Senin, 28 Juni 2021

 

Memahami Perubahan Undang-undang PPN

Benny Gunawan Ardiansyah ;  Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN, Kementerian Keuangan

KOMPAS, 24 Juni 2021

 

 

                                                           

Publik tengah dihebohkan dengan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembilan bahan pokok (sembako), pendidikan, dan yang terbaru atas jasa pelayanan medis.

 

Rencana tersebut terdapat dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas nasional tentang RUU Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), meskipun pembahasan antara pemerintah bersama DPR belum dimulai.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menepis isu tersebut dan menekankan isu utama saat ini bukanlah mengenakan pajak, tetapi lebih ke arah program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

 

Rezim PPN sendiri berlaku di Indonesia sejak reformasi perpajakan pertama tahun 1983. Indonesia termasuk negara yang sejak awal menggunakan pendekatan pertambahan nilai dalam mengenakan pajak atas konsumsi.

 

Sebelumnya, Indonesia menerapkan pajak penjualan; sebuah sistem yang lebih sederhana, tetapi lebih menimbulkan distorsi bagi perekonomian. Sistem PPN cukup menimbulkan kerumitan sehingga pemberlakuannya ditunda sampai dengan tanggal 1 Januari 1986.

 

Dibutuhkan waktu dua tahun untuk mempersiapkan sistem ini. Saat ini, PPN merupakan salah satu jenis pajak yang memiliki sustainabilitas tinggi. Pertumbuhan penerimaan negara dari PPN sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini tidak terjadi pada Pajak Penghasilan (PPh).

 

PPh badan (perusahaan) terus mengalami penurunan tarif dari 30 persen menjadi di bawah 20 persen dalam kurun dua dekade terakhir, mengikuti tren negara-negara seluruh dunia yang mengarah kepada race to the bottom.

 

Sementara itu, PPh perseorangan gagal menjalankan fungsinya dalam melakukan redistribusi penghasilan penduduk Indonesia.

 

Selama 35 tahun rezim PPN berlaku di Indonesia terdapat tiga kali perubahan UU PPN mengikuti perkembangan zaman dan situasi (kondisi).

 

Misalnya saat terjadi big bang decentralization Indonesia pada tahun 1998, UU PPN membagi kewenangan pemajakan jenis pajak konsumsi tertentu, yaitu pajak restoran dan pajak hiburan, dengan pemerintah daerah.

 

Perubahan UU PPN sendiri cenderung mengalami perubahan dari basis pemajakan yang sangat luas menjadi terbatas. Bahkan UU PPN yang berlaku saat ini (berdasarkan perubahan tahun 2009) mengikuti perkembangan perpajakan beberapa negara menjadi lebih menuju ke goods and services tax (GST).

 

Basis pemajakan atas konsumsi barang dan jasa sudah ditentukan, selain itu untuk melakukan perubahan harus melakukan amandemen undang-undang.

 

Amandemen undang-undang di Indonesia harus melalui jalan yang berliku dan memakan waktu yang lama sehingga tidak praktis dengan perkembangan zaman, apalagi dengan akselerasi revolusi industri 4.0 yang terjadi saat ini.

 

Kembali ke UU PPN 1984

 

Terlepas dari pemberlakuan sistem pemajakan atas konsumsi, maka yang lebih penting adalah kesesuaian UU perpajakan dengan sistem hukum yang berlaku di suatu negara.

 

Dalam hal ini, beberapa pengaturan UU PPN yang berlaku saat ini bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat pada PPN atas sembako yang sedang diperdebatkan saat ini.

 

Berdasarkan Pasal 4A UU PPN diatur bahwa salah jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

 

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu perah yang tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, buah-buahan dan sayur-sayuran".

 

Sementara itu, UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa penjelasan UU berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.

 

Penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.

 

Atau, dengan kata lain penjelasan tidak memiliki kekuatan mengikat, dalam hal ini barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seharusnya bisa saja meliputi jenis barang yang tidak disebutkan dalam penjelasan UU tersebut, seperti misalnya ikan, tahu, tempe dan lain-lain.

 

Kesalahan penyusunan UU tersebut dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 39/PUU-VIV/ 2016 tentang penjelasan Pasal 4A Ayat (2) huruf b UU PPN tahun 2009 dengan Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Permohonan itu diajukan oleh dua pemohon, yakni ibu rumah tangga dan pedagang komoditas pangan.

 

Hasil putusan MK tersebut menyatakan bahwa penjelasan Pasal 4A Ayat (2) huruf b UU PPN tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan” mengandung makna yang limitatif.

 

Dengan demikian, amandemen Pasal 4A UU PPN merupakan suatu kewajiban kontinjen bagi pihak eksekutif dan legislatif. Amandemen terutama dilakukan terhadap Pasal 4A Ayat (2) mengatur mengenai jenis barang yang tidak dikenai PPN dan ayat (3) mengatur mengenai jenis jasa yang tidak dikenai PPN.

 

Penghapusan tersebut bukan berarti bahwa jenis barang dan jenis jasa tersebut akan terutang PPN. Jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN dapat diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).

 

Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam UU PPN tahun 1984 akan tetapi sudah dihapus. Pengaturan pengecualian jenis barang dan PPN dengan PP, atau bahkan dengan peraturan menteri keuangan, akan mempermudah pemerintah dalam melakukan perubahan dibandingkan dengan melakukan amandemen UU.

 

Satu hal yang positif dalam perdebatan ini adalah terdapat peningkatan kesadaran rakyat terhadap pengenaan pajak. Transparansi penetapan kebijakan publik akan terus dituntut dan momentum ini seharusnya dimanfaatkan oleh otoritas pajak untuk meningkatkan kesadaran pajak rakyat Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar