Merawat
Kewarasan Warga Kota di Tengah Tekanan Pandemi Neli Triana ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 26 Juni 2021
Kota kini telah menjadi
rumah bagi sebagian besar penduduk dunia dan tetap langgeng sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi maupun inovasi. Namun, tingginya kepadatan penduduk dan
aktivitas di perkotaan membuat kaum urban rentan berbagai tekanan, termasuk
bencana alam dan bencana buatan manusia. Dengan kondisi yang sudah
rentan itu, masyarakat perkotaan dunia mendapat beban baru, yaitu virus
SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 berikut dampaknya di semua aspek kehidupan.
Banyak yang berasumsi, tinggal tunggu giliran kapan terinfeksi virus ini.
Saat lengah dalam protokol kesehatan dan tubuh kurang bugar, bahaya ada di
depan mata. Vaksinasi memang telah
berjalan, tetapi baru menjangkau sebagian kecil warga dunia. Di Indonesia,
baru 12,6 persen dari total 24,5 juta jiwa lebih sasaran vaksinasi yang telah
mendapat dosis pertama. Masih ada temuan orang terkonfirmasi positif
Covid-19, baik ringan maupun bergejala berat, setelah mendapat injeksi dosis
lengkap vaksinasi. Sebagian warga yang masih
memiliki pekerjaan serta penghasilan memadai jelas lebih beruntung. Banyak
yang benar-benar kehilangan pekerjaan atau kehilangan sebagian pendapatan
karena mata pencariannya terganggu berbagai kebijakan pengendalian pandemi. Namun, secara umum,
berbagai pembatasan dan pandemi yang sudah menginjak tahun kedua membuat
semua orang tertekan. Semua terombang-ambing menunggu hal yang tak pasti
kapan semua akan berakhir. Manajemen
stres ala WHO Dari berbagai referensi
hasil riset ilmiah maupun lembaga tingkat dunia diketahui bahwa mengurangi
tekanan hidup butuh upaya dari dalam diri setiap individu dan dari luar. Bantuan
dari luar bisa berupa bantuan langsung terhadap individu terkait maupun usaha
untuk membentuk lingkungan yang sehat bagi tempat hidup yang bersangkutan
beserta komunitasnya. Untuk upaya individu,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan buku khusus berjudul Doing What
Matters in Times of Stress: An Illustrated Guide. Buku terbitan April 2020
ini berisi panduan bergambar yang mudah dipahami tentang mengelola tekanan
untuk mengatasi kesulitan diri. Setiap orang dapat merasa
tertekan. Sedikit tekanan yang datang berkali-kali dalam hidup tidaklah
menjadi soal. Namun, tingginya tingkat tekanan dapat berakibat buruk secara
fisik berupa rasa sangat tidak nyaman di banyak bagian tubuh. Bahkan, sampai
muncul ruam di kulit dan banyak lagi. Ada pula yang sampai putus asa hingga
merasa tak ingin hidup lagi. Ada banyak penyebab stres,
termasuk kesulitan pribadi mencakup konflik dengan orang yang dicintai,
kesendirian, kurangnya pendapatan, hingga kekhawatiran tentang masa depan.
Masalah di tempat kerja, seperti konflik dengan rekan kerja, pekerjaan yang
sangat menuntut atau tidak aman, dapat pula membuat tertekan. Selain itu, stres tinggi
muncul kala ada ancaman besar di komunitas atau lingkungan tempat tinggal
karena maraknya kekerasan atau wabah penyakit seperti sekarang, atau
kurangnya kesempatan berkegiatan ekonomi yang menguntungkan. Dalam buku itu ada lima
hal yang dapat dilakukan tiap orang berbagai usia untuk mengelola tekanan
agar tidak menjadi masalah besar bagi dirinya. Kelima hal itu meliputi
grounding (membumi), unhooking (melonggarkan kaitan tekanan), acting on your
value (bersikap sesuai nilai baik yang kita anut), being kind (bersikap baik,
berempati), dan making room (menerima bahwa ada masalah serta memberi ruang
bagi diri sendiri dan orang lain). ”Saat tertekan itu seperti
ada kait yang menarik menjauh dari apa-apa yang sebenarnya baik buat kita.
Kita seperti menjadi orang lain, perilaku berubah dan cenderung melakukan
sesuatu yang membuat hidup makin buruk,” papar tim WHO dalam buku tersebut. Agar tidak berakibat
fatal, WHO menyarankan agar tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan,
tenang, sembari merasakan kaki menapak lantai dengan berdiri maupun duduk,
setiap kali rasa tertekan datang. Ini sembari memaksa siapa saja yang tertekan
memberi perhatian penuh (engage) pada sekitar yang membuat hidup berarti
walau sekecil apa pun lakon itu. Rasakan kegembiraan saat melakukan hal
positif yang disukai atau saat menikmati waktu bersama pasangan, bermain
bersama anak-anak, dan fokus menyelesaikan pekerjaan sesuai passion. Terkait penyebab stres,
perlu dipahami bahwa tidak semua masalah dapat kita selesaikan saat ini juga.
Buku ini menggarisbawahi, memang perlu mengatasi masalah, mengubah sesuatu
agar lebih baik. Namun, jika masih di luar jangkauan, sebaiknya dibiarkan
dulu dengan tetap melaksanakan hal-hal yang dapat dilakukan segera. Jika isu besar yang belum
jelas cara mengakhirinya itu adalah pandemi Covid-19, yang masuk kuasa ranah
individu untuk bisa turut mengendalikan adalah melaksanakan protokol
kesehatan seketat mungkin. Mendukung program pemulihan, termasuk mau dites,
menjalani isolasi dan perawatan, juga divaksin. Lalu, menjaga solidaritas
membantu sesama dengan apa saja yang bisa dilakukan, bahkan bila itu hanya
sebatas berdoa, menyebar informasi valid, serta fokus pada pekerjaan yang
dimiliki. Mendalami hobi yang masih banyak bisa digeluti sambil tetap patuh
pada protokol kesehatan. Kesehatan
mental global Tidak hanya WHO yang
memperhatikan kesehatan mental masyarakat. World Economic Forum (WEForum)
juga memiliki agenda khusus untuk menangani isu kesehatan mental dunia.
Penyebabnya tak lain karena biaya penanganan masalah ini terus membengkak
dari tahun ke tahun dan membebani perputaran roda ekonomi global jika
dibiarkan. Perhitungan WEForum, pada
2030, satu dari empat orang di semua penjuru Bumi mengalami gangguan
kesehatan mental dan beban biayanya mencapai 6 triliun dollar Amerika
Serikat. Isu gangguan kesehatan mental telah merambah kaum muda berusia 10-24
tahun. Forum ekonomi global ini mencatat kesehatan mental berkontribusi
hingga 45 persen dari keseluruhan beban penyakit pada kelompok usia belia
tersebut. Agar tidak menjadi
sandungan di masa depan, WEForum mengampanyekan pentingnya kolaborasi
pemangku kepentingan publik dan swasta untuk membangun ekosistem kesehatan
sekaligus manajemen penanggulangan gangguan kesehatan mental bagi warga
urban. Hasilnya menunjukkan,
orang yang hidup dalam jarak 100 meter dari pohon apa pun ternyata tingkat
penggunaan antidepresannya lebih rendah dari orang yang hidup jauh dari jalur
hijau atau ruang terbuka hijau. ”Temuan kami menunjukkan
bahwa jalur hijau dan ruang hijau perkotaan skala kecil yang dapat diakses
publik dapat membantu menutup kesenjangan dalam ketidaksetaraan kesehatan,” kata
Marselle. Laporan The Guardian
mendukung riset Marselle. Dalam laporan itu disebutkan pernyataan seorang
penduduk daerah miskin di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, yang
merasakan kesehatan mentalnya membaik dengan pesat setelah program penghijauan
jalanan diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya. Ia pun dapat berhenti
minum antidepresan setelah mengonsumsi bertahun-tahun. Di Jepang, sudah sejak
lama ada kebiasaan warga kota yang disebut shinrin-yoku atau menghabiskan
waktu di hutan perdesaan untuk menyerap kedamaian demi menjaga kesehatan
fisik maupun jiwa. Masih dari The Guardian, disebutkan juga bahwa sekelompok
dokter di Kepulauan Shetland Skotlandia mulai meresepkan pasiennya untuk
jalan-jalan di bukit dan pantai sebagai pengobatan untuk penyakit mental,
diabetes, dan kondisi lainnya. WEForum melihat semua
temuan itu berimplikasi penting untuk mendorong perencanaan dan intervensi
kesehatan berbasis alam di kota demi mengurangi tekanan mental warganya. Memang infrastruktur
kesehatan, seperti fasilitas dan tenaga kesehatan, termasuk untuk penanganan
kesehatan mental, yang menyentuh hingga ke akar rumput tetap harus
diwujudkan. Akan tetapi, seperti kebutuhan adanya normal baru untuk melawan
pandemi, pendekatan baru penataan kota yang lebih ramah pada warganya adalah
keniscayaan. Kampanye sederhana WHO
untuk membuat individu berdaya mengelola tekanan dan pendekatan baru penataan
kota dari WEForum menjadi umpan bibit yang mudah dikembangkan di kota mana
saja. Semakin cepat menyebarkan informasi dan menerapkannya, semakin terjaga
pula kewarasan kota-kota kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar