Minggu, 13 Juni 2021

 

Berkaca dari Moderasi Beragama di Mancanegara

M Arskal Salim GP ;  Kepala Puslitbang Lektur Balitbangdiklat Kementerian Agama RI

KOMPAS, 11 Juni 2021

 

 

                                                           

Mengantisipasi tantangan radikalisme dan terorisme yang merebak dewasa ini, sejumlah negara Muslim merespons dengan menggencarkan program penyebarluasan paham moderasi beragama. Respons itu tidak sekadar untuk mengirim pesan ke dunia internasional bahwa negara tersebut bukanlah sarang kelompok radikal teroris, tetapi juga untuk mencegah meluasnya aktivitas bertalian dengan radikalisme dan terorisme dalam negeri.

 

Tiga pola ”official” Islam

 

Seorang peneliti Timur Tengah dari Quincy Institute Amerika Serikat, Annele Sheline, mengungkapkan tiga pola kebijakan moderasi beragama di negara-negara Muslim. Sheline (2021) menggunakan istilah the resonance of official Islam untuk menggambarkan fenomena tersebut. Penggunaan istilah official Islam yang secara literal berarti Islam resmi mungkin agak ganjil. Namun, istilah tersebut setidaknya mewakili realitas.

 

Menurut Sheline, pengertian official Islam mencakup serangkaian kebijakan negara yang secara eksplisit menjadikan tema-tema keislaman dan kegiatan-kegiatan keagamaan (seperti ibadah ritual, pendidikan madrasah, dan fatwa) ataupun kelembagaan pendidikan tinggi sebagai medium pertahanan menghadapi ancaman paham radikalisme dan terorisme. Ringkasnya, official Islam tak lain adalah kebijakan moderasi beragama.

 

Ketiga pola official Islam di negara-negara Muslim itu diamati dari sejauh mana kebijakan promosi sikap moderasi beragama terwujud resonansinya, baik dalam memperkuat sikap toleran dan komitmen kebangsaan tiap warga negara maupun dalam membangun reputasi positif di mata dunia internasional sebagai negara yang efektif mencegah radikalisme dan memberantas terorisme.

 

Pola pertama terjadi di Oman, sebuah negara kesultanan Arab di kawasan Teluk. Negara yang satu-satunya memiliki penduduk Muslim minoritas bermazhab Ibadi (bagian dari aliran Khawarij yang masih survive) ini sejak lama telah aktif mengembangkan sikap dan budaya toleransi yang kuat.

 

Kesultanan Oman mempromosikan Islam moderat lebih banyak karena pertimbangan domestik internal ketimbang kepentingan internasional, yaitu untuk melindungi kehidupan kelompok minoritas keagamaan (mazhab Ibadi) sekaligus juga menjaga agar jangan sampai terjadi konflik antara pengikut minoritas Ibadi dan penganut Sunni yang hidup bersama di wilayah Oman.

 

Pola kedua ditemukan di Jordania, sebuah negara monarki yang bertetangga langsung dengan wilayah konflik Jerussalem. Negara ini mengembangkan sikap dan budaya toleransi khususnya sejak peristiwa 9/11 yang melahirkan agenda global war on terror. Sebelum itu, toleransi atau moderasi beragama tidak dikenal di Jordania sebagai kebijakan resmi negara. Tak pelak, Jordania lebih mengutamakan pertimbangan audiens global daripada kepentingan merespons persoalan lokal.

 

Mungkin karena hal inilah maka kerap terjadi inkonsistensi dan pertentangan antara pemahaman individu (baik di kalangan elite ataupun warga masyarakat) dan konsep resmi negara tentang Islam moderat. Pada satu sisi, negara mengadvokasi pemahaman Islam moderat sebagai the true Islam. Namun, pada sisi lain, berbagai lapisan elite masyarakat mengkritik kebijakan negara terkait moderasi beragama. Paham Islam moderat yang digulirkan akhirnya tidak jelas bentuknya sehingga melemahkan legitimasi Jordania sendiri sebagai negara yang mempromosikan kebijakan moderasi beragama.

 

Pola ketiga dijumpai di Maroko. Kerajaan di Afrika Utara ini mengembangkan kebijakan mengusung toleransi sejak merdeka dari Perancis pada 1956. Dibandingkan Oman dan Jordania dalam kebijakan moderasi beragama, Maroko berada di antara kedua negara tersebut. Maksudnya, Maroko memberi perhatian cukup seimbang antara kebutuhan mewujudkan kehidupan keberagamaan toleran dalam negeri dan kepentingan membangun reputasi luar negeri sebagai negara yang didominasi oleh paham Islam moderat.

 

Berbeda dari kebijakan moderasi beragama di Jordania yang kurang mendapat sokongan penuh bahkan dari kalangan pemimpin keagamaan sendiri, di Maroko keadaannya bertolak belakang. Pemimpin keagamaan Maroko memberi dukungan pada berbagai program strategis pemerintah dalam menangkal ancaman sikap ekstrem dan aksi kekerasan di dalam negeri. Mereka memandang program itu sebagai prestasi sekaligus prestise bagi Maroko di pentas global dan karena itu merasa bangga berperan serta mempromosikan Islam moderat demi kejayaan dan keselamatan kerajaan Maroko.

 

Salah satu bentuk partisipasi itu melalui perumusan konsep moderasi beragama yang bertumpu pada usaha melindungi apa yang disebut sebagai ”keamanan spiritual” (al-’amn al-ruhiy). Konsep moderasi beragama semacam ini berhasil membentengi Maroko dari pengaruh paham keagamaan radikal dan ekstrem dari negara tetangga di Timur Tengah.

 

Petikan pelajaran

 

Apa pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman ketiga negara Muslim itu? Mungkinkah ada rekomendasi relevan bagi konteks Indonesia? Sedikitnya ada tiga hal. Pertama, berkaca dari pengalaman Oman, berbagai kelompok kecil minoritas agama di Indonesia patut menjadi perhatian utama dalam pengembangan sikap moderasi beragama.

 

Kedua, menimbang pengalaman Jordania, konsistensi dalam pelaksanaan moderasi beragama wajib diwujudkan khususnya di kalangan para penyelenggara negara dari level nasional hingga lokal. Ketiga, mengacu pada pengalaman Maroko, keberhasilan moderasi beragama ditentukan salah satunya melalui apresiasi dan akomodasi khazanah kearifan lokal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar