Senin, 28 Juni 2021

 

Basmi Korupsi Dulu, Baru Naikkan Pajak

Jaya Suprana ;  Pengusaha Jamu

KOMPAS, 24 Juni 2021

 

 

                                                           

Selain masalah pagebluk korona, Jiwasraya, BPJS, bantuan sosial, dana haji, dan alutsista, pada masa kini rakyat Indonesia dihebohkan masalah rencana pemerintah menaikkan pajak.

 

Dapat diyakini bahwa memang manusia bisa dipaksa bayar pajak. Namun, pada kenyataan tidak ada manusia yang waras pikirannya gemar membayar pajak. Demi berhasil merayu agar rakyat ikhlas membayar pajak, muncul kreativitas ujar-ujar mutiara yang menyatakan bahwa membayar pajak adalah perilaku mulia, atau di dalam kehidupan umat manusia hanya ada dua kepastian, yaitu mati dan pajak.

 

Memang benar bahwa manusia dan makhluk yang hidup pasti mati meski kapan tidak dapat dipastikan, kecuali dengan bunuh diri secara berhasil. Namun, konon rakyat Brunei Darussalam, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, bahkan Kuba dan Korea Utara tidak dipaksa bayar pajak.

 

Penguasa

 

Namun, naskah sederhana ini bukan menganalisis geopolitik pajak sebab hanya mencoba menerawang masalah terbatas dari sisi persepsi rakyat terhadap pajak. Fakta membuktikan bahwa pemungut pajak lazimnya penguasa yang sedang berkuasa, sementara yang diwajibkan membayar pajak adalah rakyat yang sedang dikuasai oleh penguasa.

 

Pada masa kerajaan, pajak disebut upeti yang dibayar oleh rakyat kepada raja. Berarti uang yang diterima oleh penguasa adalah uang rakyat yang dibayar oleh rakyat yang sedang dikuasai oleh penguasa. Kemudian uang rakyat digunakan untuk membayar gaji penguasa untuk mengelola negara.

 

Dipandang dari aspek siapa yang membayar dan siapa yang dibayar, dapat disimpulkan bahwa pemilik negara yang sebenarnya adalah rakyat. Sementara yang dibayar oleh rakyat untuk mengelola negara yang dimiliki rakyat sebenarnya adalah penguasa. Berarti, rakyat adalah majikan dan penguasa adalah pegawai yang dibayar oleh rakyat untuk mengelola negara.

 

Analisis semacam itu hanya berlaku sebagai teori belaka karena pada kenyataan ternyata penguasa merasa mereka adalah majikan. Sementara rakyat yang membayar dianggap oleh penguasa sebagai pegawai meski membayar penguasa. Karena merasa sebagai pemilik negara merangkap majikan rakyat, penguasa yang di Indonesia disebut sebagai pemerintah merasa berhak memberi perintah kepada rakyat, termasuk perintah wajib membayar pajak serta menaikkan pajak pada masa paceklik ekonomi akibat korona.

 

Ekonomi

 

Memang dapat dimafhumi bahwa pada masa kesulitan keuangan, wajar pemerintah ingin menaikkan pajak demi memperderas arus transfusi duit masuk ke dalam kas negara untuk membiayai pemerintah. Namun, di Indonesia masa kini de facto situasi kondisi tidak sesederhana itu karena korupsi merupakan angkara murka utama yang ganas menggerogoti uang negara yang berasal dari uang rakyat.

 

Selama korupsi tetap dibiarkan merajalela secara adil dan merata dari jenjang teratas sampai ke jenjang terbawah lembaga kepemerintahan, upaya menaikkan pajak akan mubazir belaka, seperti upaya mengisi air ke dalam sebuah ember bocor. Sebelum memasukkan air ke dalam ember yang bocor, sebaiknya kebocoran ember diperbaiki terlebih dulu agar segenap upaya tidak mubazir.

 

Maka, seyogianya apabila pemerintah benar-benar serius berniat menyelamatkan negara dari bencana keuangan, langkah pertama yang harus dilakukan sebenarnya bukan menaikkan pajak, melainkan terlebih dulu serius membasmi habis korupsi sampai ke akar-akarnya. Dapat dibayangkan, betapa sejahtera serta makmur tata tenteram kerta raharja kehidupan rakyat Indonesia apabila bumi Indonesia yang mahakaya raya dan mahasubur gemah ripah loh jinawi ini benar-benar bebas dan bersih dari angkara murka korupsi. Merdeka! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar