Jumat, 18 Juni 2021

 

PPN atas Pendidikan Layak Ditolak

Mangadar Situmorang ;  Rektor Universitas Katolik Parahyangan

KOMPAS, 18 Juni 2021

 

 

                                                           

Tujuan penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas, ialah ”berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3).

 

Pendidikan sendiri dimaknai sebagai ”usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Pasal 1.1).

 

Sementara itu, prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional, antara lain, disebutkan adalah demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan, memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik (Pasal 2).

 

Kutipan UU tentang tujuan pendidikan di atas secara eksplisit menunjukkan tujuan (output), hasil (outcome), dan dampak (impact) sebagai satu kesatuan. Adapun kutipan pada alinea kedua di atas menegaskan proses (process) yang diperlukan agar tujuan dan hasil tersebut dapat dicapai.

 

Sementara itu, siswa/mahasiswa (termasuk orangtua), guru/dosen, dan berbagai sarana-prasarana yang dibutuhkan (kurikulum, gedung, laboratorium, dan lain-lain) menjadi seperangkat persyaratan yang dibutuhkan (input) sehingga proses bisa berjalan dan hasil yang diinginkan dapat diwujudkan.

 

Maka, terkait dengan wacana Kementerian Keuangan untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bidang pendidikan, layak dipertanyakan: bagian mana dari seluruh rangkaian penyelenggaraan pendidikan yang layak untuk dikenai pajak? Apakah bagian input ketika siswa/mahasiswa membayar uang sekolah/kuliah di setiap awal semester, ataukah setiap fasilitas fisik berupa ruang kelas, ruang praktikum, atau ruang terbuka?

 

Atau, apakah setiap aktivitas dan interaksi akademik di ruang dan luar kelas? Atau, akankah setiap lulusan yang telah menyelesaikan sebuah program pendidikan (usia dini, dasar dan menengah, serta tinggi) yang akan dikenai pajak itu?

 

Singkatnya, apakah sasaran pemberlakuan PPN ditujukan pada aspek kinerja input, proses, kinerja output dan outcome, atau pada semua elemen tersebut?

 

Sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum bahwa PPN dikenakan pada setiap proses produksi ataupun distribusi. Menurut informasi yang bisa ditelusuri, pajak jenis ini awalnya (tahun 1947) dikenakan pada usaha rumah makan, penginapan, dan sejenisnya, yang disebut Pajak Pembangunan I (PPb I).

 

Pada tahun 1951 itu berubah menjadi Pajak Peredaran, yang lalu berganti menjadi Pajak Penjualan (1953). Selanjutnya, pajak ini berubah pada tahun 1983 dengan nama Pajak Pertambahan Nilai (dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah).

 

Sekalipun telah mengalami tiga kali peninjauan, tujuan pengenaan pajak ini ”adalah untuk semakin meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri” (https://www.online- pajak.com/tentang-ppn-efaktur/uu-ppn).

 

Secara sederhana, PPN merupakan pungutan yang dikenakan pada setiap proses dan transaksi produksi barang atau jasa hingga barang atau jasa tersebut sampai pada dan dinikmati konsumen. Yang terakhir inilah yang pada akhirnya menanggung atau membayarkan pungutan atau pajak itu. Adapun tujuan pungutan ialah untuk meningkatkan jumlah penerimaan negara.

 

Ikhtiar peradaban

 

Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana tampaknya tidak sepenuhnya memenuhi semua dimensi dan karakteristik yang terdapat dalam istilah perusahaan.

 

Kata usaha dalam UU Sisdiknas tersebut dan juga dalam pemahaman umum lebih mirip dengan ”ikhtiar” (endeavour) yang mengandung makna adanya inisiatif pencarian, perjuangan, terkadang dengan kesulitan dan penderitaan tertentu, yang tujuannya ingin mendapatkan pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan keahlian, mengembangkan kearifan, bahkan memupuk keimanan dan ketakwaan.

 

Padanya ada bobot altruis-sosial yang ketika ikhtiar itu dipandang telah sampai pada tujuannya, maka tiba saatnya untuk mengabdikannya bagi kebaikan orang lain, masyarakat, dan bersama (bonum commune).

 

Pada sisi yang lain, pendidikan lebih merupakan ikhtiar kebudayaan dan spiritualitas. Melalui pendidikan, peradaban dimajukan; pengetahuan dan kebenaran baru digali dan didiseminasikan; kesadaran baru yang bersifat akademik atau ilmiah diuji dan dibangun; kebaikan dan kesejahteraan bersama ditingkatkan.

 

Pendidikan menjadi ikhtiar kolektif, historis, dan kultural yang berakar pada budaya dan sekaligus diproyeksikan untuk pengembangan budaya itu sendiri.

 

Pendidikan bukanlah peristiwa ekonomi atau proses transaksional antara sekolah/guru/dosen dan peserta didik melalui apa yang umum disebut transfer of knowledge. Telah sering dikemukakan bahwa pendidikan tidak berakhir dengan peserta didik memperoleh ijazah atau sertifikat.

 

Revolusi teknologi informasi dan digitalisasi, yang diakselerasi oleh pandemi Covid-19, seakan mengoreksi bahwa sekolah atau kampus bukan lagi tempat atau berperan untuk melakukan transfer ilmu dan pengetahuan sehingga layak dikenai ”fee”. Fungsi ini telah semakin diambil alih oleh penyedia materi pembelajaran dan keterampilan secara daring (MOOCs). Peran oleh penyedia jasa seperti itu tampaknya layak dikenai pungutan tertentu.

 

Pendidikan yang sejati lebih merupakan aktivitas mengalami (experiential learning); mengalami kehidupan akademik atau saintifik; kehidupan yang diwarnai keberagaman, perbedaan, bahkan pertentangan, secara sosial ataupun intelektual; yang daripadanya dimungkinkan munculnya ide, metode, dan pengetahuan sintetik, serta sikap atau pekerti yang demokratis, hormat, dan saling menghargai.

 

Pendidikan menjadi proses penanaman nilai-nilai moral dan etik, pengembangan sikap positif, optimistis, bertanggung jawab, dan kepedulian sosial- kemanusiaan-kebangsaan. Jauh sebelumnya UNESCO telah mencanangkan tujuan pendidikan untuk membangun kemampuan yang tidak hanya ”to know”, ”to do”, tetapi juga ”to be” dan ”to live together”.

 

Dengan mengatakan bahwa pendidikan merupakan ikhtiar peradaban, itu tidak berarti bahwa tidak terdapat aspek transaksional yang berdimensi ekonomis yang padanya kemudian dikenai berbagai jenis pajak. Satu di antaranya adalah pajak penghasilan bagi setiap pegawai, termasuk guru dan dosen.

 

Dengan formula yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, setiap orang yang pendapatannya di atas jumlah tertentu dikenai Pajak Penghasilan (PPh). Yang lainnya adalah pajak yang dikenakan kepada institusi berupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

 

PPN sendiri telah berlangsung pada setiap transaksi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, seperti pembangunan gedung, pengadaan perangkat komputer dan jaringan, dan pengembangan sistem informasi.

 

Pendidikan, bagaimanapun, juga bersifat politis. Kebenaran (ilmiah) sering kali tidak selalu bersifat universal, kultural, dan humanis, tetapi juga berwajah imperialis-kapitalis. Karena itu, pendidikan mengemban misi membangun sikap kritis (critical thinking) selain kreatif (creative thinking).

 

Padanya juga ada orientasi membangun rasa percaya diri, independensi, dan otonomi yang bertanggung jawab. Pada gilirannya, sikap bertanggung jawab inilah yang menunjukkan makna kedaulatan, baik pada level individu, masyarakat/budaya, maupun bangsa dan negara.

 

Memungut pajak atas pendidikan sebagai ikhtiar kebudayaan dan peradaban merupakan keputusan politis. Oleh karena itu, keputusan itu layak digugat dan ditolak secara politis pula, terutama oleh mereka yang melihat pendidikan sebagai ikhtiar peradaban dan kebangsaan, dan bukan usaha ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang layak dikenai pungutan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar