Rabu, 23 Juni 2021

 

Trauma

Saras Dewi ;  Pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia

KOMPAS, 19 Juni 2021

 

 

                                                           

Lukisan karya I Gusti Ayu Kadek Murniasih menyala dengan warna-warni terang, garis-garisnya menghipnotis siapa pun. Kepribadiannya, senyumnya, ceritanya erat melekat dalam setiap lukisan. Meski demikian, di balik rangkaian percikan warna; merah muda, biru pirus, kuning atau ungu, ada yang sama sekali hening, kesepian bahkan pilu.

 

Setidaknya, itu cara saya memandang karya-karya Murniasih. Melalui karya lukisnya, Murniasih menenggelamkan kita ke dalam pusaran emosi. Saya merasa menguak lapisan demi lapisan emosi yang terpendam dalam isolasi.

 

Karya-karya Murniasih sudah semenjak lama mengundang kekaguman para pakar seni rupa. Sebagian besar tentu menggaris bawahi nuansa erotis yang seolah-olah tampak gamblang, gaya lukis Murniasih pun merupakan dobrakan pada masanya.

 

Sebagai seorang perempuan perupa, karya-karya Murniasih semakin menonjol di dunia seni rupa yang didominasi oleh laki-laki. Para peneliti seni rupa memperbincangkan ekspresi seksualitas yang dituangkan Murniasih di atas kanvas. Sapuan kuasnya berkisah tentang gairah perempuan, topik yang hingga kini sering kali dianggap tabu untuk dibahas. Bermacam pandangan yang ortodoks tentang tubuh perempuan diterobos oleh Murniasih, ada gempita kebebasan perempuan untuk menjadi dirinya sendiri.

 

Menurut saya, kegirangan warna ataupun permainan bentuk dari obyek-obyek yang dilukis Murniasih sering mengecoh para pengamat. Sisi keriangan Murniasih yang lincah mempertukarkan obyek sehari-hari dengan makna erotis, sejatinya mengendapkan makna tersembunyi yang muram. Resapi karya-karyanya yang berjudul ”Trauma 2” (1994-2004), ”Aman Tanpa Khawatir” (2004), ”Hati Yang Sepi” (1994-2004), dan ”Sedih Pun Berkarya” (1994-2004).

 

Dalam salah satu wawancara, Murniasih menuturkan pengalaman kelam diperkosa oleh ayahnya sendiri. Ia mengatakan, ”Saya ingin menyampaikan sekarang pada semua orang apa yang terjadi pada saya ketika saya berusia 7 tahun. Saya diperkosa oleh ayah saya. Hingga kini saya tutup di hati dan pikiran saya, tetapi sekarang saya ingin bicara, saya sudah siap. Saya masih 7 tahun, dapatkah kamu bayangkan?” (HelloBali, Edisi September 2003, Arsip Seni Visual Indonesia)

 

Lukisan berjudul ”Trauma 2” benderang bercorak hijau, menggabungkan dua benda; tubuh perempuan dan pisau bergerigi. Murniasih mengisyaratkan, dua kali tubuhnya mengalami kekerasan, pertama kali oleh ayahnya kemudian untuk kedua kali oleh kekasihnya, keduanya adalah orang-orang terdekat, orang-orang yang semestinya dapat ia percayai.

 

Demikian pula dalam lukisan ”Aman Tanpa Khawatir”, dengan latar belakang berwarna merah darah, tubuh perempuan tampak nyaring berwarna hijau neon yang dilindungi gembok raksasa berwarna jingga. Benturan warna-warna ini seperti menyamarkan makna getir dari lukisan tersebut. Mungkinkah perempuan dapat merasa aman di dalam tubuhnya sendiri? Tanpa dibayangi paksaan, ancaman, atau teror? Bertubi-tubi Murniasih mengalami trauma. Ia ingin menutup dirinya, mengunci tubuhnya sehingga tiada satu pun dapat menyakitinya.

 

Kita dapat mengenal Murniasih selain dari kejujuran lukisannya, juga melalui para sahabat karibnya. Dua sahabatnya, Oka Rusmini dan Cok Savitri, adalah sastrawan tersohor di Indonesia. Mereka adalah perempuan yang meretas dunia sastra dengan tulisan-tulisan tajam menggunakan sudut pandang feminis. Oka Rusmini menceritakan, ”Murniasih berkata dengan melukis persoalan-persoalan tubuhnya, dia merasa bisa berbagi luka-luka yang ada di semesta tubuhnya.”

 

Sementara Cok Savitri dalam dokumentasi Ketemu Project bercerita tentang trauma yang terus mendekam di dalam tubuh Murniasih. Murniasih bergelut dengan tubuhnya, kala trauma mendera, ia sering mencederai dirinya sendiri. Trauma itu menjadi sulur yang melingkar-lingkar di tubuhnya dan turut menyertainya hingga akhir hayatnya. Murniasih berpulang dikarenakan penyakit kanker rahim yang dideritanya. Ia meninggal dunia ketika berusia 40 tahun.

 

Keresahan Murniasih yang meletup dalam karya-karyanya memengaruhi seniman muda, salah satunya adalah Citra Sasmita. Citra Sasmita merupakan perempuan perupa kelahiran Tabanan, Bali, yang juga lantang mengkritik diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada perempuan melalui seni. Instalasinya yang berjudul ”Mea Vulva, Maxima Vulva” adalah karya penting yang merespons kegelisahan Murniasih tentang ketidakadilan jender yang terjadi di sekitarnya.

 

Tidak mudah bagi perempuan untuk dapat menyampaikan pengalaman traumatis. Citra Sasmita berkolaborasi bersama perempuan seniman di Bali lainnya menciptakan ruang berkesenian yang peka terhadap cita-cita keadilan dan kesetaraan.

 

Kisah Murniasih adalah satu cerita nyata di antara kasus-kasus menyedihkan kekerasan seksual di Indonesia. Kekerasan terjadi di ruang publik dan privat, pada berbagai latar belakang sosial, di rumah, sekolah, kampus, komunitas agama, perkantoran, pabrik. Pelecehan terjadi di jalan, di kendaraan umum, di pertokoan, di mana pun perempuan membawa tubuhnya. Bahkan, pedihnya ada kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan saat tubuhnya tidak lagi bernyawa. Dunia terlampau suram untuk perempuan. Hari demi hari dijejali pemberitaan menyayat tentang korban-korban kekerasan seksual.

 

Merefleksikan kondisi yang memperihatinkan ini, kita sesungguhnya dalam kegentingan dan membutuhkan pembaharuan kebijakan yang akan mempercepat transformasi budaya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memosisikan kehadiran negara dalam mencegah kekerasan serta melindungi juga mendampingi korban. Pengesahan RUU Pungkas mengafirmasi bahwa problem kekerasan terhadap perempuan adalah problem kemanusiaan yang harus dipecahkan bersama. RUU Pungkas sangat esensial untuk membunyikan kekerasan seksual yang selama ini disenyapkan, disingkiran oleh budaya yang sarat diskriminasi terhadap perempuan.

 

Lukisan-lukisan Murniasih adalah penggambaran memori tubuh yang diliputi trauma. Namun, saya membayangkan pula keberanian Murniasih untuk bicara, ia menjadi penyintas melalui karya-karyanya. Lukisan Murniasih adalah uluran tangan kepada perempuan, sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas untuk bersama-sama pulih. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar