Trauma Saras Dewi ; Pengajar Ilmu Filsafat di Universitas
Indonesia |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Lukisan karya I Gusti Ayu
Kadek Murniasih menyala dengan warna-warni terang, garis-garisnya menghipnotis
siapa pun. Kepribadiannya, senyumnya, ceritanya erat melekat dalam setiap
lukisan. Meski demikian, di balik rangkaian percikan warna; merah muda, biru
pirus, kuning atau ungu, ada yang sama sekali hening, kesepian bahkan pilu. Setidaknya, itu cara saya
memandang karya-karya Murniasih. Melalui karya lukisnya, Murniasih
menenggelamkan kita ke dalam pusaran emosi. Saya merasa menguak lapisan demi
lapisan emosi yang terpendam dalam isolasi. Karya-karya Murniasih
sudah semenjak lama mengundang kekaguman para pakar seni rupa. Sebagian besar
tentu menggaris bawahi nuansa erotis yang seolah-olah tampak gamblang, gaya
lukis Murniasih pun merupakan dobrakan pada masanya. Sebagai seorang perempuan
perupa, karya-karya Murniasih semakin menonjol di dunia seni rupa yang
didominasi oleh laki-laki. Para peneliti seni rupa memperbincangkan ekspresi
seksualitas yang dituangkan Murniasih di atas kanvas. Sapuan kuasnya berkisah
tentang gairah perempuan, topik yang hingga kini sering kali dianggap tabu
untuk dibahas. Bermacam pandangan yang ortodoks tentang tubuh perempuan
diterobos oleh Murniasih, ada gempita kebebasan perempuan untuk menjadi
dirinya sendiri. Menurut saya, kegirangan
warna ataupun permainan bentuk dari obyek-obyek yang dilukis Murniasih sering
mengecoh para pengamat. Sisi keriangan Murniasih yang lincah mempertukarkan
obyek sehari-hari dengan makna erotis, sejatinya mengendapkan makna
tersembunyi yang muram. Resapi karya-karyanya yang berjudul ”Trauma 2”
(1994-2004), ”Aman Tanpa Khawatir” (2004), ”Hati Yang Sepi” (1994-2004), dan
”Sedih Pun Berkarya” (1994-2004). Dalam salah satu
wawancara, Murniasih menuturkan pengalaman kelam diperkosa oleh ayahnya
sendiri. Ia mengatakan, ”Saya ingin menyampaikan sekarang pada semua orang
apa yang terjadi pada saya ketika saya berusia 7 tahun. Saya diperkosa oleh
ayah saya. Hingga kini saya tutup di hati dan pikiran saya, tetapi sekarang
saya ingin bicara, saya sudah siap. Saya masih 7 tahun, dapatkah kamu
bayangkan?” (HelloBali, Edisi September 2003, Arsip Seni Visual Indonesia) Lukisan berjudul ”Trauma
2” benderang bercorak hijau, menggabungkan dua benda; tubuh perempuan dan
pisau bergerigi. Murniasih mengisyaratkan, dua kali tubuhnya mengalami
kekerasan, pertama kali oleh ayahnya kemudian untuk kedua kali oleh
kekasihnya, keduanya adalah orang-orang terdekat, orang-orang yang semestinya
dapat ia percayai. Demikian pula dalam
lukisan ”Aman Tanpa Khawatir”, dengan latar belakang berwarna merah darah,
tubuh perempuan tampak nyaring berwarna hijau neon yang dilindungi gembok
raksasa berwarna jingga. Benturan warna-warna ini seperti menyamarkan makna
getir dari lukisan tersebut. Mungkinkah perempuan dapat merasa aman di dalam
tubuhnya sendiri? Tanpa dibayangi paksaan, ancaman, atau teror? Bertubi-tubi
Murniasih mengalami trauma. Ia ingin menutup dirinya, mengunci tubuhnya
sehingga tiada satu pun dapat menyakitinya. Kita dapat mengenal
Murniasih selain dari kejujuran lukisannya, juga melalui para sahabat
karibnya. Dua sahabatnya, Oka Rusmini dan Cok Savitri, adalah sastrawan
tersohor di Indonesia. Mereka adalah perempuan yang meretas dunia sastra
dengan tulisan-tulisan tajam menggunakan sudut pandang feminis. Oka Rusmini
menceritakan, ”Murniasih berkata dengan melukis persoalan-persoalan tubuhnya,
dia merasa bisa berbagi luka-luka yang ada di semesta tubuhnya.” Sementara Cok Savitri
dalam dokumentasi Ketemu Project bercerita tentang trauma yang terus mendekam
di dalam tubuh Murniasih. Murniasih bergelut dengan tubuhnya, kala trauma
mendera, ia sering mencederai dirinya sendiri. Trauma itu menjadi sulur yang
melingkar-lingkar di tubuhnya dan turut menyertainya hingga akhir hayatnya.
Murniasih berpulang dikarenakan penyakit kanker rahim yang dideritanya. Ia
meninggal dunia ketika berusia 40 tahun. Keresahan Murniasih yang
meletup dalam karya-karyanya memengaruhi seniman muda, salah satunya adalah
Citra Sasmita. Citra Sasmita merupakan perempuan perupa kelahiran Tabanan,
Bali, yang juga lantang mengkritik diskriminasi dan kekerasan yang terjadi
pada perempuan melalui seni. Instalasinya yang berjudul ”Mea Vulva, Maxima
Vulva” adalah karya penting yang merespons kegelisahan Murniasih tentang
ketidakadilan jender yang terjadi di sekitarnya. Tidak mudah bagi perempuan
untuk dapat menyampaikan pengalaman traumatis. Citra Sasmita berkolaborasi
bersama perempuan seniman di Bali lainnya menciptakan ruang berkesenian yang
peka terhadap cita-cita keadilan dan kesetaraan. Kisah Murniasih adalah
satu cerita nyata di antara kasus-kasus menyedihkan kekerasan seksual di
Indonesia. Kekerasan terjadi di ruang publik dan privat, pada berbagai latar
belakang sosial, di rumah, sekolah, kampus, komunitas agama, perkantoran,
pabrik. Pelecehan terjadi di jalan, di kendaraan umum, di pertokoan, di mana
pun perempuan membawa tubuhnya. Bahkan, pedihnya ada kasus-kasus pemerkosaan
terhadap perempuan saat tubuhnya tidak lagi bernyawa. Dunia terlampau suram
untuk perempuan. Hari demi hari dijejali pemberitaan menyayat tentang
korban-korban kekerasan seksual. Merefleksikan kondisi yang
memperihatinkan ini, kita sesungguhnya dalam kegentingan dan membutuhkan
pembaharuan kebijakan yang akan mempercepat transformasi budaya. RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual memosisikan kehadiran negara dalam mencegah
kekerasan serta melindungi juga mendampingi korban. Pengesahan RUU Pungkas
mengafirmasi bahwa problem kekerasan terhadap perempuan adalah problem
kemanusiaan yang harus dipecahkan bersama. RUU Pungkas sangat esensial untuk
membunyikan kekerasan seksual yang selama ini disenyapkan, disingkiran oleh
budaya yang sarat diskriminasi terhadap perempuan. Lukisan-lukisan Murniasih
adalah penggambaran memori tubuh yang diliputi trauma. Namun, saya
membayangkan pula keberanian Murniasih untuk bicara, ia menjadi penyintas
melalui karya-karyanya. Lukisan Murniasih adalah uluran tangan kepada
perempuan, sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas untuk bersama-sama
pulih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar