Pengkhianatan
Kurikulum Pendidikan Ardhie Raditya ; Sosiolog Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya
di Departemen Sosiologi Unesa |
KOMPAS, 23 Juni 2021
Kurikulum ibarat lintasan
dalam balapan. Seberapa hebatnya kendaraan yang turun balapan, tidak akan
berarti apa-apa tanpa lintasan. Karena sangat menentukan arah lintasan
pendidikan, maka kurikulum harus diperhatikan. Perhatian menyeluruh
terhadap kualitas kurikulum bukan terletak pada kelatahan “ganti menteri,
ganti kurikulum”. Namun, mempertimbangkan beragam aspek, baik sosial, budaya,
hingga ekonomi masyarakat sebagai lokomotif pendidikan. Sudah tidak lagi terhitung
jari jumlah kurikulum pendidikan kita yang silih berganti. Mulai dari
kurikulum CBSA hingga merdeka belajar. Seringnya kurikulum berganti karena
arah perubahan politik, maka masyarakat kadangkala sulit mencerna apa esensi
kurikulumnya. Masyarakat pendidikan di
level pelaksana hanya menduga, kadangkala saling curiga. Pergantian kurikulum
bukan diperuntukkan bagi masa depan pendidikan mereka, melainkan untuk
melayani kehendak kuasa, tuntutan koalisi politik, agenda temporal rezim
kebenaran, dan dekomposisi pemodal yang sedang bernegosiasi. Elizabet Vallance (2014)
melalui karyanya Hiding the Hidden Curriculum menjelaskan dasar perubahan
kurikulum. Setidaknya, terdapat tiga hal penyebab perubahan kurikulum di
suatu negara. Pertama, penyempurnaan. Kedua, kontrol sosial. Ketiga,
menyembunyikan kepentingan politik di level pemerintahan. Kita sering
mendengar reproduksi wacana perubahan kurikulum pendidikan kita atas dasar
dua hal itu: penyempurnaan dan kontrol sosial. Tetapi, nyaris tidak satu
pun terdengar jelas dari para penentu kebijakan pendidikan tentang
kepentingan politiknya. Mereka sibuk mengatur strategi wacana untuk
menyembunyikannya. Agar, masyarakat percaya bahwa pendidikan kita adalah
lembaga bebas nilai. Dengan begitu, siapa pun yang berada dalam rantai sistem
pendidikan dituntut kepatuhannya, sukarela maupun terpaksa. Makanya,
kurikulum pendidikan sesungguhnya berpotensi membungkam kritik secara
hegemonik. Kaum intelektual yang
berkumpul dan tersebar di kampus semestinya memiliki sikap otonom untuk
membongkarnya. Persoalannya, sebagian besar dari mereka rupanya terjerumus
dalam urusan kerja-kerja praktis dan administratif. Gugatan terhadap
kurikulum pendidikan yang merenggut mutu humanitas pendidikan sering berakhir
pada acara seminar. Terkadang, perubahan
kurikulum menjadi momentum untuk menyerap anggaran proyek penelitian. Hampir
tidak banyak dari mereka yang ikut berkoalisi antar intelektual demi gerakan
perlawanan secara konsisten. Jika pun ada, segelintir darinya biasanya
memanajemen kesan panggung depannya. Setelah mendapatkan mandat menentukan
arah pendidikan, maka kostum dan kesan dramatis heroiknya mereka tanggalkan. Mereka ibarat intelektual
terompet. Suara mereka terdengar lantang demi menarik perhatian massa. Mereka
bukan hendak mendidik dan mencerahkan massa yang terbungkam. Melainkan, untuk
menyalurkan narsisismenya dalam rangka mobilitas sosial dirinya. Pada situasi ini, otonomi
dan sikap mandiri dalam dunia intelektualitas yang mereka geluti seakan
tumpul, bahkan mati suri. Boleh jadi, inilah yang sering kita sebut sebagai
pengkhianatan kaum terdidik. Imbasnya, dunia pendidikan tinggi kita bukan
sarana melestarikan agen-agen perubahan. Apalagi, institusi bebas nilai.
Melainkan, sarana mengembangbiakkan tenaga kerja terdidik yang lihai
menyelamatkan diri sendiri. Idealisme dan cita-cita
luhur pendidikan yang disuarakan di kelas seakan memudar setelah ujian
mahasiswa usai. Atau, mereka lupakan ketika mengisi beban kerja dosen untuk
mencairkan tunjangan dan kenaikan pangkat. Kurikulum pendidikan kita
selama ini berpusat pada penuntasan materi tekstual. Maka, proses pendidikan
tidak pernah berlangsung sepanjang hayat. Standar mutu terdidik atau tidaknya
seseorang terkesan disederhanakan pada tumpukan ijazah dan deretan gelar.
Padahal, ukuran ini memperkuat modal simbolik. Budaya mengkultuskan modal
simbolik mencerminkan bahwa bangsa kita menyukai teater monumental. Pameran
foto kelulusan, kemegahan gedung pendidikan, dan cantuman gelar di surat
undangan adalah contoh teater monumental. Alih-alih mengkonstruksi
kultur pendidikan, teater monumental mendekonstruksinya. Karena, intensitas
kesadaran historis dan pengalaman belajarnya terikat pada reproduksi
inderawinya. Tetapi, ingatan batiniah berupa panggilan membangun bangsa,
mengemansipasi, merawat kebinekaan, dan keadilan sosial tidak berkelanjutan. Pasca lulus sekolah atau
kuliah, yang mereka ingat bagaimana cara mengembalikan biaya yang habis
terpakai selama belajar. Maka, kita semua perlu merenungkan ulang kurikulum
pendidikannya. Mengapa dari mereka yang lulus sekolah atau kuliah ada yang
mengkhianati bangsa, mengkorupsi uang rakyat, dan menjajah sesamanya? Bangsa ini membutuhkan
terobosan radikal agar merombak ulang arah pendidikan kita. Kita membutuhkan
kurikulum berbasis masyarakat yang terdiferensiasi pada tiga sektor. Pertama,
sektor kawasan: kota-desa, Jawa dan non Jawa. Kedua, sektor ekonomi unggulan:
industri-agraris, pelayanan publik-wirausaha kreatif. Ketiga, sektor
spesialisasi keilmuwan: teknologi-humaniora, sosial-eksakta, terapan-murni.
Ketiganya disesuaikan dengan karakteristik persoalan masyarakat sekitar di
masing-masing lokasi lembaga pendidikan berada. Kurikulum berbasis
masyarakat merupakan pengejawantahan spirit zaman pasca orde baru. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai kemerdekaan sebagai spirit otonomi dan
keberagaman pendidikan. Kemerdekaan pada kurikulum ini tidak terpisah dari
tuntutan dan panggilan hati pendidikan sepanjang hayat. Apa gunanya kata
“merdeka” menjadi tempelan nama kurikulum, jika pendidikan diarahkan
mereproduksi budak, kuli, dan buruh terdidik di negeri sendiri. Tanyalah pada
hatimu, kawan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar