Pelajaran
dari Lonjakan Covid-19 Anies ; Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro |
KOMPAS, 22 Juni 2021
Prediksi peningkatan kasus
Covid-19 pasca-perayaan libur Lebaran menjadi kenyataan. Zona merah Covid-19
di Indonesia kembali meningkat. Penambahan zona merah
Covid-19 karena jumlah tren penambahan kasus positif Covid-19 kembali naik.
Kasus positif Covid-19 di Kudus, Jawa Tengah, meningkat drastis. Satgas
Covid-19 pada Rabu (9/6/2021) menyebut total kasus di Kudus dalam tiga minggu
terakhir, tepatnya pasca-Lebaran 2021, meningkat hingga 7.594 persen. Angka ini menjadikan Kudus
kota dengan lonjakan kasus tertinggi di Indonesia, sebagai imbas dari Lebaran
2021. Hampir 50 persen dari total jumlah desa di Kabupaten Kudus, masuk dalam
zona merah Covid-19. Selain penambahan kasus harian, kasus aktif juga
mengalami lonjakan dalam sepekan lebih terakhir. Penularan Covid-19 meningkat
ditandai dengan positivity rate naik drastis. Padahal, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan standar aman positivity rate Covid-19 di bawah 5
persen. Setelah Lebaran, angka
positivity rate tersebut terindikasi meningkat. Jika kita menilik Provinsi
DKI Jakarta, sungguh sangat miris. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
(Dinkes) Provinsi DKI Jakarta, positivity rate kasus baru harian di Ibu Kota
kembali di atas 10 persen. Pada Sabtu (1/5/2021),
positivity rate di Jakarta tercatat sebesar 12,3 persen. Perinciannya, dari
6.957 orang yang dites dengan metode PCR, sebanyak 854 orang dinyatakan
positif Covid-19. Sementara pada Minggu (2/5/2021), ada 6.765 orang yang
dites dan 757 orang di antaranya terpapar Covid-19. Positivity rate pada hari
tersebut mencapai 11,2 persen. Jauh di atas standar positivity rate Covid-19
sebesar 5 persen yang ditetapkan oleh WHO. Beberapa
faktor Pertanyaannya, mengapa
positivity rate Covid-19 meningkat? Sekurangnya ada beberapa penyebab
peningkatan tersebut, antara lain banyak data dari hasil tes swab PCR yang
jika hasilnya negatif, tidak langsung dikirim ke sistem data pusat.
Pemeriksaan positif bisa langsung dicatat agar pasien bisa langsung
diisolasi. Dengan demikian, data yang diterima Kementerian Kesehatan lebih
banyak merupakan data kasus positif Covid-19, sehingga hasil pemeriksaan
negatif tidak dimasukkan. Sebab lainnya, pemeriksaan
positif dicatat agar segera bisa diisolasi. Tentu saja ini mengakibatkan
positivity rate naik. Sementara itu, menurut Menteri Kesehatan, jumlah
pemeriksaan atau testing Covid-19 kurang, sementara kasus positif di
masyarakat kemungkinan banyak. Anjuran agar masyarakat
yang melakukan perjalanan melakukan isolasi mandiri selama lima hari setelah
tiba di tempat tujuan, sudahkah dipatuhi? Hal ini berlaku baik bagi
masyarakat yang positif dari hasil pemeriksaan acak, ataupun yang dinyatakan
negatif. Tidak mengherankan jika
berdasarkan perhitungan Kompas, sampai pekan ketiga pasca-Lebaran, terjadi
peningkatan 3.704 kasus (10,1 persen) dibandingkan dengan kasus mingguan
sebelum Lebaran. Angka ini diyakini belum menjadi puncak imbas Lebaran.
Sebagai perbandingan, puncak kasus pasca-liburan Natal-Tahun Baru terjadi
sekitar satu bulan setelah hari terakhir liburan. Jawa Tengah, di samping
Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, merupakan beberapa provinsi
potensi tujuan mudik. Penerapan protokol kesehatan menjadi kunci utama
menekan potensi penularan, terutama pada saat mudik Lebaran. Dalam
kenyataannya, prinsip ini tidak selalu diterapkan di daerah tujuan sehingga
terjadi ”ledakan” penderita di beberapa daerah. Kita ambil contoh kota
Kudus yang tiba-tiba terkejut setelah terjadi ”ledakan” penderita, bahkan
sejumlah rumah sakit di kota tersebut tidak mampu menampungnya. Seperti telah
disinggung di atas, Kudus menjadi kabupaten dengan jumlah kasus paling
tinggi. Kota-kota sekitarnya seperti Semarang, Pati, bahkan Asrama Haji
Donohudan pun penuh penderita dari kota tersebut. Lonjakan kasus juga
terjadi di Jawa Timur, sesama provinsi tujuan mudik, dengan kenaikan 92 kasus
antara sepekan sebelum Lebaran dengan tiga pekan sesudah Lebaran. Sepekan
lebih terakhir, kasus Covid-19 melonjak di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten
Lamongan. Peningkatan kasus di
Bangkalan didominasi oleh kluster tenaga kesehatan. Sementara di Lamongan,
ledakan kasus bermula dari warga sakit yang sebelumnya pergi ke Bojonegoro
dan Sidoarjo. Bahkan Tugas Covid-19 di masing-masing kabupaten telah
menerapkan karantina wilayah (lockdown) terbatas. Covid-19 bukan tidak
mungkin dicegah pasca-liburan, termasuk pasca-Idul Fitri. Lonjakan kasus bisa
dicegah, terutama di pintu-pintu masuk baik udara, laut maupun darat. Bahkan
pembatasan perjalanan orang dengan moda-moda transportasi tersebut telah
dilakukan, terutama darat. Namun, seperti yang kita
saksikan, upaya kucing-kucingan dengan aparat tetap dilakukan. Seharusnya
karantina terpusat wajib dilakukan untuk para pelaku perjalanan yang memiliki
gejala, baik yang menggunakan moda transportasi laut, udara tanpa kecuali. Pemantauan dan pelacakan
kontak wajib dilaksanakan bagi pelaku perjalanan jika tak menjalani karantina
terpusat dan melakukan isolasi mandiri. Notifikasi berjenjang pada
pelaku perjalanan harus ditindaklanjuti ke kabupaten/kota. Pelacakan kasus
dan pemantauan pelaku perjalanan ditingkat kabupaten/kota bisa memanfaatkan
aparat pemerintahan desa/kelurahan dan kelompok masyarakat dengan tetap
memerhatikan hak dan privasi warga serta tidak menimbulkan diskriminasi dan
stigma bagi pelaku perjalanan. Isolasi
atau karantina? Terdapat perbedaan antara
isolasi dan karantina yang perlu dipahami masyarakat. Karantina ditujukan
bagi orang sehat yang tidak memiliki gejala Covid-19, tetapi melakukan kontak
erat dengan kasus positif atau baru melakukan aktivitas berisiko tinggi
terpapar, seperti mobilitas yang tinggi saat pandemi. Sementara isolasi harus
dilakukan orang bergejala atau yang positif korona dari hasil diagnosis yang
akurat. Karantina adalah upaya
memisahkan seseorang yang terpapar Covid-19, baik dari riwayat kontak atau
riwayat bepergian ke wilayah yang telah terjadi transmisi komunitas, meskipun
demikian belum menunjukkan gejala apa pun atau sedang dalam masa inkubasi
yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan. Karantina dilakukan
meskipun belum menunjukkan gejala apa pun atau sedang dalam masa inkubasi. Seseorang dinyatakan
selesai karantina apabila exit test pada hari kelima memberikan hasil
negatif. Jika exit test positif, orang tersebut dinyatakan sebagai kasus
terkonfirmasi Covid-19 dan harus menjalani isolasi. Jika exit test tidak
dilakukan, karantina harus dilakukan selama 14 hari. Berbeda dengan isolasi,
karena di sini merupakan upaya memisahkan seseorang yang sakit yang
membutuhkan perawatan atau seseorang terkonfirmasi Covid-19, dari orang yang
sehat yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan. Pada kasus
terkonfirmasi yang tidak bergejala (asimtomatik), isolasi dilakukan selama
sekurang-kurangnya 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi. Sedangkan pada kasus terkonfirmasi
yang bergejala, isolasi dilakukan selama sepuluh hari sejak muncul gejala
ditambah dengan sekurang-kurangnya tiga hari bebas gejala demam dan gangguan
pernapasan. Dengan demikian, untuk kasus-kasus yang mengalami gejala selama
sepuluh hari atau kurang harus menjalani isolasi selama 13 hari. Kita perlu belajar untuk
mengantisipasi lonjakan kasus baru Covid-19 pasca-liburan panjang. Kita pun
seharusnya telah belajar dari pengalaman tahun lalu, kasus baru Covid-19
melonjak pada empat momen libur panjang. Libur panjang yang diiringi dengan
kecenderungan masyarakat melakukan perjalanan terbukti telah menjadi pemicu
lonjakan kasus Covid-19. Apalagi perjalanan libur
panjang yang kerap diiringi penurunan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Pos komando di desa/kelurahan setempat harus mengawasi pelaksanaan karantina.
Mereka juga perlu melaksanakan upaya preventif lainnya secara paralel seperti
testing dan penelusuran (tracing). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar