Warisan
Buku, Kemerosotan Literasi, Dinasti Cendekiawan M Fauzi Sukri ; Penulis ”Pembaca Serakah” (2018) |
KOMPAS, 26 Juni 2021
Para generasi penerus,
dalam beberapa kisah yang terjadi di Indonesia, menjual koleksi buku warisan.
Kita sudah mendengar kisah-kisah koleksi pustaka para cendekiawan/sastrawan
yang dijual oleh ahli warisnya, anak-anaknya sendiri, setelah sang
cendekiawan/sastrawan meninggal. Kisah-kisah penjualan koleksi buku itu
sebenarnya ”tabu” untuk dikisahkan, apalagi dianalisis dengan tajam dan
karenanya tidak perlu menyebut nama dalam esai ini. Namun, kita tetap harus
merefleksikannya. Kita mungkin bisa
membayangkan: hampir pasti bahwa koleksi pustaka yang dijual itu dikumpulkan
sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjadi sangat banyak, menumpuk,
memenuhi satu atau sekian ruang di rumah si sastrawan/cendekiawan. Terkadang,
dalam proses pengumpulan itu, si sastrawan/cendekiawan masih dalam kondisi
miskin, susah makan, tidak punya rumah, dan berbagai tagihan keuangan yang
terus menghantui, tetapi tuntutan berpustaka adalah keniscayaan yang sering
susah ditawar. Dia sudah pasti sadar, sungguh mustahil mengandalkan
perpustakaan publik yang cukup lengkap sesuai dengan keilmuan dan minatnya. Di Indonesia, bagi siapa
pun yang benar-benar mau berguru pada buku atau melakukan riset sungguh,
sudah pasti wajib menyicil koleksi pustaka, satu demi satu. Tak ada
perpustakaan publik yang bisa diandalkan secara memadai—pengecualian mungkin
adalah Pusat Dokumentasi HB Jassin meski koleksi terbarunya masih bisa
dipertanyakan. Lagi pula, mustahil ia
harus bolak-balik ke perpustakaan publik setiap kali membutuhkan pustaka
dalam kerja-kerja akademik, sastrawi, atau keilmuan. Tak ada perpustakaan 24
jam seperti halnya koleksi pribadi. Untuk itu, sering kita dengar para
sastrawan/cendekiawan harus ”kucing-kucingan” siasat finansial dalam
keluarganya. Ada waktu, dana, modal
budaya, bahkan juga kemujuran untuk mengumpulkan sekian banyak koleksi yang
akhirnya membentuk etos literasi dan kepakaran sastrawan/cendekiawan. Rasanya
sungguh semacam pengkhianatan keilmuan jika, ternyata, kerja puluhan tahun
untuk mengumpulkan koleksi pustaka itu habis dan tersingkirkan hanya dalam
hitungan jam dari rumahnya sendiri. Yang lebih tragis lagi, sangat sering
harga koleksi yang dikumpulkan selama puluhan tahun itu dihargai dengan cukup
murah karena ahli warisnya tidak tahu harga koleksi buku. Tentu saja, yang sangat
jauh lebih tragis adalah bahwa penjualan koleksi pustaka itu adalah satu
bukti sangat konkret dari kegagalan literasi di rumah sang
cendekiawan/sastrawan sendiri. Meski tidak bisa digeneralisasi, kita bisa
mengatakan bahwa biasanya sastrawan/cendekiawan menganjurkan gerakan literasi
kepada khalayak (rakyat Indonesia), tetapi justru kepada anak sendiri ia
gagal. Jika tidak gagal, ribuan
koleksi bukunya tentu akan menjadi warisan keilmuan yang sangat berharga,
bukan saja bagi si anak, melainkan juga bagi cucu-cucunya di masa depan. Akan
tetapi, ternyata, kenapa buku-buku yang dikumpulkan selama sekian tahun itu
akhirnya harus dikeluarkan dari rumah, bahkan dijual dengan harga murah
meriah? Kemerosotan
kecendekiawanan Secara serampangan,
mengingat belum ada penelitian empiris yang bersifat jangka panjang
antargenerasi, kita bisa mengatakan bahwa penjualan koleksi buku oleh para
ahli warisnya adalah gejala atau bahkan bukti kemerosotan kecendekiawanan
dalam tradisi literasi keluarga. Dalam sejarah Indonesia
modern, setidaknya jika berpatokan pada kebangkitan lembaga pendidikan modern
dan kebangkitan kapitalisme percetakan sejak akhir abad ke-19, kita bisa
mengatakan bahwa telah terjadi kebangkitan dan kemerosotan keluarga
cendekiawan di Indonesia. Keluarga ningrat literati berbasis manuskrip mungkin
saja bersifat kolot saat menghadapi kebangkitan kapitalisme percetakan baru
(modern). Mereka tetap berusaha menjaga prestise manuskrip yang semakin
disakralkan; yang telah membesarkan dan memberi kemuliaan bagi keluarga meski
ruang sosial-budayanya semakin mengecil, bahkan menghilang. Sementara itu, berkat
pendidikan modern dan kapitalisme percetakan modern, tumbuh keluarga baru
berbasis kapitalisme percetakan modern, yang semakin memberi kuasa ekonomi
budaya yang besar. Dari keluarga berbasis keaksaraan baru ini (baik yang dari
keluarga ningrat literati atau non-ningrat literati), muncul tokoh-penulis
yang membesarkan diri melalui jalur literasi, menulis di media massa (koran
atau majalah) dan juga menulis buku (dengan berbagai genre lama dan baru),
bahkan membangun bisnis literasi dan menjadi tokoh keaksaraan yang baru. Banyak generasi muda
(urban) kelahiran awal abad ke-20 yang berkembang bersama kebangkitan
kapitalisme percetakan (koran, majalah, buku, dan lain-lain). Banyak tokoh
(pers) pergerakan nasionalisme Indonesia yang bisa kita sebut. Mereka
membentuk karakter diri dan keahlian profesional dengan pustaka yang tidak
pernah dimiliki oleh kakek-nenek mereka, kemudian menjadi tokoh publik
bersama kebangkitan gerakan nasionalisme dan perkembangan kota-kota urban di
Indonesia. Secara umum, merekalah para pemula keluarga pustaka di Indonesia
berkat kapitalisme percetakan. Kita menyaksikan
kebangkitan keluarga pustaka baru yang di luar jalur lingkaran elite budaya
manuskrip pada zaman kerajaan. Ada keluarga petani atau buruh yang muncul
sebagai keluarga terdidik. Mereka merintis keluarga terdidik baru, mulai
kehidupan berbasis budaya aksara tercetak dan mencoba membangun keluarga
aksara. Tentu saja, ada cukup banyak yang berhasil naik, tetapi juga banyak
yang setelah para perintis pertama dan pejuang-penerus yang sukses akhirnya
kemudian mendapati generasi ketiga yang justru jatuh. Saya ingat Ibn Khaldun
yang sangat menarik sekali membahas kebangkitan dan keruntuhan kemuliaan
keluarga. Dalam kitab terkenal Muqaddimah, sejarawan-filosof Ibn Khaldun
(2009: 163) menulis: ”Orang yang mendirikan keagungan famili tahu apa yang
mesti dilakukannya dalam pembangunannya [derajat kemuliaan-keilmuan
keluarga], dan menjaga kualitas yang menyebabkan keagungannya itu ada dan
kekal. Anaknya yang lahir setelah itu mengadakan kontak langsung dan bergaul
dengan bapaknya, dan ia pun banyak belajar tentang semua itu dari bapaknya.
Namun, dalam respek ini, dia berada di bawah ayahnya sebab seseorang yang
mempelajari sesuatu hal melalui studi lebih rendah (mutunya) daripada orang
yang mengetahui semuanya itu dari aplikasi praktis. Kemudian generasi ketiga
yang lahir setelah itu pasti penuh dengan peniruan dan, khususnya, lebih
banyak cenderung kepada tradisi taklid. Generasi ketiga ini lebih rendah
(mutunya) daripada generasi kedua sebab seseorang yang cenderung kepada
taklid lebih rendah (mutunya) daripada orang yang berijtihad.” Selanjutnya, pada generasi
keempat, kemerosotan sudah mencapai tingkat yang paling rendah. Di sini, kata
Ibn Khaldun, ”Generasi ini kehilangan sifat-sifat yang dapat memelihara
bangunan keagungannya. Bahkan, dia mencela sifat-sifat tersebut.” Yang perlu dicatat,
ternyata, durasi proses kemunculan dan kemunduran kualitas kemuliaan literasi
tidak memerlukan waktu yang begitu panjang sampai tiga atau empat generasi.
Yang sering terjadi justru langsung ambruk di generasi kedua (anak) setelah
generasi pertama (bapak-ibu). Warisan koleksi buku yang seharusnya menjadi
khazanah pemuliaan dan peningkatan kualitas keluarga ternyata hanya bertahan
sekian minggu atau bulan setelah si cendekiawan/sastrawan meninggal. Tidak
memerlukan waktu sampai satu generasi beralih. Betapa sangat cepatnya terjadi
kemerosotan! Bentuk kemerosotan
kualitas literasi bisa saja disebabkan oleh banyak hal, seperti perubahan
preferensi genre buku antara generasi pertama dan kedua, terutama akibat
perbedaan kerja profesional. Si bapak mungkin lebih tertarik atau hidup di
bidang ilmu humaniora, tetapi anaknya lebih membutuhkan ilmu-ilmu sains
eksakta. Namun, dugaan kuat, yang terjadi adalah tidak adanya proses
pengajaran-pendidikan berbasis keaksaraan yang kuat sistematis sebagai
”tradisi keilmuan keluarga”. Dalam kehidupan
sehari-hari di rumah, sangat mungkin orangtua memang sengaja keterlaluan
banyak memberikan kelonggaran kepada anak-anaknya terkait dengan tradisi
literasi. Mungkin si bapak/ibu sudah merasakan bahwa hidup dalam dunia
keilmuan itu sangat berat, melelahkan, bahkan bisa sangat berbahaya terutama
jika harus menghadapi satu rezim antikritik, antisains, anti-intektualitas.
Apalagi, membangun tradisi keluarga cendekiawan itu sungguh sangat susah,
jauh lebih susah daripada membangun keluarga bisnis yang manajemennya bisa
diteruskan dengan manajemen modern tanpa keterikatan langsung dalam proses
keilmuan. Lagi pula, manusia itu
lebih gampang tertarik dengan harta daripada ilmu, lebih mudah mengajak orang
menjadi kaya raya daripada mengajak orang belajar berilmu. Sungguh lebih
ringan dan mudah mewarisi harta kekayaan daripada mewarisi buku penuh ilmu.
Khazanah ilmu hanya bisa diwarisi oleh yang berilmu atau yang mau berilmu;
harta kekayaan non-ilmu bisa diwarisi oleh siapa saja, yang berilmu atau yang
bodoh, bahkan yang gila. Dinasti keluarga cendekiawan sungguh jauh lebih sulit
dipertahankan daripada dinasti bisnis. Pembangunan
tradisi literasi Masalah utamanya adalah,
sekali lagi, pada proses pembangunan tradisi literasi dalam keluarga. Sangat
jarang sekali bahwa literasi keluarga bisa dikembangkan dengan baik jika
hanya mengandalkan proses pembelajaran di lembaga pendidikan formal. Kita
sudah sangat tahu masalah ini: jutaan manusia keluaran lembaga formal tidak
banyak berhasil membentuk keluarga beraksara. Para orangtua sangat jarang
sekali diterlibatkan oleh lembaga pendidikan formal, kecuali sebagai pembeli
buku, bukan sebagai bagian utama dari proses pembangunan tradisi keluarga
beraksara. Ini bukan hanya kasus keluarga Indonesia, melainkan hampir di
seluruh dunia. Tentu saja, jika
masalahnya adalah sekadar kekuatan ekonomi untuk membelikan buku, barangkali
banyak keluarga kelas ekonomi menengah ke atas akan bisa mengusahakan dan
membangunnya. Bahkan, seperti yang terjadi pada cukup banyak keluarga
cendekiawan di Indonesia, generasi pertama cendekiawan biasanya sangat bisa mengusahakan
membelikan buku, termasuk mengajarkan kecintaan fanatik kepada budaya aksara,
tetapi mereka sering gagal membangun tradisi beraksara. Masalah utamanya adalah
bagaimana membangun tradisi keilmuan berbasis keaksaraan yang kuat,
sistematis, bahkan sering bersifat keras terhadap generasi penerus agar tetap
ada di tingkat berkualitas tinggi di dalam rumah sendiri. Seperti dikatakan
Ibn Khaldun atau sebagaimana sering dirasakan oleh orang-orang yang waspada,
pembangunan tradisi keaksaraan di dalam rumah itu sangat susah, melelahkan,
sering membutuhkan sosok teladan yang besar dalam keluarga, dukungan
sosial-budaya yang diamini bersama (seperti konfusianisme intelektualistik),
modal ekonomi yang cukup besar, kecukupan kecerdasan generasi penerus, dan
lain seterusnya. Siklus keberhasilan dan kegagalan pembangunan tradisi
keluarga beraksara antargenerasinya sungguh sering menyerupai grafik segitiga
piramida, bisa cepat naik, tetapi jauh lebih bisa cepat merosot drastis. Perhatikan saja kualitas
keaksaraan dalam peralihan generasi orang-orang di sekitar Anda atau keluarga
tokoh-tokoh sastrawan/cendekiawan di Indonesia atau di berbagai sejarah
kecendekiawanan dunia. Terutama, perhatikan saja yang terjadi dalam keluarga
kita sendiri…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar