Rabu, 16 Juni 2021

 

Mengawal Gerakan Literasi Nasional

Eryana Triharyani ;  Praktisi Perbukuan; Editor Buku

KOMPAS, 15 Juni 2021

 

 

                                                           

Indeks literasi suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat kemajuan bangsa tersebut dan kemampuannya untuk menjadi bangsa besar yang mampu bersaing secara global. Masyarakat suatu bangsa dengan indeks literasi yang tinggi lebih mampu mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

 

Gerakan Literasi Nasional (GLN), yang digiatkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2016, hingga kini masih terus dibenahi. Melalui berbagai kebijakan, pemerintah masih terus berupaya meningkatkan indeks literasi nasional yang saat ini masih berada jauh di bawah negara maju.

 

Tingkat ketersediaan buku yang rendah merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan budaya literasi nasional, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Di lingkungan sekolah, selain jumlah buku terbatas, buku-buku yang tersedia juga kurang menarik minat baca siswa.

 

Kualitas buku pun masih jauh dari harapan. Beberapa kasus terjadi di mana buku-buku yang beredar di kalangan siswa memuat konten yang tidak pantas, memuat konten negatif, atau kurang sesuai dengan kognisi siswa di tiap jenjang pendidikan.

 

Kurang tersedianya buku-buku bermutu dengan jumlah memadai merupakan masalah krusial yang membutuhkan perhatian semua pihak. Seperti disebutkan dalam buku Panduan Gerakan Literasi Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017, buku merupakan sarana penting bagi peningkatan semua jenis literasi dasar. Buku bukan hanya digunakan untuk meningkatkan literasi baca dan tulis, melainkan juga menjadi pintu masuk bagi penguasaan literasi dasar lainnya, yakni literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan.

 

Penilaian buku dan keterlibatan praktisi

 

Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ketersediaan buku dan rendahnya mutu buku di lingkungan sekolah adalah dengan menyelenggarakan penilaian buku teks maupun buku nonteks pelajaran. Melalui penilaian buku, pemerintah menyeleksi dan menentukan buku-buku yang layak untuk digunakan di lingkungan sekolah.

 

Program penilaian buku dapat menjadi penjaga gawang penjamin mutu buku sehingga buku-buku yang beredar di dunia pendidikan adalah buku-buku yang bermutu. Selain itu, program penilaian buku juga dapat mendorong penerbit-penerbit swasta untuk memperbaiki mutu buku sehingga tetap dapat berkontribusi menyediakan buku-buku di lingkungan sekolah dengan kualitas yang lebih baik.

 

Program penilaian buku nonteks pelajaran telah dilaksanakan selama beberapa tahun. Kemudian pada tahun 2021, pemerintah melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud kembali menyelenggarakan penilaian buku nonteks pelajaran. Proses penilaian buku nonteks pelajaran pada tahun ini melibatkan akademisi ataupun praktisi.

 

Keterlibatan praktisi dalam penilaian buku pendidikan merupakan hal baru. Para praktisi dilibatkan dengan pertimbangan bahwa merekalah yang memiliki pengalaman langsung di dunia penulisan dan penerbitan. Permasalahan dalam dunia perbukuan sangatlah kompleks, banyak hal di dalamnya yang tidak dapat dipahami jika tidak berkecimpung secara langsung. Praktisilah yang lebih memahami permasalahan seputar penulisan buku dan penerbitan.

 

Praktisi memahami bagaimana proses penerbitan sebuah buku, mulai dari rekrutmen penulis, edukasi penulis, penafsiran kurikulum (untuk buku-buku teks pelajaran), proses penulisan buku, penyuntingan buku, layout buku, pencetakan, penerbitan, hingga buku siap digunakan.

 

Kepekaan untuk mengidentifikasi adanya plagiarisme dan kesalahan dalam hal layout buku adalah beberapa di antaranya. Pengalaman dan pengetahuan tersebut memungkinkan praktisi mampu mengidentifikasi kelebihan ataupun kekurangan sebuah buku, memutuskan apakah sebuah buku layak atau tidak layak digunakan di lingkungan sekolah, serta dapat memberikan saran perbaikan.

 

Obyektivitas tim penilai

 

Selain kompetensi untuk menilai sebuah buku dengan tepat, obyektivitas merupakan syarat mutlak dalam penilaian buku pendidikan. Obyektivitaslah yang dapat menjamin mutu buku dan mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran mutu, seperti adanya konten negatif atau kurang sesuai dengan kognisi siswa.

 

Tanpa obyektivitas, maka dapat terjadi sebuah buku dengan mutu rendah dan memuat konten negatif tetapi dinyatakan layak. Atau sebaliknya, buku-buku bermutu justru dinilai tidak layak dan tidak dapat digunakan di sekolah. Untuk itu, setiap anggota tim penilai harus mampu menjaga obyektivitas dalam menjalankan tugasnya.

 

Tak dapat dimungkiri bahwa sebagian besar praktisi pernah bernaung di bawah penerbit tertentu. Namun, hal itu tidak menghalangi praktisi untuk tetap dapat bersikap obyektif ketika bergabung dalam tim penilai buku pendidikan. Obyektivitas sesungguhnya lebih merupakan komitmen pribadi dan bukan semata-mata didasarkan pada lembaga yang menaungi. Seseorang yang bernaung di bawah sebuah penerbit pun tidak menutup kemungkinan untuk secara pribadi tetap dapat berkomitmen menjaga obyektivitas dalam penilaian.

 

Kemampuan seorang calon penilai untuk bersikap obyektif harus dijadikan salah satu pertimbangan utama dalam proses rekrutmen calon penilai. Hanya calon penilai yang kompeten dan mampu bersikap obyektiflah yang mampu menempati posisi penilai. Keberadaan seorang penilai buku yang tidak mampu bersikap obyektif dalam sebuah tim penilai sangatlah berbahaya. Mutu buku dan peningkatan budaya literasi nasional menjadi taruhannya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar