Berkaca
dari Moderasi Beragama di Mancanegara M Arskal Salim GP ; Kepala Puslitbang Lektur Balitbangdiklat
Kementerian Agama RI |
KOMPAS, 11 Juni 2021
Mengantisipasi tantangan radikalisme
dan terorisme yang merebak dewasa ini, sejumlah negara Muslim merespons
dengan menggencarkan program penyebarluasan paham moderasi beragama. Respons
itu tidak sekadar untuk mengirim pesan ke dunia internasional bahwa negara
tersebut bukanlah sarang kelompok radikal teroris, tetapi juga untuk mencegah
meluasnya aktivitas bertalian dengan radikalisme dan terorisme dalam negeri. Tiga
pola ”official” Islam Seorang peneliti Timur
Tengah dari Quincy Institute Amerika Serikat, Annele Sheline, mengungkapkan
tiga pola kebijakan moderasi beragama di negara-negara Muslim. Sheline (2021)
menggunakan istilah the resonance of official Islam untuk menggambarkan
fenomena tersebut. Penggunaan istilah official Islam yang secara literal
berarti Islam resmi mungkin agak ganjil. Namun, istilah tersebut setidaknya
mewakili realitas. Menurut Sheline,
pengertian official Islam mencakup serangkaian kebijakan negara yang secara
eksplisit menjadikan tema-tema keislaman dan kegiatan-kegiatan keagamaan
(seperti ibadah ritual, pendidikan madrasah, dan fatwa) ataupun kelembagaan
pendidikan tinggi sebagai medium pertahanan menghadapi ancaman paham
radikalisme dan terorisme. Ringkasnya, official Islam tak lain adalah
kebijakan moderasi beragama. Ketiga pola official Islam
di negara-negara Muslim itu diamati dari sejauh mana kebijakan promosi sikap
moderasi beragama terwujud resonansinya, baik dalam memperkuat sikap toleran
dan komitmen kebangsaan tiap warga negara maupun dalam membangun reputasi
positif di mata dunia internasional sebagai negara yang efektif mencegah
radikalisme dan memberantas terorisme. Pola pertama terjadi di
Oman, sebuah negara kesultanan Arab di kawasan Teluk. Negara yang
satu-satunya memiliki penduduk Muslim minoritas bermazhab Ibadi (bagian dari
aliran Khawarij yang masih survive) ini sejak lama telah aktif mengembangkan
sikap dan budaya toleransi yang kuat. Kesultanan Oman
mempromosikan Islam moderat lebih banyak karena pertimbangan domestik
internal ketimbang kepentingan internasional, yaitu untuk melindungi
kehidupan kelompok minoritas keagamaan (mazhab Ibadi) sekaligus juga menjaga
agar jangan sampai terjadi konflik antara pengikut minoritas Ibadi dan
penganut Sunni yang hidup bersama di wilayah Oman. Pola kedua ditemukan di
Jordania, sebuah negara monarki yang bertetangga langsung dengan wilayah
konflik Jerussalem. Negara ini mengembangkan sikap dan budaya toleransi
khususnya sejak peristiwa 9/11 yang melahirkan agenda global war on terror.
Sebelum itu, toleransi atau moderasi beragama tidak dikenal di Jordania
sebagai kebijakan resmi negara. Tak pelak, Jordania lebih mengutamakan
pertimbangan audiens global daripada kepentingan merespons persoalan lokal. Mungkin karena hal inilah
maka kerap terjadi inkonsistensi dan pertentangan antara pemahaman individu
(baik di kalangan elite ataupun warga masyarakat) dan konsep resmi negara
tentang Islam moderat. Pada satu sisi, negara mengadvokasi pemahaman Islam
moderat sebagai the true Islam. Namun, pada sisi lain, berbagai lapisan elite
masyarakat mengkritik kebijakan negara terkait moderasi beragama. Paham Islam
moderat yang digulirkan akhirnya tidak jelas bentuknya sehingga melemahkan
legitimasi Jordania sendiri sebagai negara yang mempromosikan kebijakan
moderasi beragama. Pola ketiga dijumpai di Maroko.
Kerajaan di Afrika Utara ini mengembangkan kebijakan mengusung toleransi
sejak merdeka dari Perancis pada 1956. Dibandingkan Oman dan Jordania dalam
kebijakan moderasi beragama, Maroko berada di antara kedua negara tersebut.
Maksudnya, Maroko memberi perhatian cukup seimbang antara kebutuhan
mewujudkan kehidupan keberagamaan toleran dalam negeri dan kepentingan
membangun reputasi luar negeri sebagai negara yang didominasi oleh paham
Islam moderat. Berbeda dari kebijakan
moderasi beragama di Jordania yang kurang mendapat sokongan penuh bahkan dari
kalangan pemimpin keagamaan sendiri, di Maroko keadaannya bertolak belakang.
Pemimpin keagamaan Maroko memberi dukungan pada berbagai program strategis
pemerintah dalam menangkal ancaman sikap ekstrem dan aksi kekerasan di dalam
negeri. Mereka memandang program itu sebagai prestasi sekaligus prestise bagi
Maroko di pentas global dan karena itu merasa bangga berperan serta
mempromosikan Islam moderat demi kejayaan dan keselamatan kerajaan Maroko. Salah satu bentuk
partisipasi itu melalui perumusan konsep moderasi beragama yang bertumpu pada
usaha melindungi apa yang disebut sebagai ”keamanan spiritual” (al-’amn
al-ruhiy). Konsep moderasi beragama semacam ini berhasil membentengi Maroko
dari pengaruh paham keagamaan radikal dan ekstrem dari negara tetangga di
Timur Tengah. Petikan
pelajaran Apa pelajaran yang dapat
dipetik dari pengalaman ketiga negara Muslim itu? Mungkinkah ada rekomendasi
relevan bagi konteks Indonesia? Sedikitnya ada tiga hal. Pertama, berkaca
dari pengalaman Oman, berbagai kelompok kecil minoritas agama di Indonesia
patut menjadi perhatian utama dalam pengembangan sikap moderasi beragama. Kedua, menimbang
pengalaman Jordania, konsistensi dalam pelaksanaan moderasi beragama wajib
diwujudkan khususnya di kalangan para penyelenggara negara dari level
nasional hingga lokal. Ketiga, mengacu pada pengalaman Maroko, keberhasilan
moderasi beragama ditentukan salah satunya melalui apresiasi dan akomodasi
khazanah kearifan lokal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar