnya. Mereka adalah yang paling rentan dari antara kelompok rentan yang lain.

 

Untuk mencegah penularan Covid-19, diterapkan protokol kesehatan 5-M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas dan interaksi. Para pengungsi dan pencari suaka hampir tidak mungkin memenuhi protokol kesehatan seperti ini karena keterbatasan akses kebutuhan dasar kesehatan dan bahaya keselamatan jiwa mereka.

 

Terkait dengan pembatasan mobilitas dan kebutuhan pemenuhan hak-hak dasar, para pengungsi dan pencari suaka mempunyai tiga tantangan besar. Pertama datang dari negara asal mereka. Karena adanya pembatasan perjalanan antar negara, para pengungsi tidak bisa mencari perlindungan keselamatan mereka ke negara lain. Sementara jika mereka tetap tinggal di negaranya, keselamatan jiwa mereka terancam. Contohnya adalah warga Myanmar yang mengalami kekerasan militer di negaranya. Dengan adanya pembatasan perjalanan lintas negara, mereka sulit untuk secara legal dan aman lari dari negaranya untuk mencari perlindungan.

 

Kedua, pembatasan perjalanan antarnegara menyebabkan pengungsi yang mencari suaka di negara-negara transit, seperti di Indonesia, tertunda proses penentuan status pengungsi dan penempatan mereka ke negara-negara ketiga (resettlement). Karena pandemi, negara-negara penerima tersebut menerapkan pembatasan orang asing masuk ke negara mereka.

 

Ketiga, ada keterbatasan akses untuk mendapatkan kebutuhan dasar termasuk pelayanan kesehatan untuk mencegah mereka dari penularan Covid-19. Para pengungsi dan pencari suaka yang menunggu proses penentuan status kepengungsian mereka dan yang sudah mempunyai status pengungsi namun masih mengantre ditempatkan ke negara penerima biasanya ditempatkan di rumah-rumah tahanan imigrasi.

 

Situasi rumah tahanan kadangkala penuh dan kumuh sehingga hampir tidak mungkin mereka bisa menerapkan protokol kesehatan tersebut. Bagi mereka yang boleh tinggal di luar tahanan pun karena keterbatasan akses untuk pemenuhan dasar mereka kondisinya tidak layak.

 

Untuk kasus pengungsi di Indonesia, mereka yang diizinkan tinggal di luar rumah tahanan mengandalkan bantuan dari UNHCR, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang jumlahnya semakin terbatas dengan krisis ekonomi global ini. Mereka tidak mempunyai hak untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Mereka juga tidak bisa mendapatkan akses bantuan pemerintah, termasuk bantuan kebutuhan kesehatan dasar, misalnya masker atau cairan penyanitasi tangan, untuk mencegah penularan Covid-19 karena mereka tidak mempunyai kartu identitas pribadi atau surat keterangan tinggal sementara di Indonesia, selain status sebagai pengungsi atau pencari suaka.

 

Di Indonesia memang juga masih banyak warga miskin yang tidak bisa memenuhi semua kebutuhan dasar mereka. Namun, dibandingkan mereka ini, para pengungsi dan pencari suaka yang sementara mengungsi di Indonesia lebih menderita lagi karena berbagai keterbatasan akses kebutuhan dasar tersebut.

 

Pandemi ini membuat para pengungsi dan pencari suaka semakin menderita lagi. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental. Keterbatasan akses, mulai dari kebutuhan-kebutuhan dasar hingga kebutuhan legal, membuat mereka tidak mungkin bisa mendapatkan perlindungan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak dasar dan martabat sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.

 

Solidaritas dengan pengungsi

 

Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik sedunia, tak henti-hentinya menyerukan kepedulian kita bagi para pengungsi dan orang yang berpindah paksa karena alasan keselamatan jiwa dan alasan lainnya. Ia menawarkan empat bentuk perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka, yakni welcoming (hospitalitas), protecting (melindungi), promoting (mempromosikan), dan integrating (melibatkan).

 

Welcoming berarti memberikan pilihan yang lebih luas bagi para pengungsi dan migran untuk masuk ke negara tujuan secara aman dan legal. Protecting merupakan langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dan martabat pengungsi dan migran mulai dari negara asal sampai ke negara tujuan, termasuk upaya menghindari bahaya terperangkap dalam perdagangan manusia.

 

Setelah sampai di negara tujuan, perlu dipromosikan pentingnya pemberdayaan baik bagi pengungsi maupun masyarakat penerima untuk menumbuh-kembangkan potensi-potensi mereka sebagai manusia. Akhirnya baik para pengungsi maupun masyarakat penerima bisa berintegrasi, dalam arti saling memperkaya satu sama lain. Integrasi bukan berarti bahwa para pengungsi harus meninggalkan dan melupakan kekayaan identitas budaya mereka di tempat yang baru, melainkan saling berbagi harta karun kekayaan budaya masing-masing sebagai anugerah berharga yang diberikan Tuhan kepada umat manusia.

 

Komisioner Badan PBB urusan pengungsi, Filippo Grandi, dalam kunjungannya kepada Paus Fransiskus bulan April yang lalu memuji pendekatan holistik Paus dalam menghadapi masalah-masalah pengungsi dan migran. Setelah pertemuan dengan Paus, Grandi menulis status Twitter-nya demikian: ”Paus Fransiskus adalah pejuang tergigih untuk masalah pengungsi dan migran. Di dunia yang berisiko menelantarkan begitu banyak orang, saya pergi dan menemuinya hari ini untuk mencari kekuatan dan visi, dan saya meninggalkannya dengan tekad dan inspirasi untuk melanjutkan pekerjaan saya bagi mereka yang membutuhkan (pengungsi dan  migran)”.

 

Pandemi Covid-19 menyerang semua orang tanpa pandang bulu, apa pun status dan latar belakang hidup mereka. Pun bagi mereka yang mempunyai akses perlindungan terhindar dari serangan wabah ini, tetap berisiko tertular kalau orang di sekitarnya tidak bisa mencegah penularan karena keterbatasan akses kebutuhan dasar mereka.

 

Sebagai makhluk sosial, tidak akan selamanya manusia bisa mengisolasikan diri dari yang lain. Kekebalan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 hanya bisa diwujudkan dengan memberikan akses bagi semua, termasuk para pengungsi, migran, dan pencari suaka. Pemberian akses bagi mereka ini bukan semata-mata didasari oleh alasan etis dan kemanusiaan, tetapi juga sebuah keniscayaan ilmiah yang ”dipaksakan” oleh pandemi Covid-19 ini.

 

Selain pemberian akses kebutuhan dasar bagi para pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di negara transit seperti di Indonesia ini, pemerintah juga perlu mengantisipasi akan adanya penundaan pemindahan pengungsi ke negara ketiga untuk resettlement (pindah permanen). Artinya bahwa perlindungan sementara bagi para pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia kemungkinan akan semakin panjang, seraya memperjuangkan agar negara-negara ketiga tujuan resettlement mau membuka pintu untuk menerima para pengungsi ini.

 

Bagi masyarakat penerima pengungsi, kita hendaknya melihat mereka sebagai sesama manusia, sesama saudara sehingga sekurang-kurangnya tidak menambah beban mereka dengan cap negatif. Adalah melukai naluri kemanusiaan kita, memberikan lebel mereka sebagai ”virus” seperti virus korona sebagaimana yang dikemukakan oleh segelintir orang.

 

Akhirnya, kita juga perlu bersyukur bahwa masih tetap ada juga kelompok-kelompok masyarakat dan individu di Indonesia yang mempunyai kepedulian kepada mereka. Dalam situasi pandemi ini, ketika para pengungsi dan pencari suaka tidak bisa mendapatkan akses bantuan kebutuhan kesehatan dasar seperti masker, sabun cuci tangan, dan kebutuhan dasar lainnya dari pemerintah, tetap saja ada masyarakat yang membantu mereka.

 

Pandemi Covid-19 mengajarkan kita bahwa kita tidak dapat selamat sendirian. Hanya ada pilihan, kita bersama-sama sehat atau bersama-sama sakit. Bersama kita menyembuhkan, belajar dan membuka cahaya harapan untuk masa depan kemanusiaan yang lebih baik dan lebih manusiawi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar