Jumat, 18 Juni 2021

 

Palestina, Israel, dan Moderasi

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 17 Juni 2021

 

 

                                                           

Perubahan politik penting terjadi di Israel. Koalisi pelangi yang memayungi sayap kiri hingga sayap kanan berhasil membentuk pemerintahan baru.

 

Koalisi pelangi itu mengakhiri masa kekuasaan Benjamin Netanyahu yang berdurasi total 15 tahun (periode 1996-1999 dan 2009-2021). Sepanjang sejarah Israel, tak ada perdana menteri dengan masa kekuasaan selama itu.

 

Netanyahu, tokoh Partai Likud, dikenal sebagai politisi kanan yang piawai memanfaatkan isu populis, seperti keamanan Israel di tengah negara-negara Arab. Ia keras kepada Iran dan Hezbollah yang dinilai mengancam eksistensi Israel. Juga keras kepada Palestina, yang dianggap bukan mitra sepadan.

 

Netanyahu selama ini didukung partai kanan dan konservatif. Namun, ia tetap bisa mengklaim sukses menjalin relasi dengan dunia Arab, yakni lewat normalisasi hubungan diplomatik Uni Emirat Arab-Israel. Dari sisi ekonomi, seperti ditulis Lionel Barber, mantan editor Financial Times, di Nikkei Asia Review, Netanyahu berhasil memodernisasi ekonomi Israel. Perusahaan teknologi kelas dunia bermunculan di masanya.

 

Namun, tak ada yang abadi selain perubahan. Koalisi pelangi menutup periode panjang pemerintahannya, akhir pekan lalu. Selain meliputi partai kanan pendukung permukiman warga Yahudi di wilayah Palestina hingga partai kiri bervisi penciptaan perdamaian dengan Palestina, koalisi ini menyertakan Partai Arab. Padahal, selama ini, ada semacam tabu: Partai Arab yang dinilai anti-Zionis tak boleh bergabung di pemerintahan karena bisa membahayakan eksistensi Israel.

 

Beberapa analisis penyebab berakhirnya kekuasaan Netanyahu. Salah satunya, publik ingin ada wajah baru di pemerintahan. Konflik bersenjata dengan Hamas pada Mei 2021 serta pertikaian antarwarga Israel (keturunan Arab dan keturunan Yahudi) juga mengingatkan, relasi dengan Palestina perlu diperbaiki. Posisi Netanyahu yang tak menganggap Palestina mitra sepadan terasa tak relevan lagi.

 

Selain itu, Netanyahu dinilai mengembangkan politik memecah belah. Sejumlah kekuatan sayap kanan pun tak menyukainya. Ia dikenal pula keras terhadap pers. Tak mengherankan, berakhirnya kekuasaan Netanyahu disambut gembira sebagian warga Israel dengan berpesta di jalan.

 

Koalisi pelangi yang dipimpin politisi konservatif Naftali Bennett harus membuktikan mampu memenuhi harapan akan perdamaian sekaligus keberlanjutan eksistensi Israel. Koalisi ini memang rapuh. Satu saja unsur di dalamnya hengkang, pemerintahan terancam bubar. Namun, hal itu bisa menjadi kekuatan. Koalisi pelangi harus selalu hati-hati merespons berbagai isu agar tetap utuh. Suara warga Arab Israel dan kaum kiri kini harus diperhatikan. Moderasi—sikap menghindari posisi ekstrem—diharapkan menjadi dominan.

 

Kekuatan di luar Israel—Palestina dan komunitas internasional—menanti terobosan pemerintahan baru. Apakah mereka hanya memanfaatkan kejenuhan publik terhadap Netanyahu atau memang mampu menjadi katalisator perdamaian di Timur Tengah? Waktu yang akan menjawabnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar