Selasa, 29 Juni 2021

 

Membangun Daya Kritis Masyarakat di Era Banjir Informasi

Yovita Arika ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 28 Juni 2021

 

 

                                                           

Tak kurang upaya media massa, pegiat literasi, juga pemerintah untuk mengonter hoaks, informasi palsu, hingga informasi salah yang membanjiri masyarakat melalui berbagai media, terutama media sosial. Namun bak membendung air bah, upaya ini tidak akan efektif jika masyarakat masih mudah percaya hoaks atau hanya mau percaya pada informasi yang dipercayainya.

 

Merujuk hasil survei Literasi Digital Nasional 2020 yang dilakukan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) dan Katadata Insight Center, indeks literasi digital masyarakat Indonesia belum baik, masih di level sedang, dengan skor 3,47 dari skor tertinggi 5. Ini berarti secara umum masyarakat kurang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi hoaks, serta rentan ikut menyebarkan konten hoaks.

 

Sejak pandemi Covid-19, Maret 2020-Januari 2021, misalnya, Kominfo mendeteksi 1.387 hoaks terkait Covid-19, belum termasuk hoaks terkait politik, ekonomi, pendidikan, dan konten negatif lainnya. Jumlah ini pun bertambah dari waktu ke waktu. Hingga kini masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa Covid-19 itu nyata, atau percaya ada konspirasi di balik penyebaran Covid-19 hingga pemberian vaksin Covid-19.

 

Kondisi tersebut tidak saja menimbulkan kekacauan informasi, tetapi juga menghambat upaya penanganan pandemi. Rendahnya literasi digital juga berdampak pada rendahnya daya saing digital yang membuat Indonesia hanya akan menjadi pasar dan dapat kehilangan kesempatan untuk memetik dampak baik perkembangan teknologi ini.

 

Rendahnya literasi digital berbanding lurus dengan kurangnya kemampuan berpikir kritis yang tidak saja bisa terjadi pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah, tetapi juga yang berpendidikan tinggi. Dalam perbincangan dengan Kompas beberapa waktu lalu, Heri Munajib, penangkal hoaks di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, mengatakan, ada seorang ilmuwan yang percaya teori konspirasi terkait Covid-19.

 

Pada orang seperti itu, pembuktian seperti apa pun seringkali tidak bisa mengubah keyakinan mereka. Pakar media dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rahayu, mengatakan, pada diri orang seperti itu ada keyakinan akan sesuatu hal (believe) yang berpengaruh pada kemampuan berpikir kritisnya. “Ketika believe kuat, maka menyingkirkan fakta-fakta di luar yang dia percaya. Tak heran jika ada orang terpelajar tetap percaya teori konspirasi Covid-19,” kata dia, Rabu (23/6/2021).

 

Meski berpendidikan tinggi, menurut Rahayu, orang seperti itu bukan termasuk kategori orang berwawasan dan mempunyai relasi sosial yang bagus. Hal ini biasanya terjadi pada mereka yang hanya bergaul di lingkungan tertentu atau lingkungan dengan keanggotaan yang tidak beragam. Selain faktor pengetahuan (pendidikan), faktor pergaulan atau relasi sosial mempunyai pengaruh signifikan pada daya berpikir kritis seseorang

 

Karena itu desain pendidikan yang menonjolkan multikulturalisme, tidak sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, perlu menjadi prioritas di Indonesia yang terdiri dari beragam etnis, ras, budaya, dan agama ini. Selama ini, praktik pendidikan ini masih banyak di tataran teori. Kasus pemaksaaan atau pun pelarangan penggunaan seragam sekolah beratribut agama merupakan salah satu bukti.

 

Ketika para pemangku kepentingan pendidikan, termasuk guru, tidak bisa menerima perbedaan, bagaimana mau mengajarkan siswa untuk melihat dan menerima perbedaan. Padahal, kata Rahayu, menghargai dan menerima perbedaan merupakan dasar dalam pembelajaran yang dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.

 

Literasi media

 

Di era informasi ini, desain pendidikan yang mengedepankan literasi media dan literasi digital juga menjadi kebutuhan mendesak. Setelah mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi dihentikan sejak penerapan Kurikulum 2013, mulai 2018 pemerintah memang memasukkan mata pelajaran Informatika di jenjang sekolah menengah. Tujuannya agar siswa menguasai teknologi maupun informasi di dunia digital.

 

Namun dalam praktiknya, mata pelajaran tersebut lebih pada penguasaan teknologi informasi. Literasi media dan literasi digital tidak hanya tentang keterampilan menggunakan komputer, tetapi juga mencakup kemampuan untuk berpikir kritis yang memungkinkan siswa memahami fungsi media dan penyedia informasi lainnya, serta mengevalusi kontennya secara kritis untuk membuat pilihan baik sebagai pengguna maupun produsen informasi.

 

Di era banjir informasi ini, literasi media dan literasi digital menjadi lebih penting dan mendesak dari sebelumnya. Merespon pentingnya pembelajaran literasi media digital, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan Twitter akan melaksanakan program penguatan literasi media sosial bagi siswa SMP. Kerja sama ini akan menghasilkan silabus dan modul pembelajaran literasi media sosial bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan jenjang SMP.

 

Program ini menyasar siswa usia SMP karena usia tersebut merupakan pengguna awal media sosial. Harapannya, generasi muda akan lebih bijak dalam menggunakan media sosial yang selama ini juga menjadi saluran utama informasi yang membanjiri masyarakat. Apalagi, sebagian besar masyarakat mengakses informasi melalui media sosial.

 

“Bijak dalam menggunakan media sosial sejak dini turut membentuk karakter yang baik, terutama dalam membiasakan diri berpikir kritis, kreatif, dapat bekerja sama, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta memiliki empati,” kata Pelaksana Tugas Sesjen Kemendikbudristek Ainun Na’im dalam rilis Kemendikbudristek, Kamis (24/6).

 

Idealnya, sebagaimana anjuran UNESCO, pembelajaran literasi media dan literasi digital diberikan sejak jenjang sekolah dasar dan masuk dalam kurikulum pendidikan. Rahayu mencontohkan, di Singapura, siswa SD diajak membedah iklan—mulai dari membahas kalimat-kalimat persuasif hingga kecenderungan hiperbolis dalam iklan. Ini untuk  menumbuhkan dan mengasah kemampuan kritis mereka terhadap informasi, bahwa sesuatu yang tersaji di media tidak selalu mewakili realitas, ada kepentingan-kepentingan di balik produk informasi.

 

Selain melalui jalur pendidikan formal, upaya membangun kemampuan berpikir kritis juga harus dilakukan melalui pendidikan nonformal. Gerakan dan kampanye literasi media dan literasi digital yang dilakukan masyarakat sipil maupun pemerintah, seperti Gerakan Literasi Digital Nasional yang diluncurkan Kominfo pada 20 Mei lalu, harus semakin massif.

 

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus lebih membumi, bukan sekadar menjadikan masyarakat sebagai target kampanye atau gerakan, tetapi melibatkan masyarakat—di semua lapisan—dalam informasi secara intensif. Keterlibatan dalam informasi secara intensif, berbanding lurus dengan kecenderungan memperoses informasi tersebut secara kritis.

 

“Agar orang punya keterlibatan pada informasi, maka perlu punya kebutuhan akan informasi, dan informasi itu menyajikan data-data sehingga orang bisa meyakini kebenaran informasi itu. Ini mensyaratkan ketersediaan informasi dan akses terhadap informasi. Informasi, terutama dari media-media tepercaya, harus mudah diakses oleh masyarakat,” kata Rahayu.

 

Media juga mempunyai tanggung jawab dalam hal ini karena sumber-sumber informasi yang memberikan perspektif berbeda masih terbatas. Jumlah media di Indonesia banyak, tetapi banyak pula yang kontennya seragam, isi dan judul sama, bahkan tak jarang bersumber pada informasi yang beredar di media sosial tanpa ada verifikasi.

 

Mewujudkan masyarakat yang tidak hanya mempunyai keterampilan fungsional (memahami, memilih, dan mengakses informasi), tetapi juga keterampilan kritis (menganalisis, mengevaluasi, dan memverifikasi informasi) di era banjir informasi ini menjadi tanggung jawab semua eleman masyarakat dan pemangku kepentingan terkait. Dan, jalan masih panjang. Membangun daya kritis masyarakat tidak bisa instan karena menyangkut kemampuan mendasar pada cara berpikir. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar