Selasa, 29 Juni 2021

 

Pahlawan Nasional untuk Mochtar Kusumaatmadja

Mustakim ;  Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

KOMPAS, 26 Juni 2021

 

 

                                                           

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja lahir di Jakarta pada 17 Februari 1929 dan wafat pada 6 Juni 2021 di Jakarta. Pernah menjabat Menteri Kehakiman pada 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dua periode pada 1978-1983 dan 1983-1988. Sudah sepantasnya, menjelang hari ulang tahun Kemerdekaan RI yang ke-76 pada 17 Agustus 2021, Pemerintah RI memberikan gelar pahlawan nasional kepada Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja.

 

Dalam benak masyarakat tertanam pikiran kalau yang disebut pahlawan itu mereka yang berjuang dengan mengangkat senjata melawan Belanda, sedangkan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dengan buah pikirannya melalui konsep Wawasan Nusantara mengenai negara kepulauan dalam Deklarasi Djuanda berjuang di forum internasional PBB. Sejak menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan dilanjutkan sebagai Menteri Luar Negeri, Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja berjuang langsung di PBB untuk diakuinya prinsip Wawasan Nusantara mengenai negara kepulauan dalam UNCLOS sehingga NKRI terwujud sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

 

Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi, kemerdekaan Indonesia tersebut tidak diakui ataupun disetujui Belanda. Belanda terus berusaha menguasai kembali Indonesia yang dianggap sebagai tanah jajahannya sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan mulai tahun 1945 sampai dengan 1949. Selama itu telah terjadi beberapa kali perundingan antara Indonesia dan Belanda yang mencapai puncaknya dengan diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda yang intinya Belanda akan menyerahkan kedaulatan Indonesia dan dilakukan pada 27 Desember 1949.

 

Indonesia menghadapi hukum internasional dan warisan hukum Belanda mengenai masalah kewilayahan, yaitu mengenai lebar laut teritorial hanya 3 mil dari garis pantai. Di luar itu merupakan laut internasional sehingga semua kapal asing, baik sipil maupun militer, bebas melewatinya ataupun menggali kekayaan alamnya di antara pulau-pulau Indonesia di luar 3 mil laut teritorial Indonesia.

 

Hal tersebut berdasar peninggalan hukum Ordonansi Hindia Belanda yang bernama Territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939. Padahal, dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yang pertama ”Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia” yang berarti Tanah Air merupakan satu kesatuan. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri lebih dari 17.000 pulau yang berbeda dengan negara lain pada umumnya yang berupa daratan.

 

Pada waktu itu, Indonesia menghadapi berbagai pemberontakan di daerah, seperti Permesta, PRRI, RMS, DI, dan TII, yang sangat membahayakan keutuhan negara karena adanya infiltrasi asing lewat laut di antara pulau-pulau di Indonesia yang dianggap sebagai laut internasional. Selain itu, Belanda juga memanfaatkan laut internasional di luar 3 mil laut dari pulau-pulau Indonesia dengan sengaja dan mengejek Indonesia yang tidak dapat berbuat apa apa, dengan mengirim kapal perangnya menuju ke Papua yang masih dikuasainya. Yang terkenal waktu itu kapal perang Karel Doorman melintas laut Jawa sehingga terjadi demonstrasi di Indonesia dengan seruan tenggelamkan Karel Doorman.

 

Hukum laut

 

Menyadari hal tersebut, Kabinet Ali-Roem-Idham tahun 1956 telah membentuk Panitia Interdepartemental Penyusunan RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim untuk menggantikan Territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939. Akan tetapi, panitia tersebut lambat sekali kerjanya sampai kabinet Ali-Roem-Idhan bubar belum berhasil menyusun RUU tersebut. Kabinet digantikan dengan Ir Djuanda sebagai perdana menteri.

 

Salah satu menterinya, yaitu Chairul Saleh, sebagai Menteri Veteran, meminta Mochtar Kusumaatmadja untuk menyusun RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim karena sudah tidak sabar dengan panitia yang kerjanya lamban dalam kabinet sebelumnya. Mochtar Kusumaatmadja muda yang ahli hukum internasional dan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran minta waktu dua bulan untuk menyusunnya.

 

Konsep pemikiran Mochtar Kusumaatmadja mengenai Wawasan Nusantara, yaitu negara kepulauan, tersebut disampaikan dalam sidang kabinet dan diterima serta diumumkan yang kita kenal sebagai Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Intinya, ”Segala perairan di sekililing dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia”. Deklarasi Djuanda ini mendapat tentangan dari berbagai negara karena akan merugikan kepentingannya untuk berlayar di laut wilayah kedaulatan Indonesia di luar 3 mil laut teritorial yang secara hukum internasional masih dianggap sebagai laut internasional.

 

Deklarasi Djuanda ini mulai diperjuangkan dalam Konvensi PBB pertama tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Geneva pada Februari 1958. UNCLOS kedua pada April 1960 dan UNCLOS ketiga mulai Desember 1973. Akhirnya, rangkaian konvensi UNCLOS ini berhasil ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982 dan mulai berlaku sejak 16 November 1994 setelah diratifikasi oleh Guyana sebagai negara ke-60 yang meratifikasi pada 16 November 1993 sebagai persyaratan sesuai dengan UNCLOS.

 

Dengan demikian, Wawasan Nusantara dalam Deklarasi Djuanda ini diterima oleh dunia internasional setelah Indonesia berjuang selama 25 tahun hingga ditandatanganinya UNCLOS dan 37 tahun sampai UNCLOS berlaku. Di seluruh dunia, sudah 130 negara meratifikasi UNCLOS ini dan Indonesia telah meratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985, sedangkan AS tidak mau menandatangani UNCLOS.

 

Dalam perkembangan pembahasannya, ternyata UNCLOS tidak hanya mencakup kesatuan antara darat dan laut, tetapi juga kesatuan dengan wilayah udara di atasnya dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seperti tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) UNCLOS 10 Desember 1982, yaitu ”Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya”. Pada 11 Desember 2001, dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001, berdasarkan Deklarasi Djuanda, tanggal 13 Desember dinyatakan sebagai Hari Nusantara.

 

Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2009 dan PP Nomor 35 Tahun 2010, usul gelar pahlawan diajukan kepada Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Maka, dengan melihat riwayat hidup Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja tersebut, sejak pemikiran konsep Wawasan Nusantara mengenai negara kepulauan dalam bentuk Deklarasi Djuanda serta perjuangannya di forum internasional PPB sehingga diakui oleh PBB dalam bentuk UNCLOS, sudah sepantasnya beliau mendapat gelar pahlawan nasional menjelang HUT ke-76 Kemerdekaan RI. Selagi para saksi mata yang berjuang di PBB masih hidup. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar