Narasi
Maskulinitas dan Radikalisme Noor Huda Ismail ; Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura |
KOMPAS, 26 Juni 2021
Ideologi kematian yang
ditawarkan kelompok terorisme global tampaknya semakin mewujud di kawasan
Asia Tenggara. Menurut catatan The Soufan Center pada Juni 2021, paling tidak
ada 34 aksi bom bunuh diri selama 20 tahun terakhir. Yang lebih
mengkhawatirkan, menurut lembaga ini, aksi-aksi itu dilakukan secara bersama
oleh pasangan suami istri yang saling mencintai. Meskipun demikian, aksi
terorisme masihlah “dunianya para lelaki”. Namun ironisnya pisau analisa
‘gender’ terutama ‘maskulinitas’ dalam menjelaskan proses radikalisasi
seorang lelaki, nyaris tidak pernah terdengar. Gender di sini merujuk
pada identitas, harapan sosial, tantangan dan juga kesempatan untuk menjadi
sosok ‘maskulin’ atau ‘feminin’ dalam lingkungan tertentu. Ia adalah sebuah
perilaku dan sikap yang harus dipelajari, dipraktikkan berdasarkan konstruksi
sosial tertentu. Sedangkan radikalisasi itu
adalah sebuah proses seseorang untuk kembali kepada nilai akar – radix – yang
cenderung sudah tidak umum lagi di masyarakat. Jadi, sebagai sebuah istilah,
radikalisasi itu bermakna netral. Radikalisasi dalam konteks
tulisan ini adalah cara pikir keagamaan tertentu yang akan membahayakan
keamanan diri, keluarga, komunitas dan negara. Sebagai sebuah proses,
radikalisasipun tak luput dari aspek gender. Hal ini karena seorang lelaki
itu bukan secara alami lahir untuk condong menggunakan kekerasan. Seorang
perempuan pun tak secara alami pula akan lebih cinta damai dari lelaki.
Argumen ini terbukti dalam beberapa kasus pendampingan narapidana terorisme
yang penulis lakukan. Sering kali, penulis menemukan kasus di mana ketika
suami yang sedang menjalani hukuman di penjara hendak menyatakan sikap
kesetiaan pada NKRI, justru para istri yang menguatkan suami untuk tetap
“setia pada perjuangan”. Bahkan, ada juga istri
yang nekat menceraikan sang suami dan memilih jadi istri kedua lelaki dalam
jaringan kekerasaan yang masih aktif dalam gerakan teror. Dalam konteks ini,
lelaki dan perempuan punya pengalaman berbeda dalam proses terlibat dan juga
meninggalkan jaringan kekerasaan. Dalam wawancara penulis
dengan para lelaki yang terlibat dalam aksi terorisme, sering kali “pemantik”
keterlibatan mereka itu bukanlah semata karena alasan ideologi. Ada juga
pengaruh dari sosialisasi cara pandang maskulin yang salah seperti: “tidak
mau dianggap perempuan” atau ingin menjadi “pelindung” dari kelompok yang
tertindas. Dengan kata lain, nilai,
harapan dan ideal maskulin yang diadopsi pada proses radikalisme para lelaki
ini juga bersumber dari norma dan standar maskulin yang diterima masyarakat
umum. Artinya, penting dicatat tak semua nilai maskulin itu negatif. Ada juga
yang positif seperti keinginan memenuhi kebutuhan keluarga (bread winner),
disiplin, bersikap tegas dan lain-lain. Oleh karena itu,
radikalisme pada dasarnya langkah ekstrem untuk dapat penerimaan sosial
(social acceptance) dan pembenaran sosial (social validation) nilai maskulin
yang diyakin para lelaki ini di kalangan sub kultur laki-laki seperti pada
kelompok kekerasaan seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Tidak
mau dianggap perempuan Pada narasi maskulin
“tidak mau dianggap perempuan” ini muncul pada kisah Wartoyo, mantan preman
yang kemudian terlibat dalam terorisme. Wartoyo kecil tumbuh di salah satu
lingkungan keras di Tegal. Perkelahian antar warga sering terjadi di sana.
Suatu waktu, dia datang dengan luka di kepalanya sambil menangis. Alih-alih
membantunya, sang ayah justru berkata, “kalau pulang menangis seperti itu,
mending jadi perempuan saja”. Kata-kata ini begitu membekas di hati Wartoyo,
dia tak boleh menangis lagi, sebagai laki-laki dia harus kuat dan melawan
siapa saja yang mengganggunya. Sejak saat itu ia tumbuh
menjadi pria yang selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Perangai ini
juga yang membuatnya sukses di dunia gelap di Jakarta. Hingga suatu waktu,
dia bertemu dengan seorang gadis yang menjadi pegawai dari orang yang hendak
dia tagih utangnya. Bukan rasa takut yang meliputi gadis itu, dia justru
berkata “Buat apa jadi laki-laki, kalau jauh-jauh ke Jakarta hanya jadi
begini”. Kata-kata itu mengusik Wartoyo siang malam. Bukannya sakit hati, ia
justru jatuh hati pada gadis itu. Mereka kemudian menjalin hubungan lebih
serius dan perlahan Wartoyo keluar dari dunia hitam. Adapun narasi maskulin
ingin menjadi “pelindung” muncul dalam kisah Syahrul Munif. Lahir dari
keluarga NU di Jember, Jawa Timur, Syahrul tergerak hatinya setelah melihat
secara online video di medsos kebrutalan rezim Assad. Ia pun mencari jalan di
dunia nyata atau offline agar ia bisa terlibat dalam aksi kemanusiaan
“melindungi” para perempuan dan anak-anak di Suriah yang dibantai oleh rezim
Assad tersebut. “Saya tidak tega melihat
perempuan dan anak-anak dibantai oleh penguasa zalim. Saya ingin membela
mereka” kata Syahrul dalam wawancara. Dalam proses pencarian itulah, ia
bertemu tokoh JAD, Abu Jandal, yang kemudian mengajaknya berangkat ke Suriah
pada awal konflik terjadi. “Islam itu ibarat satu tubuh. Jika ada satu saja
Muslim yang sakit di belahan dunia manapun, kita harus juga bisa
merasakannya. Hari ini, para perempuan dan anak-anak kita diperkosa, disiksa
dan lalu dibunuh oleh kaki tangan rezim. Kita wajib melindungi mereka” kata
Jandal kepada Syahrul di sebuah diskusi akrab antar lelaki. Dalam konteks ini, Jandal
menggunakan narasi ‘maskulin’ yaitu “membantu saudara Muslim di Suriah yang
ditindas” yang bisa diterima masyarakat umum yaitu “lelaki yang baik itu
harus bisa menjadi pelindung bagi yang lemah”. Dalam proses rekrutmen ini,
dengan cerdik Jandal memanipulasi nilai maskulin yang umum itu menjadi nilai
maskulin khusus, yaitu jadi “pelindung yang benar menurut Islam itu adalah
menjadi anggota JAD agar bisa berjihad di medan perang yang nyata” Syahrul berhasil kembali
dari Suriah dan kecewa dengan apa yang ia saksikan, yaitu kebrutalan dan
kebohongan dari janji manis NIIS di medsos dan di mulut para pendukungnya
seperti Abu Jandal. Manipulasi
narasi di dunia maya Masa pandemi Covid-19 ini,
di mana orang lebih banyak tinggal di rumah dan sering kali “iseng” mencari
hiburan dan informasi di medsos, membuka peluang munculnya proses manipulasi
narasi maskulin yang toksik, beracun, kepada para lelaki yang sedang galau
mencari jati diri kelelakiannya seperti Syahrul.. Melonjaknya kasus Covid-19
dengan varian barunya, juga dibarengi melonjaknya penangkapan teroris oleh
Densus 88. Menurut salah satu petinggi Densus 88, “mereka yang tertangkap ini
saling terhubung melalui dunia maya seperti dalam kasus bom Makassar dan
penangkapan di Papua baru-baru ini. Mereka ini banyak belajar agama dengan
Syekh Google atau menjadi anggota jamaah pengajian YouTube atau Facebook”. Tepatlah jika sejarawan
UGM, Prof Dr Kuntowijo menyebut fenomena ini dengan istilah “Muslim Tanpa
Masjid”. Yaitu mereka yang belajar Islam secara sepotong-potong,
meloncat-loncat, serba hitam putih dan sering melupakan konteks sejarah dari
sebuah teks keagamaan. Dengan alasan mirip dengan Syahrul, para anak muda
yang ingin “membela Islam” tapi tanpa dibarengi pemahaman keagamaan yang
memadai, berfantasi terlibat dalam kelompok kekerasaan adalah cara tercepat
(short cut) untuk menebus dosa masa lalunya. Inilah pergeseran pola
rekrutmen yang terjadi saat ini. Yaitu dari collective action (gabung di
kelompok teror secara nyata dulu baru kemudian terlibat aksi kekerasaan)
menjadi connective action (gabung melalui dunia maya dan langsung terlibat
aksi kekerasaan). Artinya, kelompok kekerasan menawarkan perubahan diri pada
para “lelaki yang biasa-biasa saja” di dunia nyata, jadi “lelaki pembela”
saudara Muslim yang tertindas, dengan menyerang “musuh Islam” seperti aparat
dan kelompok minoritas. Harapan sosial lelaki
untuk menggunakan kekerasan dalam menghadapi ancaman hidup menjadi sangat
mudah dijadikan alasan oleh kelompok kekerasan merekrut para lelaki terlibat
dalam kelompok kekerasaan. Dengan kaca mata gender, terutama maskulinitas,
ini bukan hanya membantu negara dan masyarakat lebih paham bagaimana lelaki
berisiko lebih besar terlibat dalam kelompok kekerasaan, dan memahami
bagaimana perempuan mempunyai alasan berbeda dan proses yang berbeda dalam
keterlibatan pada aksi kekerasan. Oleh karena itu, tanpa
mempertimbangkan dampak Covid-19 dan pengarus utamaan gender pada Rencana
Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulan Ekstremisme Mengarah Terorisme tak
akan berjalan maksimal. Barangkali, hal sederhana yang mungkin bisa dilakukan
negara, masyarakat sipil dan tokoh agama adalah melibatkan secara aktif,
mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi progam kampanye
pencegahan tindak pindana terorisme, sosok seperti Wartoyo dan Syahrul dalam
program mempromosikan nilai maskulin positif di masyarakat. Hari ini, suara
mereka masihlah lirih terdengar, terutama di kalangan para lelaki yang ingin
berjihad secara nyata “membela Islam”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar