Selasa, 29 Juni 2021

 

Mengapa Investor Migas Hengkang

Junaidi Albab Setiawan ;  Advokat, Doktor ilmu hukum UGM, Direktur Pusat Studi Hukum Energi (PUSHENERGY)

KOMPAS, 26 Juni 2021

 

 

                                                           

Pemerintah menargetkan produksi 1 juta barrel per hari (bph) minyak dan 12 miliar kaki kubik per hari (bscfd) gas pada 2030. Tekad itu menegaskan kenyataan bahwa migas masih jadi sumber utama penerimaan negara dan penggerak utama pembangunan.

 

Tanpa upaya luar biasa dalam menarik investasi, sulit mencapai target yang ditetapkan. Kenyataanya, lifting terus mengalami penurunan, dan kesenjangan produksi dan konsumsi migas semakin melebar.

 

Migas adalah komoditas global, yang menjadi ukuran dalam bisnis ini adalah mekanisme pasar global yang dilengkapi dengan best practice yang telah berlaku umum. Sekalipun bisnis migas adalah bisnis antara negara yang diwakili pemerintah dengan perusahaan, namun jika pemerintah menjalankanya dengan cara lebih mengedepankan kekuasaan dengan aturan kaku, berbelit serta menutup mata terhadap dinamika pasar dalam merespons alam, maka Indonesia akan dihukum pasar dengan hengkangnya investor.

 

Daya tarik utama bisnis migas adalah potensi keuntungan besar dalam iklim usaha yang fair. Namun dibalik potensi keuntungan besar itu terdapat resiko usaha yang besar pula, karena bisnis hulu migas butuh waktu lama, berbiaya mahal dana diliputi ketidakpastian hasil.

 

Maka Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) tak cukup berbekal keahlian dan data-data sumur, seismik dan komersial, lebih dari itu juga harus mampu membaca fenomena perubahan zaman baik dalam lingkup global maupun nasional di mana investasi dilakukan.

 

Hengkangnya kontraktor migas meninggalkan komitmen-komitmen bisnis yang telah dibuat dengan pemerintah (Kompas, 2/6/2021), sesungguhnya fenomena bisnis biasa, di mana secara keekonomian investasi itu dipandang tak menarik lagi. Salah satunya diakibatkan usia sumur eksisting yang sudah tua (mature), sehingga mengalami penurunan produksi alamiah sangat tajam.

 

Menurut Menteri ESDM, tanpa temuan baru, Indonesia tinggal memiliki cadangan terbukti (proven) minyak bumi sebanyak 2,44 miliar barel untuk 9,5 tahun dan cadangan gas 43,6 triliun untuk 19,9 tahun.

 

Ditambah saat ini hampir seluruh pelaku bisnis migas mengalami kerugian yang cukup besar akibat pandemi Covid-19. Wabah yang belum diketahui kapan akan berakhir ini telah mengakibatkan rendahnya permintaan migas dunia.

 

Pandemi menyebabkan hampir semua sektor usaha mengalami kemunduran karena daya beli rendah, yang berakibat pertumbuhan ekonomi juga melambat. Upaya pencegahan wabah dengan membatasi pergerakan orang mengakibatkan berkurangnya aktivitas industri. Mobilitas industri yang sangat berkurang menyebabkan kebutuhan akan migas juga menurun drastis.

 

Momentum perlambatan ekonomi ini rupanya digunakan oleh kontraktor untuk mengevaluasi diri sembari secara selektif memilih keputusan bisnis yang tepat dalam menghadapi tantangan zaman. Maka, hengkangnya para kontraktor migas dari Indonesia adalah keputusan bisnis yang pasti sudah dipertimbangkan secara masak.

 

Selain pertimbangan ekonomi dan pandemi, kontraktor juga mempertimbangan faktor tren energi ramah lingkungan (clean energy) yang melanda dunia dan faktor cadangan migas laut dalam.

 

Faktor "clean energy"

 

Secara global telah disadari bahwa energi fosil adalah penyumbang utama gas rumah kaca penyebab perubahan iklim akibat meningkatnya pemanasan global yang mengganggu keseimbangan ekosistem maupun kehidupan manusia dan pada gilirannya mengakibatkan berbagai bencana alam.

 

Untuk mengatasi itu, negara-negara bersepakat melalui Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani 175 negara 22 April 2016, mulai meninggalkan energi fosil. Untuk tujuan itu pula Indonesia berkomitmen dan sedang merumuskan kebijakan dan kerangka hukum untuk menyiapkan transisi ke pemanfaatan energi ramah lingkungan.

 

Pandangan Indonesia tercermin dalam acara Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions yang diselenggarakan oleh International Energy Agency (IEA). Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), guna mendukung pencapaian net zero emission.

 

Mengingat transisi energi merupakan inti pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dalam Rencana Energi Nasional, porsi energi baru terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 dan 32 persen pada 2050.

 

Tekanan global untuk mengupayakan clean energy secara drastis juga mulai direspons oleh para pelaku utama industri migas dunia dengan tindakan nyata.

 

Raksasa industri migas Eropa secara serius mulai mengubah visi dan misinya sebagai perusahaan migas menjadi perusahaan energi untuk mengakomodasi diversifikasi dan transformasi ke arah energi ramah lingkungan.

 

Sementara, beberapa raksasa industri migas AS mulai selektif dalam menjalankan bisnis migas. Kebijakan Presiden Trump yang tak peduli kepada pemanasan global dan berusaha menarik diri dari Kesepakatan Paris, dirombak oleh Presiden Biden dengan perintah eksekutif berupa tekad AS untuk lebih serius melakukan pengurangan emisi global hingga angka nol.

 

Kebijakan itu direspons oleh perusahaan-perusahaan migas dengan menyeleksi ladang-ladang migas dengan prospek yang kurang ekonomis, margin kecil dengan tingkat pengembalian yang rendah, mulai ditinggalkan sembari menyiapkan diri bertransformasi menuju clean energy.

 

Faktor laut dalam

 

Harus dipahami bahwa saat ini mencari migas semakin sulit karena potensi sumber migas yang tersisa berlokasi di laut dalam. Akibatnya untuk memperoleh cadangan migas saat ini dibutuhkan modal yang besar, sehingga tidak banyak perusahaan-perusahaan yang berani mengambil risiko itu.

 

Pengalaman saat dimulainya eksplorasi migas laut dalam di tahun 2013, banyak kontraktor migas asing yang rugi besar akibat gagal mendapatkan cadangan migas yang ekonomis.

 

Ditambah kemudian proyek Indonesia Deepwater Development (IDD-II) yang dikembangkan Chevron melalui empat Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) yaitu PSC Ganal, Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau, sempat terkatung-katung bahkan ditinggalkan inisiatornya akibat sulitnya menemukan mitra yang berani ambil risiko.

 

Kesemuanya adalah pelajaran berharga yang menunjukkan betapa sulit dan mahalnya memperoleh migas laut dalam.

 

Situasi itu membuat berkurangnya minat investasi dan investor lebih memilih berpikir ulang sehingga berakibat Indonesia akan semakin sulit memperoleh investor yang berkemampuan. Situasi itu ditambah dengan persaingan antar negara yang berlomba-lomba menyuguhkan tawaran investasi yang lebih atraktif untuk menarik investor.

 

Perlu diingat bahwa hubungan antara pemerintah dengan kontraktor adalah hubungan bisnis yang tujuan utamanya untuk saling menguntungkan.

 

Untuk membuat agar iklim investasi migas terus menarik bagi investor, maka sebaiknya pemerintah bersikap adaptif lebih luwes menyesuaikan diri dengan fenomena alam dan dinamika pasar global dalam mengupayakan kebutuhan energi. Pemerintah juga harus fleksibel dalam merumuskan aturan-aturan yang pasti, namun juga menghargai posisi masing-masing yang saling membutuhkan.

 

Dan terakhir adalah sikap akomodatif antara pemerintah dan investor terus saling memberikan masukan dan melakukan evaluasi dan koreksi “tambah kurang” saling melengkapi demi terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan, jika perlu memberikan insentif kemudahan usaha.

 

Di atas semuanya itu seluruh kebijakan harus dilengkapi dengan kesadaran akan terbatasnya modal dan kerasnya persaingan bisnis migas, sementara potensi migas Indonesia terus menipis dan terletak di area yang semakin sulit. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar