Dialog
Sejarah di Tulsa Doddy Salman ; Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Tarumanagara |
KOMPAS, 20 Juni 2021
Tulsa bukanlah
satu-satunya pembantaian ras yang tidak diajarkan di sekolah. Kalimat getir
ini ditulis laman The Washingtonpost.com satu hari setelah Presiden Amerika
Serikat Joe Biden menghadiri peringatan 100 tahun pembantaian Tulsa (Tulsa
Massacre). Di kota kedua terbesar
Negara Bagian Oklahoma tersebut Biden memproklamasikan bahwa bangsa Amerika
tidak akan melupakan peristiwa pembantaian ras di Tulsa pada 31 Mei-1 Juni
1921. Selama dua hari perempuan dan anak-anak menjadi bagian dari 300 warga
kulit hitam yang tewas, 700 orang terluka, sementara 10.000 orang lainnya
kehilangan tempat tinggal setelah 1.200 rumah dan tempat bisnis mereka hangus
dibakar (nationalgeographic.com). Tragisnya lagi peristiwa
kelam tersebut tidak pernah masuk dalam catatan sejarah. Peristiwa berdarah
tersebut seperti lenyap ditelan bumi. Korban dan keluarga beserta masyarakat
bungkam. Narasi pembantaian Tulsa ditekan oleh komunitas kulit putih selama
lebih dari 50 tahun (theguadian.com). Adalah Scott Ellsworth,
warga kulit putih Tulsa, yang mengungkap secara akademis melalui buku Death
in a Promise Land (1982). Buku yang memuat secara lengkap sejarah pembantaian
Tulsa itu diabaikan media lokal, khususnya media yang berafiliasi kulit
putih. Semenjak terbit hingga beberapa tahun kemudian, buku tersebut menjadi
buku yang paling sering dicuri dari perpustakaan kota Tulsa. Proklamasi masa lalu Tulsa
yang kelam sejatinya adalah bagian dari dialog sejarah suatu bangsa. Dialog
sejarah adalah istilah yang digunakan Jakob Oetama (Kompas, 1 Juni 2001)
mengajak untuk mendalami dan menarik pelajaran peristiwa sejarah bangsa agar
menjadi bijak. Istilah dialog juga
menyiratkan aktivitas tak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menyimak
sekaligus mengkritisi nilai-nilai sejarah sebelum dimanifestasikan sesuai
dengan kultur masyarakat serta situasi kondisi terkini. Dialog sejarah
tersebut seyogianya dapat diaplikasikan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin
dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Artinya, proses
penyelesaian HAM masa lalu tidaklah harus semata-mata jalur yudisial, tetapi
perlu juga dibuka jalur-jalur kultural. Setidaknya ada tiga jalur
kultural yang dipraktikkan Joe Biden di Tulsa. Mendengarkan kesaksian para
penyintas di hadapan para wakil rakyat adalah yang pertama. Sebelum pidato
bersejarah tersebut, tiga penyintas pembantaian Tulsa, yaitu Viola Fletcher,
Hughes Van Ellis, dan Lessi Benningfield Randle, bersaksi di hadapan Kongres.
Biden mengutip kesaksian Viola Fletcher yang berusia 107 tahun dalam
pidatonya: ”I hear the screams. I have lived through the massacre every day.
Our country may forget this history, but I cannot (Saya mendengar jeritan.
Saya telah hidup melalui pembantaian setiap hari. Negara kita mungkin
melupakan sejarah ini, tetapi saya tidak bisa).” Niat
baik pemerintah Jalur kultural kedua
adalah menghadiri peringatan satu abad pembantaian Tulsa bersama warga kota
Tulsa, Oklahoma. Kehadiran Biden menjadi representasi niat baik (goodwill)
pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris menyelesaikan akar-akar persengketaan
rasial yang makin menghangat di era kepemimpinan Donald Trump. Biden juga bertemu para
penyintas dan keluarga korban selain berkunjung ke Greenwood Cultural Center
yang memamerkan foto-foto peristiwa kelam tersebut. Kehadiran Presiden ke-46
Amerika Serikat ini menjadi pengakuan resmi negara bahwa telah terjadi
peristiwa kelam bertajuk pembantaian Tulsa. Pidato Biden menjadi
dokumen penting penegakan hak asasi manusia di Tulsa. Ajakan agar warga AS
tidak melupakan peristiwa pembantaian Tulsa menjadi momentum untuk tidak
mengulangi peristiwa berdarah itu di masa depan. Pidato Biden mungkin dapat
disetarakan dengan pidato Presiden BJ Habibie pada 15 Juli 1998 yang
menyatakan penyesalan telah terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan
Indonesia pada pertengahan Mei 1998 (Anggraeni, 2014). Pidato menjadi jalur
kultural ketiga. Jalur kultural tidak
menutup upaya korban dan keluarga menuntut keadilan. Ketiga penyintas
pembantaian Tulsa meminta keadilan dan reparasi atas upaya pogrom, tindakan
kekerasan secara sistematis berdasarkan ras, yang menghancurkan semua
kehidupan masyarakat hitam di Greenwood. Bersamaan dengan perayaan 100 tahun
pembantaian Tulsa, Pemerintah Kota Tulsa untuk pertama kali meminta maaf
kepada warganya dan berjanji melanjutkan pencarian kuburan massal pembantaian
Tulsa. Upaya penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu tidaklah semata melalui jalur yudisial. Dialog
sejarah di Tulsa menjadi buktinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar