Selasa, 29 Juni 2021

 

Merawat Kewarasan Warga Kota di Tengah Tekanan Pandemi

Neli Triana ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 26 Juni 2021

 

 

                                                           

Kota kini telah menjadi rumah bagi sebagian besar penduduk dunia dan tetap langgeng sebagai pusat pertumbuhan ekonomi maupun inovasi. Namun, tingginya kepadatan penduduk dan aktivitas di perkotaan membuat kaum urban rentan berbagai tekanan, termasuk bencana alam dan bencana buatan manusia.

 

Dengan kondisi yang sudah rentan itu, masyarakat perkotaan dunia mendapat beban baru, yaitu virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 berikut dampaknya di semua aspek kehidupan. Banyak yang berasumsi, tinggal tunggu giliran kapan terinfeksi virus ini. Saat lengah dalam protokol kesehatan dan tubuh kurang bugar, bahaya ada di depan mata.

 

Vaksinasi memang telah berjalan, tetapi baru menjangkau sebagian kecil warga dunia. Di Indonesia, baru 12,6 persen dari total 24,5 juta jiwa lebih sasaran vaksinasi yang telah mendapat dosis pertama. Masih ada temuan orang terkonfirmasi positif Covid-19, baik ringan maupun bergejala berat, setelah mendapat injeksi dosis lengkap vaksinasi.

 

Sebagian warga yang masih memiliki pekerjaan serta penghasilan memadai jelas lebih beruntung. Banyak yang benar-benar kehilangan pekerjaan atau kehilangan sebagian pendapatan karena mata pencariannya terganggu berbagai kebijakan pengendalian pandemi.

 

Namun, secara umum, berbagai pembatasan dan pandemi yang sudah menginjak tahun kedua membuat semua orang tertekan. Semua terombang-ambing menunggu hal yang tak pasti kapan semua akan berakhir.

 

Manajemen stres ala WHO

 

Dari berbagai referensi hasil riset ilmiah maupun lembaga tingkat dunia diketahui bahwa mengurangi tekanan hidup butuh upaya dari dalam diri setiap individu dan dari luar. Bantuan dari luar bisa berupa bantuan langsung terhadap individu terkait maupun usaha untuk membentuk lingkungan yang sehat bagi tempat hidup yang bersangkutan beserta komunitasnya.

 

Untuk upaya individu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan buku khusus berjudul Doing What Matters in Times of Stress: An Illustrated Guide. Buku terbitan April 2020 ini berisi panduan bergambar yang mudah dipahami tentang mengelola tekanan untuk mengatasi kesulitan diri.

 

Setiap orang dapat merasa tertekan. Sedikit tekanan yang datang berkali-kali dalam hidup tidaklah menjadi soal. Namun, tingginya tingkat tekanan dapat berakibat buruk secara fisik berupa rasa sangat tidak nyaman di banyak bagian tubuh. Bahkan, sampai muncul ruam di kulit dan banyak lagi. Ada pula yang sampai putus asa hingga merasa tak ingin hidup lagi.

 

Ada banyak penyebab stres, termasuk kesulitan pribadi mencakup konflik dengan orang yang dicintai, kesendirian, kurangnya pendapatan, hingga kekhawatiran tentang masa depan. Masalah di tempat kerja, seperti konflik dengan rekan kerja, pekerjaan yang sangat menuntut atau tidak aman, dapat pula membuat tertekan.

 

Selain itu, stres tinggi muncul kala ada ancaman besar di komunitas atau lingkungan tempat tinggal karena maraknya kekerasan atau wabah penyakit seperti sekarang, atau kurangnya kesempatan berkegiatan ekonomi yang menguntungkan.

 

Dalam buku itu ada lima hal yang dapat dilakukan tiap orang berbagai usia untuk mengelola tekanan agar tidak menjadi masalah besar bagi dirinya. Kelima hal itu meliputi grounding (membumi), unhooking (melonggarkan kaitan tekanan), acting on your value (bersikap sesuai nilai baik yang kita anut), being kind (bersikap baik, berempati), dan making room (menerima bahwa ada masalah serta memberi ruang bagi diri sendiri dan orang lain).

 

”Saat tertekan itu seperti ada kait yang menarik menjauh dari apa-apa yang sebenarnya baik buat kita. Kita seperti menjadi orang lain, perilaku berubah dan cenderung melakukan sesuatu yang membuat hidup makin buruk,” papar tim WHO dalam buku tersebut.

 

Agar tidak berakibat fatal, WHO menyarankan agar tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan, tenang, sembari merasakan kaki menapak lantai dengan berdiri maupun duduk, setiap kali rasa tertekan datang. Ini sembari memaksa siapa saja yang tertekan memberi perhatian penuh (engage) pada sekitar yang membuat hidup berarti walau sekecil apa pun lakon itu. Rasakan kegembiraan saat melakukan hal positif yang disukai atau saat menikmati waktu bersama pasangan, bermain bersama anak-anak, dan fokus menyelesaikan pekerjaan sesuai passion.

 

Terkait penyebab stres, perlu dipahami bahwa tidak semua masalah dapat kita selesaikan saat ini juga. Buku ini menggarisbawahi, memang perlu mengatasi masalah, mengubah sesuatu agar lebih baik. Namun, jika masih di luar jangkauan, sebaiknya dibiarkan dulu dengan tetap melaksanakan hal-hal yang dapat dilakukan segera.

 

Jika isu besar yang belum jelas cara mengakhirinya itu adalah pandemi Covid-19, yang masuk kuasa ranah individu untuk bisa turut mengendalikan adalah melaksanakan protokol kesehatan seketat mungkin. Mendukung program pemulihan, termasuk mau dites, menjalani isolasi dan perawatan, juga divaksin. Lalu, menjaga solidaritas membantu sesama dengan apa saja yang bisa dilakukan, bahkan bila itu hanya sebatas berdoa, menyebar informasi valid, serta fokus pada pekerjaan yang dimiliki. Mendalami hobi yang masih banyak bisa digeluti sambil tetap patuh pada protokol kesehatan.

 

Kesehatan mental global

 

Tidak hanya WHO yang memperhatikan kesehatan mental masyarakat. World Economic Forum (WEForum) juga memiliki agenda khusus untuk menangani isu kesehatan mental dunia. Penyebabnya tak lain karena biaya penanganan masalah ini terus membengkak dari tahun ke tahun dan membebani perputaran roda ekonomi global jika dibiarkan.

 

Perhitungan WEForum, pada 2030, satu dari empat orang di semua penjuru Bumi mengalami gangguan kesehatan mental dan beban biayanya mencapai 6 triliun dollar Amerika Serikat. Isu gangguan kesehatan mental telah merambah kaum muda berusia 10-24 tahun. Forum ekonomi global ini mencatat kesehatan mental berkontribusi hingga 45 persen dari keseluruhan beban penyakit pada kelompok usia belia tersebut.

 

Agar tidak menjadi sandungan di masa depan, WEForum mengampanyekan pentingnya kolaborasi pemangku kepentingan publik dan swasta untuk membangun ekosistem kesehatan sekaligus manajemen penanggulangan gangguan kesehatan mental bagi warga urban.

 

Hasilnya menunjukkan, orang yang hidup dalam jarak 100 meter dari pohon apa pun ternyata tingkat penggunaan antidepresannya lebih rendah dari orang yang hidup jauh dari jalur hijau atau ruang terbuka hijau.

 

”Temuan kami menunjukkan bahwa jalur hijau dan ruang hijau perkotaan skala kecil yang dapat diakses publik dapat membantu menutup kesenjangan dalam ketidaksetaraan kesehatan,” kata Marselle.

 

Laporan The Guardian mendukung riset Marselle. Dalam laporan itu disebutkan pernyataan seorang penduduk daerah miskin di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, yang merasakan kesehatan mentalnya membaik dengan pesat setelah program penghijauan jalanan diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya. Ia pun dapat berhenti minum antidepresan setelah mengonsumsi bertahun-tahun.

 

Di Jepang, sudah sejak lama ada kebiasaan warga kota yang disebut shinrin-yoku atau menghabiskan waktu di hutan perdesaan untuk menyerap kedamaian demi menjaga kesehatan fisik maupun jiwa. Masih dari The Guardian, disebutkan juga bahwa sekelompok dokter di Kepulauan Shetland Skotlandia mulai meresepkan pasiennya untuk jalan-jalan di bukit dan pantai sebagai pengobatan untuk penyakit mental, diabetes, dan kondisi lainnya.

 

WEForum melihat semua temuan itu berimplikasi penting untuk mendorong perencanaan dan intervensi kesehatan berbasis alam di kota demi mengurangi tekanan mental warganya.

 

Memang infrastruktur kesehatan, seperti fasilitas dan tenaga kesehatan, termasuk untuk penanganan kesehatan mental, yang menyentuh hingga ke akar rumput tetap harus diwujudkan. Akan tetapi, seperti kebutuhan adanya normal baru untuk melawan pandemi, pendekatan baru penataan kota yang lebih ramah pada warganya adalah keniscayaan.

 

Kampanye sederhana WHO untuk membuat individu berdaya mengelola tekanan dan pendekatan baru penataan kota dari WEForum menjadi umpan bibit yang mudah dikembangkan di kota mana saja. Semakin cepat menyebarkan informasi dan menerapkannya, semakin terjaga pula kewarasan kota-kota kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar