Rabu, 23 Juni 2021

 

Memahami Nalar Penyangkal Pandemi

Ahmad Arif ;  Wartawan Kompas, Penulis kolom “Iptek”

KOMPAS, 23 Juni 2021

 

 

                                                           

Saat kasus Covid-19 melonjak tinggi, warga kesulitan mendapat  ruang perawatan di rumah sakit karena penuh, bahkan jenazah antre untuk dimakamkan, orang-orang yang tidak percaya bahaya penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 juga terus berbiak. Misalnya, Asep Sakamullah (32), warga Desa Ciwaru, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang menyatakan bahwa Covid-19 tidak ada melalui unggahan videonya baru-baru ini di Facebook.

 

Dalam video berdurasi 2 menit 50 detik itu, Asep memberikan pernyataan ingin membuat eksperimen dengan menyentuh pasien positif atau orang yang meninggal karena terpapar Covid-19. ”Kalau dua hari kemudian saya meninggal, berarti benar Covid-19 itu ada,” ujarnya.

 

Video itu direkam di satu ruangan dengan empat orang lain yang tengah bercengkerama, tanpa masker dan tanpa menjaga jarak. Asep yang bekerja sebagai tukang tambal ban ini akhirnya ditangkap polisi pada Sabtu (19/6/2021).

 

Di media sosial, sikap serupa banyak beredar. Sebagian di antaranya pesohor yang memiliki banyak pengikut. Saat saya mengumumkan untuk mewawancarai dan menyimak argumen dari para pengingkar Covid-19, banyak yang merespons dan mengirim nomor kontak. Saya sengaja mengeluarkan para pesohor dari daftar wawancara untuk memahami persepsi masyarakat biasa, seperti Asep.

 

Semua informan adalah lelaki dengan rentang usia 19 tahun hingga 63 tahun. Pekerjaannya beragam, mulai dari mahasiswa, guru, pegawai bank, pekerja sektor informal, dan pensiunan BUMN dengan pendidikan tamat SMA hingga sarjana.

 

Dari 11 orang yang bersedia diwawancara, saya membaginya menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang menganggap Covid-19 sebagai rekayasa laboratorium. Walaupun mengakui bahwa virus SARS-CoV-2 berbahaya, kelompok ini menolak vaksin. Alasannya, vaksin merupakan bagian dari konspirasi perekayasa virus ini. Sebagian di antara mereka memakai masker dan menjaga jarak, tetapi sebagian lain mengaku abai.

 

Kelompok kedua beranggapan Covid-19 sebagai penyakit biasa yang tidak perlu ditakuti. Sebagian di antara mereka sudah pernah tertular Covid-19 dan sembuh meski ada juga yang belum pernah terkonfirmasi positif.

 

Kelompok ini juga menilai, pemberitaan tentang Covid-19 di media berlebihan dan menakut-nakuti.  Mayoritas kelompok ini percaya adanya rekayasa rumah sakit yang meng-covid-kan pasien. Korban meninggal dinilai karena penyebab lain, bukan karena Covid-19. Dalam keseharian, mereka hanya memakai masker untuk menghindari razia, tetapi sebagian di antara mereka sudah menerima vaksin.

 

Kelompok ketiga yang mengaku tidak mau tahu, lebih tepatnya apatis tentang bahaya Covid-19. Bagi mereka, Covid-19 tidak harus ditakuti dan menghentikan aktivitas, terutama dalam mencari nafkah. Mereka umumnya tidak disiplin memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari vaksin—lebih karena alasan dianggap tidak penting, takut disuntik, dan terkena kejadian ikutannya.

 

Hampir semua informan mengaku mendapatkan informasi tentang Covid-19 dari media sosial. Beberapa di antaranya merujuk akun-akun pesohor, termasuk dokter kulit yang kerap menafikan bahaya Covid-19—dan sejauh ini dibiarkan. Mereka tidak rutin membaca media, kecuali yang disodorkan tautannya melalui jejaring media sosial.

 

Benang merah lainnya, mayoritas kecewa dengan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Ucapan dan tindakan sejumlah pejabat yang dianggap melanggar protokol kesehatan hingga kerumunan, masuknya tenaga kerja asing dan longgarnya karantina pelaku perjalanan dari luar negeri, hingga korupsi bantuan sosial menjadi narasi yang kerap dijadikan pembenar bahwa penanganan Covid-19 hanyalah proyek elite.

 

Temuan wawancara ini tentu tidak mewakili alasan seluruh pengingkar pandemi yang tumbuh memviral seperti wabah. Akan tetapi, hal ini menunjukkan kompleksnya alasan di balik ketidakpatuhan protokol kesehatan dan penolakan vaksin.

 

Kontestasi

 

Sebagai wabah baru, Covid-19 memang di luar pengalaman normal. Hal itu memaksa orang untuk membuat keputusan penting yang tidak dapat mengandalkan praktik sebelumnya. Keputusan ini tidak melulu didasari oleh risiko tertular dan sakit karena virus korona.

 

Bagi masyarakat biasa, pilihan sikap untuk merespons pandemi ini akan selalu dikontestasikan dengan berbagai pertimbangan lain. Di antaranya, bagaimana saya bisa mendapatkan makanan? Bagaimana saya bisa bekerja? Bagaimana bisa berkumpul dengan keluarga? Haruskah anak-anak saya pergi ke sekolah? Dan berbagai pertimbangan lain.

 

Lalu, apa yang dapat dilakukan terhadap masyarakat yang mengingkari bahwa pandemi merupakan ancaman serius yang harus dimitigasi melalui intervensi kesehatan masyarakat, seperti penggunaan masker, menjaga jarak, menghindari pertemuan besar, hingga vaksinasi?

 

Akan naif untuk menganggap bahwa dengan menyajikan bukti yang relevan bisa mengubah perspektif orang lain agar lebih taat protokol kesehatan atau mau divaksin. Sebagian orang, khususnya ilmuwan, mungkin terlatih menghargai penalaran berbasis bukti dan bisa sewaktu-waktu berubah jika ada bukti baru.

 

Akan tetapi, kebanyakan orang tidak memiliki kemampuan yang sama dalam cara mengevaluasi hipotesis berdasarkan bukti yang kuat. Mereka cenderung mengandalkan sumber informasi yang mudah diakses, seperti omongan teman, tokoh panutan, dan media sosial, tanpa memverifikasi kebenarannya.

 

Apalagi, sebagai penyakit baru yang pengetahuan dan upaya untuk mengatasinya masih dinamis sangat mungkin membingungkan publik yang tidak terlatih berpikir kritis. Pada akhirnya, sebagian orang akan memilih percaya apa yang ingin mereka percaya dan membuat bahagia. Tidak peduli lagi mana yang fakta, opini, bahkan juga hoaks.

 

Sampai sekarang juga belum ada penelitian eksperimental yang dilakukan tentang bagaimana pikiran soal Covid-19 dapat diubah. Namun, kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari penelitian tentang penolakan terhadap vaksinasi sebelumnya.

 

Misalnya, studi Zachary Horne, psikolog dari University of California dan tim berjudul Countering Antivaccination Attitudes di jurnal PNAS (2015). Horne menemukan, orang-orang yang yakin vaksinasi campak berbahaya tidak bisa dipengaruhi oleh bukti, tetapi pikiran mereka dapat diubah oleh ilustrasi tentang dampak buruk campak pada anak-anak.

 

Jadi, gambar yang menakutkan lebih efektif daripada argumen panjang. Mungkin orang yang skeptis tentang bahaya Covid-19 bisa terpengaruh oleh video korban yang terengah-engah. Jadi, setidaknya bagi mereka yang menganggap Covid-19 sebagai konspirasi atau bahkan proyek elite, setidaknya mau menaati protokol kesehatan agar tidak tertular ataupun menulari orang lain. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar