Selasa, 29 Juni 2021

 

Pemburu Kekuasaan dan Kerakusan

Zuly Qodir ;  Sosiolog, Ketua Program Doktor Politik Islam UMY

KOMPAS, 27 Juni 2021

 

 

                                                           

Telah lama kekuasaan diperebutkan. Bahkan, demi kekuasaan, orang rela mati menumpahkan darah sahabat-sahabatnya. Mereka berebut tidak kenal waktu, siang maupun malam bagaikan seekor musang. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan era Orde Baru, pernah berujar pada 2014, ”Malam masih menyelimuti kita. Namun, musang berbulu ayam sudah berkeliaran.”

 

Ini kiasan yang sangat dalam bagi para pengejar dan pemuja kekuasaan. Mereka telah bergerak merangsek mengatur segala strategi untuk merebutnya, ketika orang lain masih terlelap dalam mimpi. Kebiasaan seperti itu oleh Menteri Daoed Joesoef dikatakan sebagai tabiat para pengejar kuasa, tampaknya lembut namun beringas, sebab khawatir tidak mendapatkan posisi yang diinginkan sejak semula. Namun, pada komunikasi publik, menampakkan dirinya seakan tidak akan merebut kekuasaan tersebut. Tampak alim, santun, sopan, dan merendah. Seakan-akan hendak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan kesempatan atau melanjutkan apa yang telah diukirnya.

 

Tetapi itulah, para pemburu kekuasaan tidak akan berhenti bergerak dengan berbagai rencana (busuk sekalipun). Membunuh sahabat, kawan dekat, bahkan sanak saudara pun tidak segan dilakukan. Yang terpenting, hasratnya tercapai dengan segala upaya. Namun, sekali lagi, publik tidak mampu membacanya karena dilakukan dengan cara-cara yang tampak simpati, lembut, serta memberikan simpati pada mereka yang diajak bicara.

 

Musang berbulu ayam

 

Kayu yang ada di dalam sungai tidak akan pernah menjadi buaya. Begitu pun buaya di sungai tidak akan pernah berubah menjadi kayu. Kayu tetaplah kayu. Buaya tetaplah buaya. Tidak akan terjadi metamorfosa di antara keduanya. Kayu dapat tampak seperti buaya. Demikian pula buaya dapat tampak seperti kayu. Namun, sifat kayu dan buaya tidak akan terjadi perubahan. Inilah yang dikatakan tabiat, karakter, sehingga sampai kapan pun dinyatakan sulit terjadi perubahan. Sifat bengis tetap ada pada buaya, serigala, dan musang. Sifat lembut dan jinak akan tetap ada pada ayam dan domba.

 

Musang, sebagai binatang, merupakan binatang pemangsa yang ganas. Ayam, itik, kelinci, bahkan kucing dan tikus saja akan dimangsa jika dianggap berbahaya atas dirinya. Bahkan, tidak saja karena dianggap membahayakan si musang, jika musang merasa perlu untuk memangsa, maka dengan sigap si musang akan memangsa dengan geram. Inilah perilaku musang, sebagai binatang buas, haus memangsa siapa pun yang berada di hadapannya.

 

Ibarat yang sering dijadikan padanan adalah serigala berbulu domba. Serigala merupakan binatang sangat buas. Pemangsa binatang berdarah dingin. Tanpa ampun akan memangsa siapa pun yang berada di depannya. Tidak perlu menjadi musuh serigala, binatang apa saja akan dienyahkan dari hadapannya, apalagi jika dianggap membahayakan dirinya. Inilah perilaku serigala dengan sikap kasar, keras, dan bengis, namun tampak lemah lembut karena mempergunakan bulu domba.

 

Ayam dan domba sebaliknya, merupakan binatang ternak yang sangat disenangi manusia. Ayam banyak manfaat bagi manusia. Bulunya, kokoknya membangunkan dari tidur pulas, dagingnya ataupun telurnya mengandung protein. Domba, demikian pula, ternak yang jinak. Sangat bermanfaat bagi petani. Pupuknya, anaknya, kulitnya, dagingnya, dan kepalanya. Semuanya bermanfaat untuk manusia. Hampir tidak ada manusia yang ketakutan dengan ayam ataupun domba sebagai binatang piaraan.

 

Namun, mengapa kiasan tentang musang berbulu ayam dan serigala berbulu domba menjadi sangat populer dalam kosakata di negeri ini. Oleh sebab, perilaku para pemburu kekuasaan yang rakus tidak pernah hilang di negeri ini.

 

Di kampus, di partai politik, di lembaga pemerintah, kementerian, ataupun lembaga swasta selalu muncul orang-orang yang berpura-pura baik, santun, lemah lembut, sederhana, tawadhu, tidak membutuhkan puja-puji dari sesama, dan tidak menghendaki kekuasaan. Padahal, sejatinya orang tersebut memiliki hasrat yang sangat kuat dalam merebut dan memelihara kekuasaan yang telah diraih dan dimiliki.

 

Kekuasaan yang telah didapatkan akan dipertahankan dan terus direbut dengan segala metode, namun tidak menampakkan dirinya bahwa dialah sang pemuja kekuasaan. Bahkan, jika diperlukan, akan membuat cerita bahwa orang lain yang sebenarnya haus kekuasaan, dengan menjelekkan dirinya. Memfitnah dirinya sehingga orang simpati padanya.

 

Perilaku kasar, bengis dan urik, tidak jujur ditutup dengan berbagai drama agar yang lain melihatnya sebagai sesuatu yang normal. Seakan tidak ada anomali dan keserakahan di sana. Semua itu dibungkus oleh perilaku ayam dan kambing yang memang santun, lemah lembut dan asli, tidak dibuat-buat.

 

Sungguh kita menghadapi perilaku banyak manusia yang menutup perilakunya dengan topeng-topeng kesederhanaan. Semua topeng ini dalam bahasa agama disebut sebagai perilaku kaum fasik, berbeda antara yang diucapkan dan yang dilakukan. Apa yang di depan kita dengan di belakang kita. Berbeda antara ucapan dan tindakan.

 

Manusia penuh dengan topeng seperti itu sungguh membahayakan kita semua. Namun, perlu diingat pula banyak yang terkesima, termakan dan larut dalam tarian irama manusia bertopeng karena bujuk rayuan, ungkapan, kosakata yang dipergunakan dan gerak-gerik yang lembut. Perilaku kaum fasik oleh agama dianggap sangat berbahaya sebab dapat mencelakakan umat manusia yang lebih banyak. Sekalipun dapat menyelamatkan segelintir orang demi meraih apa yang dikehendakinya.

 

Tuna-nurani dan tuna-etika

 

Tumbuhnya manusia-manusia bertopeng, musang berbulu ayam, dan serigala berbulu domba disebabkan hilangnya nurani yang dimiliki sebagian manusia. Bisikan nurani, yang suci, tertutup oleh ambisi yang terus menyelimuti dalam pikiran, dan hatinya. Dalam bahasa agama, bisikan nurani, sebagai bisikan suci, bisikan ilahi, terempas oleh kuatnya bisikan syaitan yang hendak menjerumuskan dalam kesesatan dan kedhaliman yang nyata. Namun, demi meraih kejayaan semu, popularitas duniawi, serta kemewahan zahir, maka bisikan ilahi tertutup segalanya.

 

Manusia tuna-etika itu lahir sebagai bentuk nyata dari sikap dan perilaku keras kepala yang dimiliki. Dengan demikian, sekalipun telah banyak sahabat, sanak saudara, teman karib, ataupun sesama atasan telah memberikan peringatan, nasihat, dan saran, tetap tidak didengarkan, bahkan semuanya dianggap sebagai penghambat dalam memperjuangkan kemajuan cita-cita.

 

Para penghamba kekuasaan dan rakus tidak akan pernah mendengar apa yang disampaikan orang lain. Orang yang menyampaikan sesuatu secara obyektif sekalipun akan dituduh sebagai cerita bohong tidak sesuai dengan kenyataan.

 

Manusia-manusia tuna-nurani dan tuna-etika dapat juga dikatakan sebagai manusia yang ingin menang sendiri, sekalipun dalam meraih kesuksesan sebenarnya banyak dibantu orang lain. Namun, seakan-akan kesuksesan yang diraih merupakan prestasi yang didapatkan karena perjuangan sendiri yang telah dilakukan selama ini. Inilah sesungguhnya keangkuhan manusia tuna-nurani dan tuna-etika. Mereka beranggapan apa yang telah diputuskan merupakan yang terbaik. Tidak perlu mengoreksi apa yang diputuskan, sekalipun sebagai sebuah keteledoran dan kesalahan.

 

Hal yang paling hebat dari manusia-manusia tuna-nurani dan tuna-etika dalam bertindak adalah menjadikan sahabat, kolega, ataupun teman sejawat mendapatkan posisi di sampingnya. Namun, sejatinya posisi yang diberikan kepada para kolega, sahabat, dan sejawat tersebut hanyalah untuk menutup segala ambisi yang dimilikinya. Semua agenda telah dimiliki tanpa sepengetahuan sahabat, kolega, karib, dan teman sejawat. Agenda-agenda tersembunyi tidak pernah diutarakan kepada sahabatnya. Dipendam sendiri dan hanya akan dikemukakan kepada mereka yang memiliki agenda yang sama, yakni: sesama pemuja kekuasaan serta pencari kuasa. Mereka akan membuat persekongkolan dengan sesama pencari kekuasaan. Inilah sebenarnya kerakusan yang nyata namun tertutup selimut kemunafikan!

 

Para pemuja kekuasaan sebenarnya merupakan manusia yang perilakunya penuh dengan kerakusan duniawi. Namun, karena dibalut dengan sikap sopan, rendah hati, gaya bicara yang renyah, dan penampilan yang seadanya, maka orang lain akan beranggapan itulah sesungguhnya pemimpin yang diharapkan. Padahal, semuanya adalah kepalsuan yang nyata dalam bungkus musang berbulu ayam, serigala berbulu domba. Kerakusan dibungkus dalam kesederhanaan. Kebengisan dibungkus dengan kebajikan. Sungguh berbahaya jika kita terus dikelilingi manusia-manusia demikian. Akan hancurlah peradaban umat manusia.

 

Saat ini kita tengah berada pada situasi di mana para pemuja kekuasaan sangat tampak jelas di hadapan hidung. Mereka berkeliaran siang malam, pagi-sore. Di mana ada kesempatan, manusia haus kekuasaan dan rakus, akan beraksi, menelikung, memfitnah dan berbuat kasar pada mereka yang tidak direstui. Apalagi terhadap mereka yang dianggap sebagai ancaman dalam mendapatkan apa yang dikehendaki. Inilah zaman di mana pemuja dan rakus kekuasaan mendapatkan ruang karena kemunafikan merajai dunia! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar