Membangun
Daya Kritis Masyarakat di Era Banjir Informasi Yovita Arika ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 28 Juni 2021
Tak kurang upaya media
massa, pegiat literasi, juga pemerintah untuk mengonter hoaks, informasi
palsu, hingga informasi salah yang membanjiri masyarakat melalui berbagai
media, terutama media sosial. Namun bak membendung air bah, upaya ini tidak
akan efektif jika masyarakat masih mudah percaya hoaks atau hanya mau percaya
pada informasi yang dipercayainya. Merujuk hasil survei
Literasi Digital Nasional 2020 yang dilakukan Kementerian Informasi dan
Komunikasi (Kominfo) dan Katadata Insight Center, indeks literasi digital
masyarakat Indonesia belum baik, masih di level sedang, dengan skor 3,47 dari
skor tertinggi 5. Ini berarti secara umum masyarakat kurang memiliki
kemampuan dalam mengidentifikasi hoaks, serta rentan ikut menyebarkan konten
hoaks. Sejak pandemi Covid-19,
Maret 2020-Januari 2021, misalnya, Kominfo mendeteksi 1.387 hoaks terkait
Covid-19, belum termasuk hoaks terkait politik, ekonomi, pendidikan, dan
konten negatif lainnya. Jumlah ini pun bertambah dari waktu ke waktu. Hingga
kini masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa Covid-19 itu nyata, atau
percaya ada konspirasi di balik penyebaran Covid-19 hingga pemberian vaksin
Covid-19. Kondisi tersebut tidak
saja menimbulkan kekacauan informasi, tetapi juga menghambat upaya penanganan
pandemi. Rendahnya literasi digital juga berdampak pada rendahnya daya saing
digital yang membuat Indonesia hanya akan menjadi pasar dan dapat kehilangan
kesempatan untuk memetik dampak baik perkembangan teknologi ini. Rendahnya literasi digital
berbanding lurus dengan kurangnya kemampuan berpikir kritis yang tidak saja
bisa terjadi pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah, tetapi juga yang
berpendidikan tinggi. Dalam perbincangan dengan Kompas beberapa waktu lalu,
Heri Munajib, penangkal hoaks di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia,
mengatakan, ada seorang ilmuwan yang percaya teori konspirasi terkait
Covid-19. Pada orang seperti itu,
pembuktian seperti apa pun seringkali tidak bisa mengubah keyakinan mereka.
Pakar media dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rahayu, mengatakan, pada
diri orang seperti itu ada keyakinan akan sesuatu hal (believe) yang
berpengaruh pada kemampuan berpikir kritisnya. “Ketika believe kuat, maka
menyingkirkan fakta-fakta di luar yang dia percaya. Tak heran jika ada orang
terpelajar tetap percaya teori konspirasi Covid-19,” kata dia, Rabu
(23/6/2021). Meski berpendidikan
tinggi, menurut Rahayu, orang seperti itu bukan termasuk kategori orang
berwawasan dan mempunyai relasi sosial yang bagus. Hal ini biasanya terjadi
pada mereka yang hanya bergaul di lingkungan tertentu atau lingkungan dengan
keanggotaan yang tidak beragam. Selain faktor pengetahuan (pendidikan),
faktor pergaulan atau relasi sosial mempunyai pengaruh signifikan pada daya
berpikir kritis seseorang Karena itu desain
pendidikan yang menonjolkan multikulturalisme, tidak sekadar mengajarkan ilmu
pengetahuan, perlu menjadi prioritas di Indonesia yang terdiri dari beragam
etnis, ras, budaya, dan agama ini. Selama ini, praktik pendidikan ini masih
banyak di tataran teori. Kasus pemaksaaan atau pun pelarangan penggunaan
seragam sekolah beratribut agama merupakan salah satu bukti. Ketika para pemangku
kepentingan pendidikan, termasuk guru, tidak bisa menerima perbedaan,
bagaimana mau mengajarkan siswa untuk melihat dan menerima perbedaan.
Padahal, kata Rahayu, menghargai dan menerima perbedaan merupakan dasar dalam
pembelajaran yang dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Literasi
media Di era informasi ini,
desain pendidikan yang mengedepankan literasi media dan literasi digital juga
menjadi kebutuhan mendesak. Setelah mata pelajaran Teknologi Informasi dan
Komunikasi dihentikan sejak penerapan Kurikulum 2013, mulai 2018 pemerintah
memang memasukkan mata pelajaran Informatika di jenjang sekolah menengah.
Tujuannya agar siswa menguasai teknologi maupun informasi di dunia digital. Namun dalam praktiknya,
mata pelajaran tersebut lebih pada penguasaan teknologi informasi. Literasi
media dan literasi digital tidak hanya tentang keterampilan menggunakan
komputer, tetapi juga mencakup kemampuan untuk berpikir kritis yang
memungkinkan siswa memahami fungsi media dan penyedia informasi lainnya,
serta mengevalusi kontennya secara kritis untuk membuat pilihan baik sebagai
pengguna maupun produsen informasi. Di era banjir informasi
ini, literasi media dan literasi digital menjadi lebih penting dan mendesak
dari sebelumnya. Merespon pentingnya pembelajaran literasi media digital,
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan
Twitter akan melaksanakan program penguatan literasi media sosial bagi siswa
SMP. Kerja sama ini akan menghasilkan silabus dan modul pembelajaran literasi
media sosial bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan jenjang SMP. Program ini menyasar siswa
usia SMP karena usia tersebut merupakan pengguna awal media sosial.
Harapannya, generasi muda akan lebih bijak dalam menggunakan media sosial
yang selama ini juga menjadi saluran utama informasi yang membanjiri
masyarakat. Apalagi, sebagian besar masyarakat mengakses informasi melalui
media sosial. “Bijak dalam menggunakan
media sosial sejak dini turut membentuk karakter yang baik, terutama dalam
membiasakan diri berpikir kritis, kreatif, dapat bekerja sama, menghargai
diri sendiri dan orang lain, serta memiliki empati,” kata Pelaksana Tugas
Sesjen Kemendikbudristek Ainun Na’im dalam rilis Kemendikbudristek, Kamis
(24/6). Idealnya, sebagaimana
anjuran UNESCO, pembelajaran literasi media dan literasi digital diberikan
sejak jenjang sekolah dasar dan masuk dalam kurikulum pendidikan. Rahayu
mencontohkan, di Singapura, siswa SD diajak membedah iklan—mulai dari
membahas kalimat-kalimat persuasif hingga kecenderungan hiperbolis dalam
iklan. Ini untuk menumbuhkan dan
mengasah kemampuan kritis mereka terhadap informasi, bahwa sesuatu yang
tersaji di media tidak selalu mewakili realitas, ada kepentingan-kepentingan
di balik produk informasi. Selain melalui jalur
pendidikan formal, upaya membangun kemampuan berpikir kritis juga harus
dilakukan melalui pendidikan nonformal. Gerakan dan kampanye literasi media
dan literasi digital yang dilakukan masyarakat sipil maupun pemerintah,
seperti Gerakan Literasi Digital Nasional yang diluncurkan Kominfo pada 20
Mei lalu, harus semakin massif. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan harus lebih membumi, bukan sekadar menjadikan masyarakat sebagai
target kampanye atau gerakan, tetapi melibatkan masyarakat—di semua
lapisan—dalam informasi secara intensif. Keterlibatan dalam informasi secara
intensif, berbanding lurus dengan kecenderungan memperoses informasi tersebut
secara kritis. “Agar orang punya
keterlibatan pada informasi, maka perlu punya kebutuhan akan informasi, dan
informasi itu menyajikan data-data sehingga orang bisa meyakini kebenaran
informasi itu. Ini mensyaratkan ketersediaan informasi dan akses terhadap
informasi. Informasi, terutama dari media-media tepercaya, harus mudah
diakses oleh masyarakat,” kata Rahayu. Media juga mempunyai
tanggung jawab dalam hal ini karena sumber-sumber informasi yang memberikan
perspektif berbeda masih terbatas. Jumlah media di Indonesia banyak, tetapi
banyak pula yang kontennya seragam, isi dan judul sama, bahkan tak jarang
bersumber pada informasi yang beredar di media sosial tanpa ada verifikasi. Mewujudkan masyarakat yang
tidak hanya mempunyai keterampilan fungsional (memahami, memilih, dan
mengakses informasi), tetapi juga keterampilan kritis (menganalisis,
mengevaluasi, dan memverifikasi informasi) di era banjir informasi ini
menjadi tanggung jawab semua eleman masyarakat dan pemangku kepentingan
terkait. Dan, jalan masih panjang. Membangun daya kritis masyarakat tidak
bisa instan karena menyangkut kemampuan mendasar pada cara berpikir. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar