Pahlawan
Nasional untuk Mochtar Kusumaatmadja Mustakim ; Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia |
KOMPAS, 26 Juni 2021
Prof Dr Mochtar
Kusumaatmadja lahir di Jakarta pada 17 Februari 1929 dan wafat pada 6 Juni
2021 di Jakarta. Pernah menjabat Menteri Kehakiman pada 1974 sampai 1978 dan
Menteri Luar Negeri dua periode pada 1978-1983 dan 1983-1988. Sudah
sepantasnya, menjelang hari ulang tahun Kemerdekaan RI yang ke-76 pada 17 Agustus
2021, Pemerintah RI memberikan gelar pahlawan nasional kepada Prof Dr Mochtar
Kusumaatmadja. Dalam benak masyarakat
tertanam pikiran kalau yang disebut pahlawan itu mereka yang berjuang dengan
mengangkat senjata melawan Belanda, sedangkan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja
dengan buah pikirannya melalui konsep Wawasan Nusantara mengenai negara
kepulauan dalam Deklarasi Djuanda berjuang di forum internasional PBB. Sejak
menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan dilanjutkan sebagai Menteri Luar
Negeri, Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja berjuang langsung di PBB untuk
diakuinya prinsip Wawasan Nusantara mengenai negara kepulauan dalam UNCLOS
sehingga NKRI terwujud sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi,
kemerdekaan Indonesia tersebut tidak diakui ataupun disetujui Belanda.
Belanda terus berusaha menguasai kembali Indonesia yang dianggap sebagai
tanah jajahannya sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan mulai
tahun 1945 sampai dengan 1949. Selama itu telah terjadi beberapa kali
perundingan antara Indonesia dan Belanda yang mencapai puncaknya dengan
diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda yang intinya Belanda
akan menyerahkan kedaulatan Indonesia dan dilakukan pada 27 Desember 1949. Indonesia menghadapi hukum
internasional dan warisan hukum Belanda mengenai masalah kewilayahan, yaitu
mengenai lebar laut teritorial hanya 3 mil dari garis pantai. Di luar itu
merupakan laut internasional sehingga semua kapal asing, baik sipil maupun
militer, bebas melewatinya ataupun menggali kekayaan alamnya di antara
pulau-pulau Indonesia di luar 3 mil laut teritorial Indonesia. Hal tersebut berdasar
peninggalan hukum Ordonansi Hindia Belanda yang bernama Territorial Zee en
Maritime Kringen Ordonantie 1939. Padahal, dalam Sumpah Pemuda tahun 1928
yang pertama ”Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, Tanah Air Indonesia” yang berarti Tanah Air merupakan satu kesatuan.
Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri lebih dari 17.000
pulau yang berbeda dengan negara lain pada umumnya yang berupa daratan. Pada waktu itu, Indonesia
menghadapi berbagai pemberontakan di daerah, seperti Permesta, PRRI, RMS, DI,
dan TII, yang sangat membahayakan keutuhan negara karena adanya infiltrasi
asing lewat laut di antara pulau-pulau di Indonesia yang dianggap sebagai
laut internasional. Selain itu, Belanda juga memanfaatkan laut internasional
di luar 3 mil laut dari pulau-pulau Indonesia dengan sengaja dan mengejek Indonesia
yang tidak dapat berbuat apa apa, dengan mengirim kapal perangnya menuju ke
Papua yang masih dikuasainya. Yang terkenal waktu itu kapal perang Karel
Doorman melintas laut Jawa sehingga terjadi demonstrasi di Indonesia dengan
seruan tenggelamkan Karel Doorman. Hukum
laut Menyadari hal tersebut,
Kabinet Ali-Roem-Idham tahun 1956 telah membentuk Panitia Interdepartemental
Penyusunan RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim untuk menggantikan
Territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939. Akan tetapi, panitia
tersebut lambat sekali kerjanya sampai kabinet Ali-Roem-Idhan bubar belum
berhasil menyusun RUU tersebut. Kabinet digantikan dengan Ir Djuanda sebagai
perdana menteri. Salah satu menterinya,
yaitu Chairul Saleh, sebagai Menteri Veteran, meminta Mochtar Kusumaatmadja
untuk menyusun RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim karena sudah tidak
sabar dengan panitia yang kerjanya lamban dalam kabinet sebelumnya. Mochtar
Kusumaatmadja muda yang ahli hukum internasional dan dosen Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran minta waktu dua bulan untuk menyusunnya. Konsep pemikiran Mochtar
Kusumaatmadja mengenai Wawasan Nusantara, yaitu negara kepulauan, tersebut
disampaikan dalam sidang kabinet dan diterima serta diumumkan yang kita kenal
sebagai Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Intinya, ”Segala perairan
di sekililing dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia”.
Deklarasi Djuanda ini mendapat tentangan dari berbagai negara karena akan
merugikan kepentingannya untuk berlayar di laut wilayah kedaulatan Indonesia
di luar 3 mil laut teritorial yang secara hukum internasional masih dianggap
sebagai laut internasional. Deklarasi Djuanda ini
mulai diperjuangkan dalam Konvensi PBB pertama tentang Hukum Laut (United
Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Geneva pada Februari
1958. UNCLOS kedua pada April 1960 dan UNCLOS ketiga mulai Desember 1973.
Akhirnya, rangkaian konvensi UNCLOS ini berhasil ditandatangani di Montego
Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982 dan mulai berlaku sejak 16 November 1994
setelah diratifikasi oleh Guyana sebagai negara ke-60 yang meratifikasi pada
16 November 1993 sebagai persyaratan sesuai dengan UNCLOS. Dengan demikian, Wawasan
Nusantara dalam Deklarasi Djuanda ini diterima oleh dunia internasional
setelah Indonesia berjuang selama 25 tahun hingga ditandatanganinya UNCLOS
dan 37 tahun sampai UNCLOS berlaku. Di seluruh dunia, sudah 130 negara
meratifikasi UNCLOS ini dan Indonesia telah meratifikasi dengan UU Nomor 17
Tahun 1985, sedangkan AS tidak mau menandatangani UNCLOS. Dalam perkembangan
pembahasannya, ternyata UNCLOS tidak hanya mencakup kesatuan antara darat dan
laut, tetapi juga kesatuan dengan wilayah udara di atasnya dan seluruh
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seperti tercantum dalam Pasal 2
Ayat (2) UNCLOS 10 Desember 1982, yaitu ”Kedaulatan ini meliputi ruang udara
di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya”. Pada 11
Desember 2001, dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001,
berdasarkan Deklarasi Djuanda, tanggal 13 Desember dinyatakan sebagai Hari
Nusantara. Sesuai dengan UU Nomor 20
Tahun 2009 dan PP Nomor 35 Tahun 2010, usul gelar pahlawan diajukan kepada
Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Maka, dengan
melihat riwayat hidup Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja tersebut, sejak pemikiran
konsep Wawasan Nusantara mengenai negara kepulauan dalam bentuk Deklarasi
Djuanda serta perjuangannya di forum internasional PPB sehingga diakui oleh
PBB dalam bentuk UNCLOS, sudah sepantasnya beliau mendapat gelar pahlawan
nasional menjelang HUT ke-76 Kemerdekaan RI. Selagi para saksi mata yang
berjuang di PBB masih hidup. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar