Selasa, 29 Juni 2021

 

Saling Terkam di Peradaban Digital

Dinda Lisna Amilia ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi - AWS Surabaya

KOMPAS, 28 Juni 2021

 

 

                                                           

Membayangkan media sosial diisi dengan komentar yang teratur dan sopan menjadi angan yang mustahil. Sekitar lima tahun terakhir, komentar pedas nan menyakitkan warganet menjadi makanan kita  sehari-hari.

 

Masih ingat dengan survei Indeks Keberadaban Digital 2020 oleh Microsoft. Indonesia yang lebih dari 73 persen penduduknya merupakan pengguna internet, menduduki peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Peringkat terendah di Asia Tenggara, namun masih di atas Meksiko, Afrika Selatan, dan Russia yang menduduki tiga peringkat terakhir.

 

Penilaiannya didasarkan pada perilaku warganet di dunia maya, dengan kaitan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, perundungan, tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, pelecehan terhadap kaum marginal, penipuan, doxing (penyebaran data pribadi dengan sengaja untuk merusak reputasi, hingga pornografi.

 

Semua kegiatan yang berkonotasi negatif dalam di atas, masuk dalam sebuah budaya pengenyahkan atau yang lebih dikenal dengan cancel culture. Dalam kamus Cambridge, cancel culture diartikan sebagai cara berperilaku dalam masyarakat atau kelompok, terutama di media sosial, di mana adalah umum untuk menolak dan berhenti mendukung seseorang karena mereka mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyinggung kelompok tersebut.

 

Tidak terhitung public figure (pesohor), instansi pemerintahan maupun swasta yang sempat di-cancel beramai-ramai oleh masyarakat media sosial yang seakan menjadi institusi pengadilan sosial. Budaya pengenyahan melalui tagar awalnya dimaksudkan untuk menyoroti beberapa kesalahan serius orang-orang yang paling berkuasa, dan menunjukkan solidaritas dengan memerangi ketidakadilan sosial (Romano, 2019).

 

Umumnya, pengguna media sosial merasa harus saling serang untuk menggiring opini berdasarkan apa yang mereka yakini. Namun tidak semuanya menyadari, setiap manusia punya pikiran kompleks yang tidak selalu hitam dan putih. Gradasi pendapat warga internet membuat warna pendapat menjadi beragam. Meski nampaknya, pendapat tersebut cenderung destruktif dan mewakili apa yang kita sebut sebagai perang informasi.

 

Kondisi ini diperkuat lebih lagi oleh filter bubble dan echo-chamber. Filter bubble adalah cara algoritma bekerja dengan menentukan informasi yang akan kita temukan di internet berdasarkan pola aktivitas kita. Seperti beranda YouTube kita yang itu-itu saja, story dan unggahan Instagram dari orang-orang yang intens berinteraksi dengan kita di platform tersebut.

 

Sedangkan eco-chamber merupakan efek dari filter bubble yang diterima media sosial. Dimana ruangan (beranda) media sosial kita hanya akan dipenuhi oleh akun dari orang-orang yang mempunyai sikap yang sama dengan kita. Filter bubble dan echo-chamber berkontribusi dalam memperkuat bias kita, khususnya bias implisit yang seringkali tidak kita sadari. Filter bubble dan echo-chamber ini juga yang akan mengiring kita yang berinteraksi di dunia virtual untuk menemukan in-group alias circle versi virtual kita sendiri.

 

Istimewanya, berinteraksi di dunia virtual lebih memuaskan sebab pesan yang kita sampaikan berpotensi dibaca secara langsung oleh lawan bicara. Terkhusus di media sosial yang menjadi perwujudan dari demokrasi digital. Artinya, setiap pengguna yang merupakan rakyat biasa dapat berinteraksi dengan pengguna lain yang merupakan seorang selebriti, politisi, atau tokoh publik.

 

Interaksi dua arah ini adalah hal baru bagi masyarakat kita dalam kesehariannya yang masih lebih hirarkis. Sebutlah dalam kehidupan nyata, orang awam akan mustahil untuk menyampaikan keluhan secara langsung pada pemerintah. Perlu administrasi yang berbelit-belit untuk bertemu dengan pemimpin. Berbeda dengan media sosial yang meruntuhkan hirarki tradisional tersebut.

 

Pengguna biasa mampu berkomunikasi, berdiskusi, hingga bersolidaritas satu sama lain dan menantang mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi atau posisi yang berpengaruh. Itulah yang membuat warga internet menemukan zona nyaman yang baru. Sebuah media sosial yang memberikan afirmasi kesetaraan antar penggunanya.

 

Sayangnya, kesetaraan dalam berinteraksi tersebut sudah lebih dari sekadar medium kontrol sosial. Jangankan melakukan cancel pada koruptor atau kriminal, orang biasa yang punya unpopular opinion alias opini yang berbeda dari orang kebanyakan pun bisa diberangus dan dienyahkan beramai-ramai oleh pengguna media sosial. Warganet terlena dengan kemudahan memberikan pendapat. Polarisasi seakan menjadi normal baru, ia menginfeksi segala hal, mulai dari politik hingga hiburan, dan membatasi wacana produktif dengan meminggirkan mereka yang tidak segera sejalan dengan ideologi dominan.

 

Dalam psikologi komunikasi, ada istilah konformitas yang digunakan untuk mengkondisikan nilai seseorang supaya menjadi seragam dengan nilai mayoritas, terlepas dari benar atau tidaknya nilai tersebut. Tentunya, kebebasan berbicara belum hilang, tetapi suaranya hampir tidak mungkin didengar jika tidak sejalan dengan ideologi dominan.

 

Meminjam istilah imagined communities atau komunitas terbayang dari Benedict Anderson, kali ini coba kita gunakan untuk menggambarkan warganet di Indonesia yang liar dan mudah saling terkam. Dikatakan sebuah komunitas terbayang karena para warganet hidup dalam bangsa yang diimajinasikan dengan batasan-batasan yang mereka buat sendiri. Dalam hal batasan, algoritma bekerja membatasi referensi berpikir serta memperkuat bias kita tanpa disadari. Sedangkan ‘bangsa’ di sini terkait dengan interpretasi masing-masing individu dalam memaknai dunia virtual mereka.

 

Bangsa yang diimajinasikan adalah beranda ruang digital para warganet. Dalam komunitas terbayang dunia maya, konsep bangsa dalam skala negara bahkan bisa jadi tidak relevan lagi. Dengan atau tanpa kemampuan menguasai bahasa Inggris, warganet tetap bisa tidak ikut-ikutan melakukan cancel pada figur yang sedang jadi sorotan. Dengan penuturan yang subtil, hingga kasar seperti ujaran kebencian sekaligus.

 

Mungkin, warganet merasa telah mengupayakan konformitas, karena perilaku figur yang sedang di-cancel tidak sejalan dengan ‘nilai’ kebanyakan mereka. Mungkin juga, cancelation yang warganet lakukan hanya sekadar dari eskapisme dari dunia nyata yang tidak memberikan hidup dalam imajinasi yang mereka mau. Dimana dunia virtual menjadi pelarian paling mudah untuk mencaci, mendetoksifikasi racun dan prasangka dari diri sendiri, karena ketidakmampuan kita untuk selesai dengan diri sendiri.

 

Lantas, hal ini menggiring pada pertanyaan di mana sebenarnya kehidupan nyata kita, beranda dunia maya atau dunia imajiner sehari-hari yang tak pernah kita miliki? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar