Senin, 28 Juni 2021

 

Politik yang Berkebudayaan

M Alfan Alfian ;  Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

KOMPAS, 25 Juni 2021

 

 

                                                           

Di tengah kondisi bangsa yang masih dilanda pandemi Covid-19, terlintas pertanyaan, apa yang menarik dari politik kita sekarang?

 

Pertanyaan ini klasik semata. Ia bisa muncul kapan saja, dalam masa apa saja. Lazim, salah satu jawaban peringkat pertamanya menjelaskan bahwa politik tidak menarik manakala tidak dinamis. Kata politik itu sendiri berkonotasi dinamis.

 

Manakala situasi politik terasa statis saja, apa menariknya politik? Dalam batas tertentu, situasi statis itu terasa dalam dinamika politik formal dewasa ini. Tulisan ini sekadar renungan, mengajak pembaca merenungkan kembali konteks kebudayaan dalam politik. Dari perspektif ini, politik menjadi tidak menarik karena kontennya jauh dari dimensi kebudayaan yang lebih luas.

 

Dalam sebuah diskusi, saya mencatat pendapat alamarhum Radhar Panca Dahana bahwa politik itu berpintu satu, sedangkan kebudayaan itu berpintu banyak. Dia menjelaskan betapa sempitnya manakala segala hal dilihat dari sudut pandang politik. Yang membuat politik itu sempit karena pintunya cuma satu, yakni kepentingan.

 

Ketika segala hal diukur dari semata-mata kepentingan, ia menutup kemungkinan lain dalam memandang dunia. Kebudayaan lebih luas ketimbang politik. Kebudayaan bermuara pada kearifan. Ini perlu disadari oleh para politikus yang dalam demokrasi kontestatif, berpeluang menjadi pemimpin politik formal.

 

Tanpa wawasan kebudayaan, peluang untuk terjebak kepada pemimpin yang pernah disitir Kuntowijoyo sebagai berkacamata kuda sangat tinggi. Pemimpin berkacamata kuda itulah yang ngotot mempertahankan politik berpintu satu. Politikus yang levelnya pemimpin seyogianya meniscayakan dirinya terbuka bagi ragam sudut pandang. Apalagi, manakala yang diurus masalah-masalah kebangsaan yang kompleks.

 

Satu masalah yang kita kira kecil sesungguhnya terkait dan berdampak ke banyak hal. Semua harus diperhitungkan secara multispektrum. Inilah yang, menurut Kuntowijoyo, disebut obyektifikasi. Karena itu, politisi yang sekadar terbiasa dengan sudut pandang tunggal akan gagal merumuskan hal-hal yang obyektif. Kebijakan yang diambilnya pun sekadar sebatas menyesuaikan kepentingan pragmatisnya. Aspek kemaslahatan bangsa dan rakyat yang lebih luas terabaikan. Kita sedih manakala aspek kemaslahatan justru tidak pernah masuk ke kamus kaum politikus.

 

Intelektualisasi politisi

 

Dalam khazanah politik Indonesia, gagasan intelektualisasi politisi lazim. Kaum politikus memang seyogianya intelektual pula. Ini bisa dipahami karena mereka merespons banyak hal, mengurus ragam bidang strategis tempat bangsa dan rakyat menggantungkan nasibnya.

 

Intelektual yang dimaksud tidak semata-mata kaum akademisi, tetapi lebih ke maknanya yang lebih luas sebagai mereka yang memiliki komitmen pada ilmu pengetahuan. Intelektualisasi politikus, karenanya juga ikhtiar mencegahnya menjadi kaum pragmatis dan pemburu rente.

 

Saat ini, kita merasakan, para budayawan dan akademisi memiliki keterbatasan. Ruang gerak mereka terbatas, apakah disebabkan oleh merebaknya hoaks, gencarnya buzzer politik, hingga kendala birokrasi.

 

Kondisi demikian memprihatinkan karena dapat dipahami sebagai melangkanya daya kritis, yang ironisnya, mengemuka di abad digital. Informasi mudah dicari, dengan menyisihkan berita-berita yang tidak valid di mesin pencari. Namun, hikmah dan kebijaksanaa, susahnya minta ampun untuk dicari secara orisinal.

 

Hikmah dan kebijaksanaan terlampir di potongan klip-klip pendek yang tidak tuntas. Si pendari kehilangan konteks kecakrawalaan yang luas.

 

Inilah yang membuat kita semakin galau. Di satu sisi, politik statis dan para politikus erat dengan kacamata kuda masing-masing, sementara akses ke kebudayaan yang luas terhambat oleh hal-hal yang absurd. Politik harus disambungkan dengan kebudayaan yang lebih luass ehingga mentalitas yang hadir bukan mental blok atau mental kacamata kuda.

 

Keluasan pikir, kesanggupan belajar, memerlukan sikap membuka diri. Kebudayaan ialah sikap membuka diri. Politik menutupnya. Bahwa, semua hal harus ditafsirkan secara tunggal berbasis kepentingan. Kalau itu yang dominan, peradaban politik akan semakin hancur. Memang, politik juga menyertakan konsensus, tetapi kacamata pandang kebudayaan menyisakan pertanyaan, apakah konsensus berdampak nyata bagi kemaslahatan bangsa? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar