Selasa, 29 Juni 2021

 

Narasi Maskulinitas dan Radikalisme

Noor Huda Ismail ;  Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura

KOMPAS, 26 Juni 2021

 

 

                                                           

Ideologi kematian yang ditawarkan kelompok terorisme global tampaknya semakin mewujud di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan The Soufan Center pada Juni 2021, paling tidak ada 34 aksi bom bunuh diri selama 20 tahun terakhir. Yang lebih mengkhawatirkan, menurut lembaga ini, aksi-aksi itu dilakukan secara bersama oleh pasangan suami istri yang saling mencintai. Meskipun demikian, aksi terorisme masihlah “dunianya para lelaki”. Namun ironisnya pisau analisa ‘gender’ terutama ‘maskulinitas’ dalam menjelaskan proses radikalisasi seorang lelaki, nyaris tidak pernah terdengar.

 

Gender di sini merujuk pada identitas, harapan sosial, tantangan dan juga kesempatan untuk menjadi sosok ‘maskulin’ atau ‘feminin’ dalam lingkungan tertentu. Ia adalah sebuah perilaku dan sikap yang harus dipelajari, dipraktikkan berdasarkan konstruksi sosial tertentu.

 

Sedangkan radikalisasi itu adalah sebuah proses seseorang untuk kembali kepada nilai akar – radix – yang cenderung sudah tidak umum lagi di masyarakat. Jadi, sebagai sebuah istilah, radikalisasi itu bermakna netral.

 

Radikalisasi dalam konteks tulisan ini adalah cara pikir keagamaan tertentu yang akan membahayakan keamanan diri, keluarga, komunitas dan negara.

 

Sebagai sebuah proses, radikalisasipun tak luput dari aspek gender. Hal ini karena seorang lelaki itu bukan secara alami lahir untuk condong menggunakan kekerasan. Seorang perempuan pun tak secara alami pula akan lebih cinta damai dari lelaki. Argumen ini terbukti dalam beberapa kasus pendampingan narapidana terorisme yang penulis lakukan. Sering kali, penulis menemukan kasus di mana ketika suami yang sedang menjalani hukuman di penjara hendak menyatakan sikap kesetiaan pada NKRI, justru para istri yang menguatkan suami untuk tetap “setia pada perjuangan”.

 

Bahkan, ada juga istri yang nekat menceraikan sang suami dan memilih jadi istri kedua lelaki dalam jaringan kekerasaan yang masih aktif dalam gerakan teror. Dalam konteks ini, lelaki dan perempuan punya pengalaman berbeda dalam proses terlibat dan juga meninggalkan jaringan kekerasaan.

 

Dalam wawancara penulis dengan para lelaki yang terlibat dalam aksi terorisme, sering kali “pemantik” keterlibatan mereka itu bukanlah semata karena alasan ideologi. Ada juga pengaruh dari sosialisasi cara pandang maskulin yang salah seperti: “tidak mau dianggap perempuan” atau ingin menjadi “pelindung” dari kelompok yang tertindas.

 

Dengan kata lain, nilai, harapan dan ideal maskulin yang diadopsi pada proses radikalisme para lelaki ini juga bersumber dari norma dan standar maskulin yang diterima masyarakat umum. Artinya, penting dicatat tak semua nilai maskulin itu negatif. Ada juga yang positif seperti keinginan memenuhi kebutuhan keluarga (bread winner), disiplin, bersikap tegas dan lain-lain.

 

Oleh karena itu, radikalisme pada dasarnya langkah ekstrem untuk dapat penerimaan sosial (social acceptance) dan pembenaran sosial (social validation) nilai maskulin yang diyakin para lelaki ini di kalangan sub kultur laki-laki seperti pada kelompok kekerasaan seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

 

Tidak mau dianggap perempuan

 

Pada narasi maskulin “tidak mau dianggap perempuan” ini muncul pada kisah Wartoyo, mantan preman yang kemudian terlibat dalam terorisme. Wartoyo kecil tumbuh di salah satu lingkungan keras di Tegal. Perkelahian antar warga sering terjadi di sana. Suatu waktu, dia datang dengan luka di kepalanya sambil menangis. Alih-alih membantunya, sang ayah justru berkata, “kalau pulang menangis seperti itu, mending jadi perempuan saja”. Kata-kata ini begitu membekas di hati Wartoyo, dia tak boleh menangis lagi, sebagai laki-laki dia harus kuat dan melawan siapa saja yang mengganggunya.

 

Sejak saat itu ia tumbuh menjadi pria yang selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Perangai ini juga yang membuatnya sukses di dunia gelap di Jakarta. Hingga suatu waktu, dia bertemu dengan seorang gadis yang menjadi pegawai dari orang yang hendak dia tagih utangnya. Bukan rasa takut yang meliputi gadis itu, dia justru berkata “Buat apa jadi laki-laki, kalau jauh-jauh ke Jakarta hanya jadi begini”. Kata-kata itu mengusik Wartoyo siang malam.

 

Bukannya sakit hati, ia justru jatuh hati pada gadis itu. Mereka kemudian menjalin hubungan lebih serius dan perlahan Wartoyo keluar dari dunia hitam.

 

Adapun narasi maskulin ingin menjadi “pelindung” muncul dalam kisah Syahrul Munif. Lahir dari keluarga NU di Jember, Jawa Timur, Syahrul tergerak hatinya setelah melihat secara online video di medsos kebrutalan rezim Assad. Ia pun mencari jalan di dunia nyata atau offline agar ia bisa terlibat dalam aksi kemanusiaan “melindungi” para perempuan dan anak-anak di Suriah yang dibantai oleh rezim Assad tersebut.

 

“Saya tidak tega melihat perempuan dan anak-anak dibantai oleh penguasa zalim. Saya ingin membela mereka” kata Syahrul dalam wawancara. Dalam proses pencarian itulah, ia bertemu tokoh JAD, Abu Jandal, yang kemudian mengajaknya berangkat ke Suriah pada awal konflik terjadi. “Islam itu ibarat satu tubuh. Jika ada satu saja Muslim yang sakit di belahan dunia manapun, kita harus juga bisa merasakannya. Hari ini, para perempuan dan anak-anak kita diperkosa, disiksa dan lalu dibunuh oleh kaki tangan rezim. Kita wajib melindungi mereka” kata Jandal kepada Syahrul di sebuah diskusi akrab antar lelaki.

 

Dalam konteks ini, Jandal menggunakan narasi ‘maskulin’ yaitu “membantu saudara Muslim di Suriah yang ditindas” yang bisa diterima masyarakat umum yaitu “lelaki yang baik itu harus bisa menjadi pelindung bagi yang lemah”. Dalam proses rekrutmen ini, dengan cerdik Jandal memanipulasi nilai maskulin yang umum itu menjadi nilai maskulin khusus, yaitu jadi “pelindung yang benar menurut Islam itu adalah menjadi anggota JAD agar bisa berjihad di medan perang yang nyata”

 

Syahrul berhasil kembali dari Suriah dan kecewa dengan apa yang ia saksikan, yaitu kebrutalan dan kebohongan dari janji manis NIIS di medsos dan di mulut para pendukungnya seperti Abu Jandal.

 

Manipulasi narasi di dunia maya

 

Masa pandemi Covid-19 ini, di mana orang lebih banyak tinggal di rumah dan sering kali “iseng” mencari hiburan dan informasi di medsos, membuka peluang munculnya proses manipulasi narasi maskulin yang toksik, beracun, kepada para lelaki yang sedang galau mencari jati diri kelelakiannya seperti Syahrul..

 

Melonjaknya kasus Covid-19 dengan varian barunya, juga dibarengi melonjaknya penangkapan teroris oleh Densus 88. Menurut salah satu petinggi Densus 88, “mereka yang tertangkap ini saling terhubung melalui dunia maya seperti dalam kasus bom Makassar dan penangkapan di Papua baru-baru ini. Mereka ini banyak belajar agama dengan Syekh Google atau menjadi anggota jamaah pengajian YouTube atau Facebook”.

 

Tepatlah jika sejarawan UGM, Prof Dr Kuntowijo menyebut fenomena ini dengan istilah “Muslim Tanpa Masjid”. Yaitu mereka yang belajar Islam secara sepotong-potong, meloncat-loncat, serba hitam putih dan sering melupakan konteks sejarah dari sebuah teks keagamaan. Dengan alasan mirip dengan Syahrul, para anak muda yang ingin “membela Islam” tapi tanpa dibarengi pemahaman keagamaan yang memadai, berfantasi terlibat dalam kelompok kekerasaan adalah cara tercepat (short cut) untuk menebus dosa masa lalunya.

 

Inilah pergeseran pola rekrutmen yang terjadi saat ini. Yaitu dari collective action (gabung di kelompok teror secara nyata dulu baru kemudian terlibat aksi kekerasaan) menjadi connective action (gabung melalui dunia maya dan langsung terlibat aksi kekerasaan). Artinya, kelompok kekerasan menawarkan perubahan diri pada para “lelaki yang biasa-biasa saja” di dunia nyata, jadi “lelaki pembela” saudara Muslim yang tertindas, dengan menyerang “musuh Islam” seperti aparat dan kelompok minoritas.

 

Harapan sosial lelaki untuk menggunakan kekerasan dalam menghadapi ancaman hidup menjadi sangat mudah dijadikan alasan oleh kelompok kekerasan merekrut para lelaki terlibat dalam kelompok kekerasaan. Dengan kaca mata gender, terutama maskulinitas, ini bukan hanya membantu negara dan masyarakat lebih paham bagaimana lelaki berisiko lebih besar terlibat dalam kelompok kekerasaan, dan memahami bagaimana perempuan mempunyai alasan berbeda dan proses yang berbeda dalam keterlibatan pada aksi kekerasan.

 

Oleh karena itu, tanpa mempertimbangkan dampak Covid-19 dan pengarus utamaan gender pada Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulan Ekstremisme Mengarah Terorisme tak akan berjalan maksimal. Barangkali, hal sederhana yang mungkin bisa dilakukan negara, masyarakat sipil dan tokoh agama adalah melibatkan secara aktif, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi progam kampanye pencegahan tindak pindana terorisme, sosok seperti Wartoyo dan Syahrul dalam program mempromosikan nilai maskulin positif di masyarakat. Hari ini, suara mereka masihlah lirih terdengar, terutama di kalangan para lelaki yang ingin berjihad secara nyata “membela Islam”. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar