Senin, 28 Juni 2021

 

Perlindungan Peternak Sapi

Rochadi Tawaf ;  Dewan Pakar PB ISPI dan Komite Pendayagunaan Petani Indonesia

KOMPAS, 25 Juni 2021

 

 

                                                           

Pemerintah dalam kerangka membina dan mengembangkan industri gula dan petani tebu telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mampu melindungi petani tebu. Kebijakan tersebut, antara lain, menetapkan harga beli tebu petani dengan harga tinggi.

 

Kebijakan ini sangat efektif dalam merangsang peningkatan produksi dan produktivitas industri gula di dalam negeri. Selain itu, menurut ISO 2019 (International Sugar Association), Indonesia sebagai negara importir neto gula telah membeli raw-sugar dengan harga tertinggi di dunia, yakni 3,97 dollar AS per metrik ton.

 

Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas daging sapi. Sejak Presiden Jokowi pada 2016 meminta harga daging sapi harus di bawah Rp 80.000 per kilogram, berbagai upaya jungkir balik (istilah Jokowi) atau kebijakan-kebijakan kontroversial telah dilakukan pemerintah.

 

Kebijakan itu, antara lain, pembebasan impor daging dan sapi melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 17 Tahun 2016, Permentan No 34/2016, dan Peraturan Menteri Perdagangan No 59/2016. Sebelumnya, daging yang diimpor dibatasi dengan rasio.

 

Kemudian, kebijakan membuka impor daging kerbau dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) melalui Peraturan Pemerintah No 4/2016 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 2556/2016. Sebelumnya, ada larangan untuk mengimpor dari negara-negara yang belum masuk zona bebas PMK.

 

Selanjutnya, kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan lewat Permentan No 02/2017 Pasal 7. Padahal, bisnis penggemukan sangat berbeda dengan pembiakan.

 

Selain itu, kebijakan perubahan berat badan sapi bakalan impor dari 350 kilogram menjadi 450 kilogram melalui Permentan No 49/2016 jo Permentan No 02/2017 Pasal 15.

 

Sesungguhnya, bisnis penggemukan ditujukan untuk memperoleh nilai tambah di dalam negeri. Namun, seluruh kebijakan itu tak mampu menahan lajunya kenaikan harga daging sapi di dalam negeri yang terus meningkat dari sekitar Rp 110.000 per kilogram pada 2016 menjadi Rp 120.000-an per kilogram pada 2021.

 

Dampaknya, telah terjadi deindustrialisasi terhadap industri feedlot, yaitu terhentinya bisnis 14 perusahaan dan 29 feedlot menuju kebangkrutan, dengan nilai bisnis puluhan triliun rupiah.

 

Harga daging sapi

 

Pada hakikatnya, harga daging sapi yang terbentuk dapat terjadi berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli serta tunduk pada hukum permintaan dan penawaran.

 

Jika penawaran akan daging sapi itu lebih besar dibandingkan dengan permintaannya, dengan sendirinya harga akan cenderung rendah. Demikian juga sebaliknya. Terbentuknya harga sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara penetapan statistik harga daging sapi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah dengan menentukan daging yang berasal dari ”paha belakang”.

 

Sebenarnya harga yang berlaku saat ini merupakan harga ”keseimbangan baru” yang terbentuk atas kemampuan produksi atau ketersediaannya dengan kemampuan daya beli konsumen sejak dua tahun terakhir. Jika harga keseimbangan ini diturunkan, tentu yang akan dirugikan usaha peternakan di dalam negeri.

 

Menurut penelitian Tawaf (2013), harga produk ternak memberikan pengaruh nyata (38 persen) terhadap upaya pengembangan skala usaha ternak. Artinya, harga merupakan komponen insentif bagi pengembangan usaha peternakan rakyat di dalam negeri.

 

Jika pemerintah berkeinginan menurunkan harga, sesungguhnya itu identik dengan tidak menginginkan peternakan sapi di dalam negeri berkembang. Tentu saja pendapat ini belum tentu benar. Namun, siapa sesungguhnya yang menikmati murahnya harga daging itu?

 

Jika pemerintah berpihak kepada konsumen, menurut Soedjana (2016), partisipasi konsumen daging sapi itu hanya 16 persen dari penduduk Indonesia yang ada di perkotaan. Kelompok masyarakat ini relatif tidak peduli dengan fluktuasi harga daging sapi.

 

Jika dilihat dampaknya terhadap gejolak ekonomi, fluktuasinya pun relatif rendah dibandingkan dengan komoditas cabai dan daging ayam. Jika alasannya untuk pemenuhan konsumsi protein hewani, negeri ini sangat kaya dengan protein hewani yang berasal dari ikan, unggas, dan ternak lainnya.

 

Perlindungan peternak

 

Menurut Numbeo (2021), harga daging sapi di Indonesia menempati peringkat ke-71 dari 107 negara sebagai responden. Artinya, harga daging di Indonesia relatif murah jika dibandingkan dengan 107 negara lainnya.

 

Sesungguhnya, tidak ada alasan jika harga daging di Indonesia lebih mahal daripada kondisi saat ini. Sebab, peningkatan harga yang terjadi akan merangsang peternak sapi di dalam negeri untuk mengembangkan usahanya.

 

Jika disimak fenomena yang terjadi jelang Idul Kurban saat ini, sapi-sapi jantan ternyata ditahan oleh peternak rakyat dan akan dipasarkan saat Idul Adha. Hal ini disebabkan harga yang sangat kondusif pada saat Idul Kurban, yaitu Rp 60.000-an per kilogram berat hidup. Artinya, jika dikonversi ke harga daging, sekitar Rp 150.000 per kilogram.

 

Jika saja kondisi pasar Idul Kurban dijadikan patokan harga, tentunya peternakan di dalam negeri akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Posisi harga daging ini masih berada di peringkat ke-40-an dunia. Dampaknya tentu akan mampu memperbaiki bisnis sapi pedaging yang terpuruk beberapa tahun terakhir ini.

 

Dalam rangka melindungi peternak sapi di dalam negeri agar tumbuh dan berkembang secara kondusif, panduan harga daging yang terjangkau dapat dijadikan dasar sebagai pertimbangan sepanjang peningkatannya terjadi sejalan dengan perkembangan inflasi di perekonomian nasional. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar