Kesadaran
Kebencanaan dan Kesehatan Kota Nirwono Joga ; Pusat Studi Perkotaan |
KOMPAS, 22 Juni 2021
Pandemi Covid-19 belum
mampu membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana kesehatan dan
lingkungan. Lalu ancaman bencana apa yang lebih ditakuti masyarakat, apakah
banjir, krisis air bersih, kekeringan, kebakaran hutan, limbah sampah, polusi
udara, gempa bumi, atau penularan Covid-19? Mengapa bencana kesehatan lebih
menakutkan dibandingkan dengan bencana lingkungan? Penyebaran virus yang
cepat ke seluruh dunia, ragam virus varian yang terus bermutasi, jumlah
penularan yang meningkat, angka kematian yang tinggi, meski jumlah pasien
yang sembuh jauh lebih banyak, telah memenuhi ruang publik masyarakat. Dampak
yang diakibatkan jauh lebih masif melampaui batas negara, memasuki seluruh
sendi kehidupan masyarakat. Ancaman penyebaran virus
telah mengungkap kerapuhan globalisasi dan memunculkan sikap glokalisasi.
Ketakutan berlebih pada Covid-19 (coronaphobia) muncul. Negara/kota/wilayah
menutup diri, melakukan proteksi (karantina/isolasi) dan fokus pada diri
sendiri. Mereka semakin ego dengan ekspresi nasionalisme dan xenofobia dengan
tujuan untuk melindungi warganya terlebih dahulu. Pengawasan ketat terhadap
mobilitas penduduk dengan melakukan karantina dan melarang masuk warga dari
luar wilayah. Lalu langkah apa yang
harus dilakukan? Pertama, pandemi Covid-19 memiliki dampak mikro dan makro
dalam kehidupan manusia yang mencapai titik transformasi kultural pada momen
terciptanya ketakutan. Semakin tinggi angka kematian, maka semakin meningkat
kesadaran warga untuk melindungi diri dan memilih arah kesadaran akan
kesehatan. Imaji sosiologis terhadap
virus yang mematikan telah memandu masyarakat untuk mengubah perilaku secara
radikal dalam waktu singkat. Kepanikan merupakan salah satu kata yang
disematkan pada situasi ketika manusia memiliki keterbatasan dalam bertindak
saat menghadapi ancaman. Kedua, kesadaran kesehatan
masyarakat meningkat sementara kesadaran lingkungan tidak berubah. Tata
kelola penanganan Covid-19 difokuskan pada regulasi kesehatan masyarakat
serta dilakukan secara maksimal untuk menekan laju penyebaran virus, jumlah
korban, jumlah kematian, dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Kekuatan media sosial
terhadap penyebaran virus memberikan tekanan kognitif dan psikologis, serta
menimbulkan demarkasi kesadaran selama pandemi sehingga kesehatan menjadi
prioritas utama dibandingkan kesadaran ekologis. Perubahan paling signifikan
ialah kesadaran masyarakat meningkat akan pentingnya menjaga kesehatan dan
kebersihan kala pandemi. Ketiga, tata kelola
kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan tergolong rendah. Kesadaran
ekologis dianggap sebagai agenda seremonial, tidak terkait dengan perputaran
ekonomi dan ancaman kematian yang setiap saat dapat terjadi. Jika bencana
lingkungan muncul dalam waktu singkat dan berdampak signifikan terhadap
politik ekonomi nasional/global, bisa jadi kesadaran lingkungan akan meningkat. Berita ada 200 ton limbah
medis tidak terolah dengan baik setiap hari (Ombudsman Indonesia, 2021),
peningkatan volume sampah medis (April 2020-Januari 2021) sekitar 12.785 ton
yang berasal dari rumah tangga, fasilitas kesehatan, dan rumah sakit (Nababan,
2021), serta limbah masker APD mencemari muara Sungai Cilincing, Marunda, dan
Teluk Jakarta (Ruhyani, 2020) belum menjadikan kesadaran lingkungan tengah
terancam. Keempat, peningkatan
kesadaran kesehatan masyarakat ditunjukkan dengan kedisiplinan menerapkan 5M.
Warga wajib memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir,
menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan/keramaian, serta membatasi
mobilitas keluar rumah. Pola hidup bersih dan sehat dilakukan dengan makan
makanan sehat, bergizi, dan higienis, olahraga teratur, istirahat cukup, dan
menghindari stres. Hasilnya ialah imunitas meningkat, kesehatan terjaga, dan
modal sosial semakin kuat. Belajar, bekerja,
berniaga, dan beribadah dari rumah merupakan bagian dari membatasi mobilitas.
Penerapan kebijakan ganjil genap, kawasan rendah emisi (bebas kendaraan
bermotor), pemeriksaan perjalanan, dan penyekatan di perbatasan bertujuan
menekan penyebaran virus. Hasilnya tampak pada perbaikan kualitas lingkungan,
seperti penurunan polusi udara, langit lebih cerah, lalu lintas lebih lancar,
stres di perjalanan berkurang. Kelima, pembenahan
struktur ruang kota sebagai pembentuk budaya kesehatan dan lingkungan.
Peremajaan perumahan dan permukiman didukung pusat pelayanan lingkungan, transportasi
massal terpadu, infrastruktur jalan (trotoar, jalur sepeda, jalur evakuasi),
jaringan utilitas (air bersih, gas, listrik, internet), sanitasi komunal,
pengolahan sampah dan limbah, taman dan kebun pangan. Kesadaran nilai budaya
baru untuk berjalan kaki atau bersepeda aktivitas harian dalam jarak dekat,
menggunakan transportasi massal untuk bepergian jauh, hemat air, hemat
listrik, kebersihan lingkungan, kohesi sosial. Kualitas ruang kota terjaga,
kota semakin humanis. Kesadaran hidup sehat dan peduli lingkungan akan
meningkat dan mewujud dalam peradaban ekologis kota. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar