Rabu, 16 Juni 2021

 

Neraka Jahanam Buat Pandu

Putu Fajar Arcana ;  Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 16 Juni 2021

 

 

                                                           

Ketika bangun dari mimpi buruk, Kunti mengumpulkan anak-anaknya. Di hadapan para Pandawa, ia menangis sejadi-jadinya sambil memukul dadanya. Gelungan rambutnya jatuh berguling-guling. Tak ada yang bereaksi. Yudistira dan keempat adiknya terpaku melihat keanehan tingkah laku ibu mereka. Bima, yang sangat menghormati ibunya, mencoba memeluk, tetapi Kunti berontak.

 

”Siapa yang bisa menyelamatkan ayahandamu?” teriak Kunti.

 

Tak ada yang paham. Pandu, ayahanda para Pandawa, sudah lama wafat secara mendadak ketika sedang memadu kasih dengan Dewi Madri di suatu senja. Begitu pun Madri, ibu kandung bungsu Pandawa, Nakula, dan Sahadewa, tewas membakar diri karena merasa bersalah atas kepergian suaminya.

 

”Bagaimana mungkin terjadi. Siapa yang bisa menyelamatkannya?” tanya Kunti berontak. Ia susuri satu per satu wajah putranya dengan mata mendelik. Tak ada yang berani bertanya. ”Kalian harus selamatkan ayahandamu. Sekarang juga pergi ke neraka. Siapa yang sanggup?”

 

”Ada apa, Bunda?” tanya Yudistira pelan.

 

”Puih,” kata Kunti membuang muka. ”Seorang raja besar seperti dirimu seharusnya mengerti apa yang sedang terjadi….”

 

”Bunda belum bercerita apa yang terjadi,” balas Yudistira.

 

Setelah sedikit tenang, Kunti menyadari ia belum ceritakan perihal mimpi anehnya kepada kelima putranya. Pelan-pelan, ia duduk di balai-balai yang menggeletak di ruang pertemuan keluarga. Ketika putra-putranya ingin bersimpuh di bawah kakinya, buru-buru Kunti memapah mereka. ”Tidak perlu bersimpuh….”

 

”Semalam ibu melihat ayahandamu tersiksa di neraka,” kata Kunti.

 

Kata-kata yang sengaja diucapkan Kunti dengan menyentuhkan lidahnya di langit-langit mulut dalam irama yang amat pelan, tak urung membuat kelima Pandawa tersengat. Mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin raja agung yang memerintah Astina dengan bijaksana harus terlempar ke neraka. Dosa apa gerangan yang telah membuatnya harus menanggung siksaan di kawah Candradimuka.

 

”Siapa yang bisa menyelamatkan ayahmu dari siksa neraka,” kata Kunti sambil menoleh Yudistira. Putra pertamanya itu minta diberi ampun, sebagai seseorang yang bertubuh lemah, mana mungkin ia tahu jalan menuju Yamaloka, tempat para atman (roh) menjalani hukuman neraka.

 

Belum ditanya Kunti, Arjuna juga menyatakan tidak sanggup harus menempuh perjalanan jauh, apalagi ia tidak bisa memastikan ke mana arah menuju Yamaloka.

 

”Biar aku yang pergi ke neraka,” kata Bima cepat.

 

Ketika melihat Bima, mata Kunti menatap dengan sorot yang kurang percaya. Dalam hatinya bergejolak rasa sangsi, melakukan perjalanan jauh menuju neraka tidak cukup hanya dengan kekuatan fisik, perlu kesiapan mental yang tangguh.

 

”Apakah kau tahu jalan pergi ke neraka?” tanya Kunti.

 

”Neraka dekat dengan kita, hanya berada dalam pikiran sesat,” jawab Bima.

 

”Bagaimana mungkin kau menemukan pikiran sesat?”

 

”Turuti hawa nafsu, Bunda.”

 

”Mengapa kau bilang begitu?”

 

”Ayahanda Pandu jadi buktinya,” kata Bima.

 

Kunti terkejut. Bagaimana mungkin putra keduanya itu tahu bahwa Pandu terlempar ke neraka jahanam karena melakukan perbuatan terkutuk. Pelan-pelan, peristiwa puluhan tahun silam membayang dalam matanya.

 

Di masa muda, Pandu dikenal sebagai pemanah yang piawai. Banyak raja dan raksasa telah ditaklukkannya. Bahkan, Raja Kuru, Rsi Byasa, ayah kandungnya, mengangkatnya menjadi raja melampaui kakaknya, Drestarata. Drestarata buta sejak lahir sehingga dianggap tidak layak menjadi raja. Suatu hari, sebagai raja Kuru, Pandu pergi berburu ke tengah hutan. Ia melihat dua ekor kijang sedang bersenggama di bawah pohon besar.

 

”Ini kesempatan yang baik,” pikir Pandu.

 

Dua ekor kijang yang sedang memadu kasih tak akan lari menjauh saat melihat pemburu datang kepadanya. Nafsu yang menggelora membuatnya tidak mawas diri terhadap lingkungan sekitar.

 

Dalam waktu sekejap, anak panah Pandu telah melesat dan tepat menancap di jantung seekor kijang. Setelah terdengar jeritan panjang disertai kaburnya seekor kijang lainnya, tiba-tiba hutan memerah. Setelah asap mengepul, sesosok jasad roboh menimpa rerumputan hijau di bawah pohon.

 

Pandu terkesiap.

 

”Siapakah dirimu?” tanyanya kemudian.

 

”Aku Rsi Kindama….”

 

Pandu menyembah takzim lalu memapah Sang Rsi. Ia ingin meminta maaf setulus-tulusnya karena tidak mengenali Rsi Kindama yang berubah wujud menjadi seekor kijang.

 

”Duh, Rsi yang suci, maafkan kelalaianku.”

 

”Karena kau telah membunuhku saat sedang memadu kasih,  mulai saat ini aku mengutukmu akan mengalami hal yang sama….”

 

Pandu mencoba menunjukkan rasa bersalahnya dengan memeluk erat tubuh Rsi Kindama. Semuanya tak berarti apa-apa karena Rsi Kindama benar-benar telah pergi. Sejak itu, Pandu hidup dalam kebimbangan. Kata-kata Rsi Kindama telah menjadi teror, lebih tajam dari anak-anak panahnya. Terbayang kalau Astina tanpa pewaris takhta, pastilah akan celaka. Keinginannya untuk memiliki keturunan tertutup rapat karena telah dikutuk akan mati kalau berhubungan badan dengan kedua istrinya: Kunti dan Madri.

 

Sebagaimana juga kau sudah pernah mendengar, Kunti telah bersiasat dengan memanggil para dewa untuk memberikan keturunan kepada Pandu. Namun, itu dilakukannya setelah suaminya menitipkan Astina kepada Drestarata untuk kemudian melakukan pengembaraan di tengah hutan.

 

”Bagaimana kau mendengar kisah ini?” tanya Kunti.

 

”Sudah lama kudengar dari Bathara Bayu, ayah dewataku,” jawab Bima.

 

”Apa yang telah diceritakannya?”

 

”Pandu tewas karena terkutuk….”

 

”Cuma itu?”

 

”Tidak, Bunda. Penderitaannya ditambah dengan melepas surga dalam genggamannya.”

 

”Ya. Ayahandamu dan ibundamu Dewi Madri telah menjadi penghuni neraka, tanpa pernah menerima rasa bhakti dari anak-anaknya. Apakah kau siap untuk menyelamatkannya?”

 

”Sebagai suputra, putra yang berbakti kepada orangtua, ke neraka pun aku jalani, Bunda. Aku mohon restumu….”

 

Setelah mencium tangan Kunti, Bima melesat secepat kilat. Ia diiringi oleh dua  abdi setia beranak-pinak: Tualen dan Merdah. Dalam kisah pewayangan Jawa, Tualen serupa dengan Semar, dan Merdah serupa dengan Bagong. Keduanya memiliki kemiripan dari tubuhnya yang gempal, tetapi memiliki otak encer, tak ada masalah yang tak bisa dipecahkannya.

 

Setelah berjalan berhari-hari, Bima masih tak tahu arah mana menuju neraka. Ketiganya mulai tampak lelah dan putus asa.

 

”Tuanku Bima, berapa lama lagi kita harus berjalan?” tanya Tualen.

 

”Sampai kakimu benar-benar tak bisa melangkah,” jawab Bima sekenanya.

 

”Sekarang kakiku sudah lamban.”

 

”Tunggu sampai tubuhmu roboh.”

 

”Penyakit orang tua, selalu ingin bertanya…,” celetuk Merdah.

 

”Apa salahnya bertanya, sebelum kau benar-benar tersesat,” jawab Tualen.

 

Bima yang mendengar percakapan ayah dan anak itu tercenung. Ia ingat katanya-katanya, neraka adalah ketersesatan pikiran dalam belantara keadaban. Bukankah di situ Pandu tersesat, ia membunuh dua ekor kijang yang sedang bersenggama di tengah hutan? Seekor kijang adalah pancaran hawa nafsu yang menggelora; ia meloncat-loncat untuk menemukan pembebasan diri; sebelum akhirnya menjumpai muara dari seluruh perseteruan moralitas hidup. Kalau kau tiba-tiba datang dan melesatkan anak panah untuk membunuhnya, itu akan menjadi halangan besar bagi tumbuhnya generasi baru. 

 

Aku mengingat ini sebagaimana kisah metaforik atas kelahiran Adam dan Hawa. Dalam doktrin Kristen, peristiwa Adam dan Hawa yang memakan buah terlarang telah melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai dosa asal. Awalnya, manusia diciptakan sempurna, seluruh kodratnya teratur, utuh, dan terbebas dari nafsu jahat. Keberanian Adam dan Hawa memakan buah terlarang telah membuat kesempurnaan manusia rusak dan itu berakibat pada keturunan mereka: manusia modern kini, yang hampir selalu berlumuran dosa.

 

Bahkan, doktrin Kristen menyebut, dosa asal itu telah menyebabkan manusia kehilangan: rahmat kekudusan dan empat berkat lainnya, yakni keabadian, bebas dari penderitaan, pengetahuan akan Tuhan, serta harmoni nafsu kedagingan dan akal budi.

 

Peristiwa Pandu memanah kijang yang sedang besenggama boleh jadi semacam hulu sungai dari aliran dosa yang ”mengutuk” manusia selalu berlumur penguluruan terhadap hawa nafsu. Rasa percaya diri yang berlebihan telah membuat manusia merasa hebat dan ”ksatria” sehingga bebas melakukan perbuatan apa pun juga sesuai kehendaknya.

 

Andaikan penulis epos Mahabharata tidak cukup lihai mengatur alur ceritanya, tentu kau dan aku tidak akan menyaksikan keganasan perang Bharatayudha. Karena Kunti punya mantra-mantra untuk memanggil para dewalah, kita kemudian mengetahui ada ksatria tangguh bernama Pandawa. Yudistira lahir berkat anugerah Dewa Yama, Bima dari Dewa Bayu, dan Arjuna dari Dewa Indra. Sementara Nakula dan Sahadewa lahir dari dewa kembar Dewa Aswin. Mereka tidak pernah dilahirkan karena persentuhan antara Pandu, Kunti, dan Madri. Kandungan dalam perut Kunti dan Madri tak lain berkat mantra-mantra sakti yang telah mereka panjatkan kepada para dewata. Jadi, kupikir, selalu ada siasat untuk meneruskan cerita sehingga menjadi arsip yang mengagungkan perjalanan moralitas hidup manusia.

 

”Bagaimana kalau kita bunuh diri?” tiba-tiba kata Bima.

 

Tualen dan Merdah bereaksi cepat, ”Kami masih ingin hidup lebih jauh….”

 

”Bukankah bunuh diri itu mati tersesat?”

 

”Kami tahu itulah neraka,” kata keduanya kompak.

 

”Jadi bagaimana?” desak Bima.

 

”Boleh berpikir sejenak,” kata Tualen.

 

”Apa yang kau pikir, Bapa. Anakmu cuma aku, bukan?” jawab Merdah.

 

”Masih ada ibumu di rumah.”

 

”Wow, inikah kesetiaan?” tanya Merdah.

 

”Setidaknya dia tahu mengapa aku bunuh diri bersama tuanku dan kamu.”

 

Ketika ketiganya  mengambil ancang-ancang untuk menceburkan diri ke dalam jurang yang terjal, tiba-tiba langit gelap, angin berembus kencang. Tubuh-tubuh mereka terempas dan melayang, bukan karena meloncat, tetapi dibawa angin entah ke mana. Ketiganya kemudian memasuki pusaran angin yang dahsyat sebelum akhirnya tercebur di sebuah kawah besar.

 

Tualen dan Merdah berteriak-teriak kepanasan. Sementara Bima mencoba menahan diri untuk tidak bersikap cengeng. Namun, kawah itu serupa lubang kepundan gunung berapi yang sedang memasak magma. Panasnya melebihi panas api di Bumi.

 

”Kita di mana?” tanya Tualen.

 

”Mungkin inilah Kawah Candradimuka,” jawab Merdah.

 

”Ya, kita di neraka,” kata Bima. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar