Senin, 28 Juni 2021

 

Psikologi Koruptor dan ”Indignation”

Dony Kleden ;  Rohaniwan dan Antropolog dari STKIP Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT

KOMPAS, 24 Juni 2021

 

 

                                                           

Tidak adanya kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan membuat para koruptor tidak pernah jera, apalagi sistem birokrasi kita yang cenderung proteksionis.

 

Koruptor adalah orang yang keberadaannya terisap ke dalam lingkaran ego. Tindakan korupsi selalu mempunyai motivasi, arah, tujuan, dan sasaran. Sebuah tindakan tidak pernah lepas dari motivasi dan sasaran, di mana di balik itu semua tersembunyi ambisi.

 

Tindakan korupsi merupakan suatu bentuk penegasian dari etika politik. Signifikasi dari etika politik itu sendiri dapat terlihat dari tujuannya, yakni mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Tujuan etika politik itu sebenarnya menunjuk pada keniscayaan eksistensi manusia itu sendiri.

 

Egosentrisme

 

Tindakan korupsi adalah sebentuk egosentrisme. Korupsi masuk dalam tindakan jahat karena gigitan dan aura chaos-nya begitu terasa serta merusak sendi-sendi penopang hidup bersama. Tindakan korupsi melumpuhkan kekuasaan dalam berbagai segi. Dan, dengan demikian kuasa-kuasa itu menjadi impoten karena tidak dapat berperan semestinya.

 

Koruptor adalah anak bangsa yang memerkosa serta menistakan keadaban bangsa dan negara yang telah membangun dan menghidupinya. Dengan demikian, koruptor membentuk suatu etika politik sendiri, yakni etika politik semu yang berorientasi pada privasi.

 

Para koruptor adalah orang yang terisap ke dalam logika ego bahwa dengan tindakan korupsi ia merasa aman dan hasrat egonya terpenuhi. Para koruptor adalah orang-orang yang ketakutan. Koruptor adalah orang-orang lemah yang tidak mampu menatap dunia dan bersaing. Maka, dengan tindakan korupsi ia sebenarnya mau mengomunikasikan dirinya bahwa ia ada. Ia menegaskan dirinya dengan tindakan korupsi. Maka, koruptor sebenarnya adalah orang-orang naif, lemah, dan tidak mampu hidup.

 

Penegasan diri atau menghadirkan diri dengan cara korupsi sebenarnya para koruptor menularkan pengremangan kesadaran sosial yang sebenarnya dalam dunia sosial normal harus terus dijaga dan ditumbuhkembangkan. Di sinilah koruptor mengalami kekosongan moral dan disorientasi nilai. Raibnya nurani para koruptor menyebabkan imunisasi rasa bersalah, bahkan mereka melakukan glorifikasi korupsi sehingga semakin banyak orang terisap ke dalamnya. Tindakan korupsi mengalami metamorfosis.

 

Psikologi bawah sadar juga muncul ketika seseorang mengadakan tindakan korupsi. Tindakan bawah sadar adalah rajutan dari kehidupan masa lalu yang terpendam dan muncul ketika ia dikondisikan atau diberi kesempatan. Psikologi bawah sadar ini berangkat dari dua pengalaman empirik, yakni kehidupan yang buram dan kehidupan yang tamak.

 

Kehidupan yang buram menunjuk pada ketidakterpenuhinya hasrat di masa lalu atau dapat dikatakan pemenuhan hasrat masa lalu yang kurang bahagia. Ini bisa dimengerti, apalagi orang Indonesia yang notabene adalah orang miskin.

 

Sementara kehidupan yang tamak adalah sifat pribadi sebagai akibat dari pengaruh dari luar atau juga karena memang adanya dalam diri. Kalau psikologi bawah sadar semacam ini kuat dalam diri seseorang, maka ia melakukan korupsi dengan tetap merasa tidak bersalah. Dan, walaupun bersalah ia akan berdalih dan terus saja terulang.

 

Tidak menerima

 

Tindakan korupsi sungguh menganeksasi hak rakyat, hak untuk sejahtera, hak untuk keluar dari penderitaan. Sakitnya sistem hukum menyebabkan hukum tidak lagi mempunyai daya bongkar (its opening up) terhadap segala tindakan korupsi. Ini sudah menjadi masalah klasik. Penegak hukum yang sebenarnya menjadi penjamin moral, transparansi, dan tempat masyarakat mencari keadilan sudah menjadi sarang penyamun lantaran mereka sendiri terlibat dalam berbagai tindakan korupsi.

 

Namun, masyarakat masih punya kekuatan untuk memberikan sanksi kepada para koruptor. Institusi agama dan masyarakat lokal perlu dikerahkan untuk membentuk suasana indignation (tidak menerima dan protes) terhadap tindakan korupsi. Dan, indignation ini hanya mungkin kalau penggalangannya melalui class action (organisasi penggerak dan sosialisasi).

 

Dengan class action ini kedua institusi tersebut semakin mempunyai gema yang merangsang dan kekuatan untuk menuntut serta menyingkirkan koruptor dari komunitasnya. Kedua institusi ini harus menolak para koruptor dari komunitas dan memarjinalisasi mereka.

 

Jangan terlalu kompromis dan permisif karena hal itu hanya akan memberikan peluang bagi para koruptor untuk bermain logika dan berdalih untuk merasionalisasi tindakan korupsinya, lalu memberikan alibi dan setelah itu membersihkan diri. Ia harus ditolak dan dikeluarkan dari komunitasnya. Institusi agama dan masyarakat bisa membentuk hukum lokal sendiri secara independen. Bukankah para koruptor telah mendurhakai kita semua?

 

Kita semua harus sepakat untuk menolak para koruptor dari lingkungan kita. Korupsi di negara kita sudah sangat akut. Herannya para koruptor merasa sebagai suatu kemestian, banal, dan tidak bersalah. Dan, kalau sudah demikian, maka sebenarnya tinggal selangkah lagi menjadi kultur dan akhirnya bangsa kita ini mempunyai kultur korup. Sungguh memalukan.

 

Maukah kita memberikan predikat baru pada bangsa kita tercinta ini dengan predikat miring, yakni ”berkultur korup”? Tidak! Oleh karena itu, marilah kita memerangi para koruptor dengan memberikan sanksi sosial di luar hukum negara yang sudah begitu rapuh, busuk, dan tidak berwibawa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar