Selasa, 29 Juni 2021

 

Membangun Persepsi Risiko, Setahun Bersama Pandemi

Nurul Agustina ;  Alumnus Amsterdam Master in Medical Anthropology (AMMA), Universiteit van Amsterdam

KOMPAS, 28 Juni 2021

 

 

                                                           

Setahun lebih pandemi Covid-19, kasus di Indonesia malah memuncak lagi hari-hari ini. Apakah kemudian mereda lalu Covid-19 menjadi endemik, tidak ada yang tahu.

 

Saat ini sistem kesehatan kita sedang amat tertekan akibat lonjakan kasus pascalibur lebaran. Covid-19 masih sulit ditundukkan dan banyak ketidakpastian yang kita hadapi, meski vaksinasi sudah dimulai.

 

Medikalisasi kehidupan

 

Pandemi juga membuat hidup kita mengalami medikalisasi luar biasa. Medikalisasi adalah sebuah proses di mana kondisi, situasi dan masalah manusia dilihat melulu dari perspektif medis.

 

Medikalisasi kehidupan tampak dari komunikasi kita sehari-hari. Pembicaraan di level personal dan ruang publik misalnya, diwarnai berbagai makna dan kosakata baru: lockdown (menjadi “kuncitara” dalam bahasa Indonesia), karantina dan isolasi (mandiri), APD, PSBB, PPKM, social distancing, work from home, Zoom, Google Meet, covidiot, infodemic, yang belum pernah ada sebelumnya.

 

Medikalisasi kehidupan juga disimbolkan oleh angka-angka yang kita cermati setiap hari dengan was-was. Berapa kasus positif, berapa yang meninggal, dan seterusnya. Persepsi kita terhadap risiko keterpaparan dibentuk oleh angka-angka ini, menentukan gerak-gerik dan keputusan kita setiap hari. Bekerja di rumah atau di kantor, belanja di pasar atau lewat aplikasi, belajar dari rumah atau sekolah tatap muka.

 

Medikalisasi juga mengubah pengalaman manusia terkait kematian. Pandemi Covid-19 membuat orang tak bisa berada di dekat keluarganya di akhir hidupnya. Ancaman penularan yang tinggi membuat rumah sakit membuat aturan sangat ketat.

 

Bagi masyarakat Indonesia—di mana kematian bukan peristiwa individual melainkan peristiwa komunal—aturan ketat membuat situasi makin buruk. Mereka tidak bisa mendampingi orang yang akan meninggal, merawat jenazah dan melakukan ritual keagamaan atau tradisi sebagai ungkapan penghormatan bagi mereka yang meninggal. Konteks itu menjelaskan mengapa pernah terjadi kasus-kasus perebutan jenazah pasien Covid-19.

 

Oleh karena itu, untuk mengatasi chaos akibat pandemi, diperlukan negosiasi antara cara pandang medis dan cara pandang masyarakat umum. Pengalaman dan persepsi masyarakat terkait risiko perlu diakomodasi dalam komunikasi pandemi. Penerapan prinsip 5M (sekarang 6M), misalnya, Bagaimana pesan rajin cuci tangan dipersepsi dan dilaksanakan di daerah dengan akses air bersih minim? Bagaimana pesan menjaga jarak dipraktikkan di slum area yang padat?

 

Ketika segala sisi risiko masa liburan sudah dibahas, tetapi arus mudik tetap susah dibendung, di mana letak masalahnya? Jika kepatuhan (adherence) masyarakat dianggap rendah, apakah itu berarti masyarakat tidak menganggap penting pesan-pesan 6M? Atau ada sebab lainnya?

 

Sebuah survei yang dilakukan Suhanti dkk (2020) di Indonesia, melibatkan sekitar 500 responden pada awal pandemi. Hasilnya, terkait sumber informasi, lebih dari 70 persen responden percaya informasi dari pemerintah. Pemerintah dianggap sumber informasi otoritatif pandemi. Namun, publik juga mengingat pengingkaran pemerintah pada awal pandemi sehingga pengabaian meluas.

 

Sebenarnya sejak Presiden mengakui Covid-19 masuk ke Indonesia Maret 2020, banyak sekali yang sudah dilakukan pemerintah. Namun, masalah komunikasi tampaknya masih memerlukan banyak koreksi. Karut-marut strategi komunikasi pemerintah terbaca pada trending topic ivermectin, obat untuk mengobati infeksi kecacingan, kutu, tungau dan kudis yang konon bisa mengobati Covid-19. Ivermectin menjadi viral karena murah dan bisa diproduksi di dalam negeri. Berita ini langsung ditelan meski bukti belum kuat.

 

Namun, masyarakat bingung karena silang-sengketa di kalangan pemerintah. Menteri BUMN menghendaki BPOM mendukung penerbitan Izin Penggunaan Darurat ivermectin, tetapi kata Kepala BPOM izin edar obat ini sebagai antiparasit. Penggunaan sebagai obat Covid-19, menurut ahli lain, adalah off-label.

 

Kebingungan informasi

 

Dalam rentang pandemi flu Spanyol 1918 dengan Covid-19 sekarang, ada persamaan pada pengingkaran, penerimaan dan kekacauan informasi.

 

Seperti halnya Covid-19, flu Spanyol sebelumnya tidak dikenal. Penularan ketika itu juga berlangsung sangat cepat, berkejaran dengan rumor dan situasi perang yang membuat pemerintah mengontrol informasi. Korban flu Spanyol mungkin tidak akan sebanyak itu jika tidak ada penyensoran dan pengingkaran yang terlibat perang saat itu, terutama Eropa.

 

Sensor dan pengingkaran dilakukan penguasa demi menjaga moral prajurit di garis depan (Sean Martin, 2015, dalam A Short History of Disease: Plagues, Poxes and Civilization). Pengingkaran juga untuk mencegah negara lain tahu bahwa pandemi memukul parah.

 

Tak hanya oleh negara, pengingkaran juga dilakukan media. Ini terjadi di Inggris pada September 1918 ketika PM Inggris David Lloyd George tertular dalam kunjungan ke Manchester untuk menyemangati tentara Inggris. Media menyebut Lloyd George kena flu karena cuaca.

 

Amerika Serikat yang mulai terlibat dalam Perang Dunia I pada 1917 bahkan mengeluarkan undang-undang antihasutan (Sedition Act) yang akan mengkriminalkan siapa pun yang menyebarkan informasi penurun semangat pasukan AS dan menguntungkan musuh.

 

Karena Covid-19 adalah penyakit baru, penting pemahaman pada masa-masa awal. Ambil contoh obat hidroksilorokuin dan klorokuin. Di awal pandemi penggunaan obat malaria dan beberapa jenis penyakit autoimun itu menimbulkan harapan karena Indonesia mampu memproduksi.

 

Sejak Maret 2020 sejumlah negara menggunakan meskipun belum ada bukti uji klinis. April 2020 WHO mendesak menghentikan penggunaan klorokuin karena penelitian pada jurnal kedokteran, The Lancet, yang menyimpulkan obat-obat itu tidak mengatasi Covid-19.

 

Perubahan sangat cepat dan penyebaran melalui teknologi digital, membuat kita sering tidak tahu apakah informasi yang datang benar atau salah. Era banjir informasi sekaligus juga merupakan era ketidakpastian informasi. Pengetahuan di era digital sering membuat informasi yang sampai ke tangan kita sebenarnya sudah obsolete.

 

Benar kata Pak Jakob Oetama, bahwa “Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan dikhawatirkan jadi sumber kecemasan. Lubernya informasi berarti ada jenis informasi yang tidak diolah dan tidak mungkin dipakai.”

 

Apa yang harus dilakukan

 

Mengomunikasikan pandemi dan risikonya tidak lebih ringan dari mengobati pasien positif. Ada banyak lapisan masalah yang membutuhkan strategi komunikasi berbeda. Fokus komunikasi pada masa karantina berbeda dengan ketika masa tanggap darurat sudah lewat. Namun yang jelas, pemerintah harus menghadapi dan berkompetisi dengan rumor dan hoaks yang tiap detik diproduksi dan direproduksi.

 

Pandemi Covid-19 membuka banyak “borok” penyelenggaraan sistem kesehatan. Covid-19 tidak hanya masalah di ruang rawat, ICU dan laboratorium. Ia juga menjadi potret buram ketidaksetaraan akses kesehatan dan lemahnya jaminan sosial.

 

Untuk menangani persoalan, pemerintah dan para ahli kesehatan perlu menggali dan melihat lebih dekat narasi pasien terkait perilaku kesehatan.

 

Dengan demikian pasien (masyarakat) tidak melulu menjadi pihak yang salah karena dianggap tidak patuh, padahal ada masalah struktural yang melambari buruknya penanganan pandemi.

 

Ketiga, tertekannya rumah sakit saat ini karena jumlah pasien Covid-19 yang membeludak memberi pelajaran bahwa perawatan berbasis masyarakat dan keluarga dibutuhkan terutama untuk pasien tanpa gejala atau bergejala ringan.

 

Untuk itu strategi komunikasi risiko dan up date informasi yang benar sangat perlu diperbaiki agar situasi yang lebih buruk bisa dihindari. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar