Rabu, 16 Juni 2021

 

Menuju 100 Tahun Air Leding di Ibu Kota

Nila Ardhianie ;  Direktur Amrta Institute for Water Literacy

KOMPAS, 16 Juni 2021

 

 

                                                           

Pada 23 Desember 1922, penduduk Batavia terutama yang berasal dari Eropa merasakan air leding yang berasal dari mata air di Bogor untuk pertama kali. Kata air leding atau air yang dialirkan melalui saluran pipa tertutup diambil dari nama perusahaan pengelola air saat itu, Water Leidingen Bedrijf van Batavia.

 

Batavia yang didirikan di mulut Kali Ciliwung dibangun mirip kota di Belanda sehingga sering disebut ”Queen of the East”. Akan tetapi, sejak 1730, karena tidak mampu mengelola kanal-kanal yang dibangun, banyak penduduk mati akibat malaria dan kolera. Batavia kemudian mendapat julukan ”Graveyard of the East”. Akibat wabah ini, penduduk Eropa ramai-ramai pindah dari permukiman pinggir pantai di Utara Jakarta masuk ke arah Selatan di Weltevreden (Gambir, Senen, Menteng, dan sekitarnya).

 

Untuk meningkatkan kualitas kesehatan, sejak 1873 mereka mulai meninggalkan penggunaan air sungai dan menggali sumur untuk mendapat air tanah yang dianggap lebih higienis. Air disalurkan menggunakan hidran komunal yang dimonitor secara berkala untuk kurang lebih 8.000 penduduk Eropa yang tinggal di sekitar Cikini, Gondangdia, Tanah Abang, Petojo, dan Salemba. Di sisi lain, sebagian besar pribumi masih menggunakan air sungai atau hidran umum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Penggunaan air tanah bertahan selama setengah abad sampai ditemukannya mata air Ciburial, Bogor; dan pada 1922 mulai dialirkan ke Batavia menggunakan saluran sepanjang 54 kilometer. Tahun 1922 dipilih sebagai hari jadi PAM Jaya, perusahaan air minum milik Pemprov DKI karena dianggap sebagai tonggak penting layanan air yang bisa langsung dimanfaatkan dari pipa tanpa harus mendiamkan atau menjernihkan terlebih dahulu seperti penggunaan air tanah.

 

Sistem tersebut didesain untuk melayani 90 persen rumah tangga penduduk Eropa dengan standar pemakaian 140 liter per orang per hari. Setelah era ini, tidak ada investasi besar di sektor air bersih karena berturut-turut terjadi Great Depression pada 1930 yang berpengaruh pada daerah koloni dan selanjutnya pecah Perang Dunia I dan II.

 

Era layanan air modern di Jakarta dimulai pada 1957, saat Instalasi Pengolahan Air Pejompongan I mulai beroperasi mengolah air bersih yang disalurkan dari Jatiluhur yang berjarak sekitar 70 km. Saat itu kapasitas layanan naik hampir tujuh kali lipat dari sebelumnya.

 

Selanjutnya, pemerintah banyak berinvestasi membangun instalasi baru, meningkatkan kapasitas instalasi air dan penambahan jaringan. Investasi pemerintah berhenti sejak pengelolaan air Jakarta diserahkan kepada swasta untuk periode 25 tahun pada 1998. Sampai masa kontrak hampir habis (2023), tidak ditemukan penambahan fasilitas besar layanan air di Jakarta.

 

Tahun depan, pengelolaan air di Jakarta sudah berevolusi selama 100 tahun, sayangnya masih banyak penduduk Jakarta yang belum mendapat akses air bersih perpipaan. Pemberitaan Kompas edisi Jumat (11/6/2021) memberikan gambaran yang pas atas realitas yang sekarang terjadi di Jakarta. Minimnya akses air bersih membuka celah terbentuknya beragam kecurangan di lapangan yang berujung pada makin beratnya hidup warga miskin karena harus membeli air bersih dengan harga mahal.

 

Dengan jumlah penduduk Jakarta sebanyak 10,6 juta jiwa (data tahun 2020), ditambah kebutuhan penglaju, ada kebutuhan sebanyak 1,1 miliar meter kubik air per tahun. Data Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta menunjukkan air yang terjual pada 2020 sebanyak 342,4 juta meter kubik, dengan demikian air leding hanya memasok 32 persen kebutuhan penduduk, sisanya menggunakan air tanah.

 

Tidak banyak berubah

 

Setelah 100 tahun ternyata pengelolaan air di Jakarta tidak banyak berubah dengan era kolonialisme. Sistemnya pun masih sama, yakni kombinasi antara air perpipaan yang tersentralisasi dengan survival warga yang menggunakan air tanah dan air sungai langsung dari sumbernya. Komposisinya juga relatif sama, lebih besar yang bergantung langsung pada alam.

 

Sebagai kota dengan kepadatan penduduk tinggi, seharusnya penggunaan air tanah mulai ditinggalkan, air sumur di rumah biasanya digunakan langsung tanpa pengolahan seperti penambahan bahan kimia dan penyaringan untuk mengurangi risiko kesehatan. Dengan demikian, jika air tanah yang digunakan tercemar pengguna juga berpotensi ikut tercemar.

 

Beragam penelitian di Jakarta menunjukkan terdapat kandungan e-coli dan detergen pada air tanah. Hal ini terjadi karena keterbatasan lahan membuat tidak memungkinkan terpenuhinya jarak aman antara sumber air minum dengan septic-tank di rumah. Selain itu sebagian besar air limbah di Jakarta masih dibuang langsung ke badan-badan air sehingga berpotensi mencemari air.

 

Hal tersebut berbeda dengan air perpipaan yang menggunakan air baku yang sudah diolah dan disalurkan ke dalam sistem tertutup sehingga potensi risiko tercemar relatif dapat ditekan. Penggunaan air tanah juga menyebabkan Jakarta mengalami amblesan tanah (land subsidence) yang mengkhwatirkan.

 

Untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, Jakarta perlu memprioritaskan program tersedianya akses air bersih bagi 100 persen penduduk. Rencana strategis komprehensif yang dikembangkan secara partisipatif perlu disiapkan dan dilaksanakan secara kolaboratif oleh pemerintah pusat dan daerah. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang menyatakan ”Hak rakyat atas air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari” adalah landasan kuat untuk program dan anggaran air bersih Ibu Kota.

 

Perubahan iklim, meningkatnya aktivitas sosial ekonomi, alih fungsi lahan dan polusi yang membuat air berkualitas makin langka adalah faktor-faktor yang membuat pemenuhan kebutuhan air makin berat. Padahal, penduduk terus bertambah dan peningkatan kesadaran hidup sehat membutuhkan air makin banyak.

 

Karena itu, program penyediaan air ke depan perlu memiliki kebaruan, misalnya dengan mengutamakan pemanfaatan air lokal, dengan teknologi dan penegakan hukum, air sungai Jakarta yang kualitasnya rendah dapat diolah untuk menjadi air baku. Mengalirkan air puluhan kilometer jauhnya ke depan akan makin sulit dilakukan karena penduduk di tempat sumber air berada juga membutuhkan, selain infrastruktur skala besar membutuhkan investasi besar dan berpotensi menambah beban tanah.

 

Penggunaan peralatan teknologi hemat air, mengurangi penggunaan air, mengolah kembali air dan memanfaatkannya menggunakan beragam inovasi yang sudah banyak tersedia harus menjadi strategi utama. Instalasi pengolahan skala kecil, memanfaatkan sumber daya air lokal sehingga dekat dengan masyarakat yang dilayani penting dikedepankan.

 

Potensi air limbah untuk diolah juga sangat besar, ketimbang dibuang langsung dan mencemari, potensi ini perlu diolah. Inovasi di sektor air bersih dan air limbah sudah sangat berkembang, pemanfaatan yang tepat untuk kebutuhan penyediaan air sangat dibutuhkan untuk menjamin akses bagi seluruh penduduk. Tomorrow’s risk is being built today, penting bagi kita semua untuk berupaya optimal agar keberlanjutan sumber daya air menjadi potret Jakarta di masa depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar