Mengapa
Tiga Periode Kepresidenan Harus Dihindari Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik, LIPI |
KOMPAS, 17 Juni 2021
Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah. Itulah sebuah slogan terkenal yang didengungkan oleh
Bung Karno saat pidato terakhirnya pada 1966. Dalam makna pengalaman
kesejarahan inilah ide mengenai tiga periode kekuasaan presiden menjadi layak
untuk dihindari. Saat ini, seiring dengan
makin masifnya wacana tiga periode adalah masa untuk mengingat kembali bahwa
kekuasaan lebih dari satu dekade bukanlah pilihan yang bijaksana. Negara kita
sudah sarat akan pengalaman munculnya penguasa-penguasa yang awalnya rendah
hati (humble), tetapi menjadi demikian tidak sensitif akibat terlalu lama
berkuasa. Sehingga tepat jika salah
satu inti pokok dari keberadaan era reformasi adalah mengakhiri pengalaman
getir adanya kekuasaan yang tidak terkontrol yang menimbulkan pembusukan
politik. Para pelaku perjuangan penegakan reformasi menyadari bahwa pembusuk
politik itu ternyata berkaitan erat dengan kekuasaan yang berkepanjangan. Hal
yang akhirnya menyebabkan tertutupnya celah bagi perbedaan, munculnya
pemerintahan yang tidak terkontrol, dibungkamnya oposisi, macetnya regenerasi
kepemimpinan, dan menumbuhkan oligarki, korupsi, serta nepotisme. Berangkat dari
keprihatinan itu, bangsa ini sejak 1998 kemudian sepakat secara sadar untuk
membatasi kekuasaan. Bahkan, ini sejatinya merupakan sebuah rasion de etre
dari eksistensi Era Reformasi. Kita jelas tidak perlu mengulang kembali
kesalahan dan bersikap ahistoris dengan memutar kembali arah jarum jam menuju
model kekuasaan lama yang otoriter. Rekam jejak sejarah politik, tidak saja
di negara kita, demikian terang-benderang bahwa di negara-negara otoriter
mana pun berkorelasi dan ditandai dengan periode kekuasaan yang lama. Dalam hal kondisi
otoriterian, saat ini potensi itu bukannya tidak ada. Hasil kajian beberapa
kalangan menunjukkan Indonesia saat ini justru semakin menunjukan tendensi ke
arah sana (Power 2018 dan LP3ES, 2020). Beberapa kajian terakhir dari
lembaga-lembaga survei juga menunjukkan stagnansi demokrasi di mana menurut
data Freedom House, Indonesia masuk dalam kategori partly free; sementara
menurut EUI, Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi yang
cacat). Pada kondisi ketika
demokrasi mengalami stagnansi itu, tiga periode kekuasaan akan membuka
peluang untuk makin tidak tersentuhnya penguasa, dan berkecambahnya oligarki
dan kroni-kroni-nya yang bekerja untuk kepentingan dirinya dan bukan rakyat
banyak. Singkatnya tiga periode berpotensi membuka pintu semakin terbajaknya
demokrasi untuk kepentingan segelintir orang. Situasi ini jelas pada
akhirnya tidak bisa dilepaskan dari watak kekuasaan itu yang, sebagaimana
Lord Acton katakan, memang cenderung korup (power tends to corrupt). Dan kita
tidak perlu naif karena manakala kekuasaan dibiarkan berada dalam genggaman
satu orang atau sekelompok orang dalam kurun waktu yang lama, tingkat
penyelewengan kekuasaan akan cendrung semakin tinggi. Apalagi dalam sebuah
lingkungan di mana oposisi demikian lemah. Terbayang sudah akan menguatnya
lagi oligarki atau setidaknya sebuah politik kartel, akar dari kebusukan
demokrasi itu berada. Selain itu, menghindari
tiga periode adalah karena potensinya yang akan memacetkan regenerasi
kekuasaan. Dengan berkuasanya seorang presiden hingga 15 tahun, dan bisa jadi
terulang pada masa-masa berikutnya mengingat penguasaan sumber kekuasaan
petahana yang di atas rata-rata, dapat terbayangkan secara kalkulatif dalam
kurun waktu 30 tahun akan hanya ada dua presiden. Di sini akan ada kemacetan
regenerasi pemimpin politik yang bisa saja menyebabkan banyak potensi
pemimpin hebat yang hilang ditelan bumi. Negara Perancis memaklumi akan potensi
semacam itu sehingga negara ini pun mengurangi durasi kepemimpinan
presidennya menjadi lima tahun saja setelah sebelumnya 7 tahun. Sebelumnya
Perancis kerap diledek memiliki seorang presiden layaknya raja mengingat
terbuka peluang untuk dapat berkuasa selama 14 tahun lamanya. Dampak dari stagnansi
pemimpin politik ini adalah juga berpotensi menghadirkan pembusukan politik
pada tatanan pemerintahan. Periode 15 tahun dapat membangun sebuah kebiasaan,
sikap dan perilaku, serta pengelompokan elite berdasarkan kepentingan
dukungan atas penguasa. Selama kurun waktu itu bisa jadi sumber daya manusia
penguasa hanya akan berkutat pada kelompok-kelompok pro-penguasa saja, itu
pun akhirnya pada mereka yang benar-benar dekat dengan pimpinan. Stagnansi politik juga
dapat terjadi pada level partai politik. Kepemimpinan partai menjadi tidak
akan bermakna karena sirkulasi kekuasaan mandek, karena peluang berkompetisi
untuk posisi jabatan presiden secara seimbang tipis dengan adanya ketentuan
tiga periode itu. Partai dan kepemimpinanya hanya akan menjadi aksesoris,
yang bermain sekadar menjadi pendukung bahkan penggembira politik saja. Sementara bagi kalangan
oposisi 15 Tahun akan menjadi masa penantian yang panjang untuk melemahkan
semangat suksesi pemerintahan yang demokratis, penuh semangat dan substantif.
Ujung-ujungnya muncullah sebuah kartel politik, di mana demokrasi hanya akan
bersifat prosedural. Selain itu, memperjuangkan
sebuah komitmen politik secara konsisten adalah hal lain yang menjadi alasan
mengapa ide tiga periode itu bukan pilihan bijak. Segemilang apa pun sebuah
pemerintahan seharusnya tidak perlu dibayar dengan meruntuhkan kesepakatan
luhur bangsa. Sebagaimana yang terjadi
di negara, seperti Amerika Serikat (AS), di mana dari 45 presiden (dalam 46
kepresidenan) hanya Franklin D Roosevelt yang dapat memerintah lebih dari dua
periode. Dua periode itu kemudian dikukuhkan pada Amendemen Konstitusi ke-22
pada tahun 1951, yang menyebabkan, sebaik apa pun performa seorang presiden,
tetap berlaku ketentuan dua periode. Pelajaran yang dapat kita
ambil konsistensi AS dalam mempertahankan tradisi demokratiknya adalah adanya
konsistensi ini akan mendukung pelembagaan aturan main atau prosedur yang
berlaku. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian politik
konstitusional yang memang dibutuhkan dan biasa terjadi di negara demokrasi
mapan. Maknanya adalah bahwa
sebuah tradisi politik yang sah diharapkan akan mendarah daging sehingga
kalkulasi politik setiap pihak atau aktor politik disesuaikan dengan prosedur
yang mentradisi itu. Kepastian prosedural akan menumbuhkan kesadaran atas
keterbatasannya waktu berkuasa, di sisi lain meyakinkan akan tetap adanya
peluang untuk berkuasa. Selain itu, masih terkait
dengan melembagakan suksesi kekuasaan, adalah dalam rangka melindungi bangsa
dari manipulasi elite. Terlaksananya ide tiga periode akan membahayakan
karena ini dapat menjadi preseden bagi elite penguasa untuk dapat melakukan
apa pun sejauh memiliki kekuasaan dan alasan. Ini tentu akan menjadi preseden
yang buruk mengingat bahwa para penguasa dengan kroni dan penasihatnya memang
dapat melakukan apa pun di periode kekuasaannya demi semata melanggengkan
kekuasaan. Untuk itu, para pemimpin
yang dipandang berhasil alangkah baiknya jika tempatkan dalam posisi tutwuri
handayani. Tokoh-tokoh terhormat mantan presiden itu tetap dapat memainkan
kontribusi sebagai guru bangsa yang memberikan pandangan dan sikap yang bijak
berdasarkan pengalaman untuk memberikan pencerahan bagi kita semua. Dan yang
juga terpenting adalah memberikan suri tauladan untuk mencontohkan bahwa
kekuasaan itu ada batasnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar