Membangun
Persepsi Risiko, Setahun Bersama Pandemi Nurul Agustina ; Alumnus Amsterdam Master in Medical
Anthropology (AMMA), Universiteit van Amsterdam |
KOMPAS, 28 Juni 2021
Setahun lebih pandemi
Covid-19, kasus di Indonesia malah memuncak lagi hari-hari ini. Apakah
kemudian mereda lalu Covid-19 menjadi endemik, tidak ada yang tahu. Saat ini sistem kesehatan
kita sedang amat tertekan akibat lonjakan kasus pascalibur lebaran. Covid-19
masih sulit ditundukkan dan banyak ketidakpastian yang kita hadapi, meski
vaksinasi sudah dimulai. Medikalisasi
kehidupan Pandemi juga membuat hidup
kita mengalami medikalisasi luar biasa. Medikalisasi adalah sebuah proses di
mana kondisi, situasi dan masalah manusia dilihat melulu dari perspektif
medis. Medikalisasi kehidupan
tampak dari komunikasi kita sehari-hari. Pembicaraan di level personal dan
ruang publik misalnya, diwarnai berbagai makna dan kosakata baru: lockdown
(menjadi “kuncitara” dalam bahasa Indonesia), karantina dan isolasi
(mandiri), APD, PSBB, PPKM, social distancing, work from home, Zoom, Google
Meet, covidiot, infodemic, yang belum pernah ada sebelumnya. Medikalisasi kehidupan
juga disimbolkan oleh angka-angka yang kita cermati setiap hari dengan
was-was. Berapa kasus positif, berapa yang meninggal, dan seterusnya.
Persepsi kita terhadap risiko keterpaparan dibentuk oleh angka-angka ini,
menentukan gerak-gerik dan keputusan kita setiap hari. Bekerja di rumah atau
di kantor, belanja di pasar atau lewat aplikasi, belajar dari rumah atau
sekolah tatap muka. Medikalisasi juga mengubah
pengalaman manusia terkait kematian. Pandemi Covid-19 membuat orang tak bisa
berada di dekat keluarganya di akhir hidupnya. Ancaman penularan yang tinggi membuat
rumah sakit membuat aturan sangat ketat. Bagi masyarakat
Indonesia—di mana kematian bukan peristiwa individual melainkan peristiwa
komunal—aturan ketat membuat situasi makin buruk. Mereka tidak bisa
mendampingi orang yang akan meninggal, merawat jenazah dan melakukan ritual
keagamaan atau tradisi sebagai ungkapan penghormatan bagi mereka yang
meninggal. Konteks itu menjelaskan mengapa pernah terjadi kasus-kasus
perebutan jenazah pasien Covid-19. Oleh karena itu, untuk
mengatasi chaos akibat pandemi, diperlukan negosiasi antara cara pandang
medis dan cara pandang masyarakat umum. Pengalaman dan persepsi masyarakat
terkait risiko perlu diakomodasi dalam komunikasi pandemi. Penerapan prinsip
5M (sekarang 6M), misalnya, Bagaimana pesan rajin cuci tangan dipersepsi dan
dilaksanakan di daerah dengan akses air bersih minim? Bagaimana pesan menjaga
jarak dipraktikkan di slum area yang padat? Ketika segala sisi risiko
masa liburan sudah dibahas, tetapi arus mudik tetap susah dibendung, di mana
letak masalahnya? Jika kepatuhan (adherence) masyarakat dianggap rendah,
apakah itu berarti masyarakat tidak menganggap penting pesan-pesan 6M? Atau
ada sebab lainnya? Sebuah survei yang
dilakukan Suhanti dkk (2020) di Indonesia, melibatkan sekitar 500 responden
pada awal pandemi. Hasilnya, terkait sumber informasi, lebih dari 70 persen
responden percaya informasi dari pemerintah. Pemerintah dianggap sumber
informasi otoritatif pandemi. Namun, publik juga mengingat pengingkaran
pemerintah pada awal pandemi sehingga pengabaian meluas. Sebenarnya sejak Presiden
mengakui Covid-19 masuk ke Indonesia Maret 2020, banyak sekali yang sudah
dilakukan pemerintah. Namun, masalah komunikasi tampaknya masih memerlukan
banyak koreksi. Karut-marut strategi komunikasi pemerintah terbaca pada
trending topic ivermectin, obat untuk mengobati infeksi kecacingan, kutu,
tungau dan kudis yang konon bisa mengobati Covid-19. Ivermectin menjadi viral
karena murah dan bisa diproduksi di dalam negeri. Berita ini langsung ditelan
meski bukti belum kuat. Namun, masyarakat bingung
karena silang-sengketa di kalangan pemerintah. Menteri BUMN menghendaki BPOM
mendukung penerbitan Izin Penggunaan Darurat ivermectin, tetapi kata Kepala
BPOM izin edar obat ini sebagai antiparasit. Penggunaan sebagai obat
Covid-19, menurut ahli lain, adalah off-label. Kebingungan
informasi Dalam rentang pandemi flu
Spanyol 1918 dengan Covid-19 sekarang, ada persamaan pada pengingkaran,
penerimaan dan kekacauan informasi. Seperti halnya Covid-19,
flu Spanyol sebelumnya tidak dikenal. Penularan ketika itu juga berlangsung
sangat cepat, berkejaran dengan rumor dan situasi perang yang membuat
pemerintah mengontrol informasi. Korban flu Spanyol mungkin tidak akan
sebanyak itu jika tidak ada penyensoran dan pengingkaran yang terlibat perang
saat itu, terutama Eropa. Sensor dan pengingkaran
dilakukan penguasa demi menjaga moral prajurit di garis depan (Sean Martin,
2015, dalam A Short History of Disease: Plagues, Poxes and Civilization).
Pengingkaran juga untuk mencegah negara lain tahu bahwa pandemi memukul
parah. Tak hanya oleh negara,
pengingkaran juga dilakukan media. Ini terjadi di Inggris pada September 1918
ketika PM Inggris David Lloyd George tertular dalam kunjungan ke Manchester
untuk menyemangati tentara Inggris. Media menyebut Lloyd George kena flu
karena cuaca. Amerika Serikat yang mulai
terlibat dalam Perang Dunia I pada 1917 bahkan mengeluarkan undang-undang
antihasutan (Sedition Act) yang akan mengkriminalkan siapa pun yang
menyebarkan informasi penurun semangat pasukan AS dan menguntungkan musuh. Karena Covid-19 adalah
penyakit baru, penting pemahaman pada masa-masa awal. Ambil contoh obat
hidroksilorokuin dan klorokuin. Di awal pandemi penggunaan obat malaria dan
beberapa jenis penyakit autoimun itu menimbulkan harapan karena Indonesia
mampu memproduksi. Sejak Maret 2020 sejumlah
negara menggunakan meskipun belum ada bukti uji klinis. April 2020 WHO
mendesak menghentikan penggunaan klorokuin karena penelitian pada jurnal
kedokteran, The Lancet, yang menyimpulkan obat-obat itu tidak mengatasi
Covid-19. Perubahan sangat cepat dan
penyebaran melalui teknologi digital, membuat kita sering tidak tahu apakah
informasi yang datang benar atau salah. Era banjir informasi sekaligus juga
merupakan era ketidakpastian informasi. Pengetahuan di era digital sering
membuat informasi yang sampai ke tangan kita sebenarnya sudah obsolete. Benar kata Pak Jakob
Oetama, bahwa “Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan
dikhawatirkan jadi sumber kecemasan. Lubernya informasi berarti ada jenis
informasi yang tidak diolah dan tidak mungkin dipakai.” Apa
yang harus dilakukan Mengomunikasikan pandemi
dan risikonya tidak lebih ringan dari mengobati pasien positif. Ada banyak
lapisan masalah yang membutuhkan strategi komunikasi berbeda. Fokus
komunikasi pada masa karantina berbeda dengan ketika masa tanggap darurat
sudah lewat. Namun yang jelas, pemerintah harus menghadapi dan berkompetisi
dengan rumor dan hoaks yang tiap detik diproduksi dan direproduksi. Pandemi Covid-19 membuka
banyak “borok” penyelenggaraan sistem kesehatan. Covid-19 tidak hanya masalah
di ruang rawat, ICU dan laboratorium. Ia juga menjadi potret buram
ketidaksetaraan akses kesehatan dan lemahnya jaminan sosial. Untuk menangani persoalan,
pemerintah dan para ahli kesehatan perlu menggali dan melihat lebih dekat
narasi pasien terkait perilaku kesehatan. Dengan demikian pasien
(masyarakat) tidak melulu menjadi pihak yang salah karena dianggap tidak
patuh, padahal ada masalah struktural yang melambari buruknya penanganan
pandemi. Ketiga, tertekannya rumah
sakit saat ini karena jumlah pasien Covid-19 yang membeludak memberi
pelajaran bahwa perawatan berbasis masyarakat dan keluarga dibutuhkan
terutama untuk pasien tanpa gejala atau bergejala ringan. Untuk itu strategi
komunikasi risiko dan up date informasi yang benar sangat perlu diperbaiki
agar situasi yang lebih buruk bisa dihindari. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar