Selasa, 29 Juni 2021

 

Rasa Budaya ”daripada” Presiden Soeharto

Agus Dermawan T ;  Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden Republik Indonesia

KOMPAS, 27 Juni 2021

 

 

                                                           

Presiden ke-2 RI Soeharto (1921- 2008), 8 Juni 2021, genap ”berusia” 100 tahun. Atas usia keramat pemimpin sekelas Pak Harto, begitu saya selanjutnya memanggil, seharusnya diperingati secara seremonial. Apalagi ketika dirujuk kepada lamanya ia memerintah, 32 tahun.

 

Namun, mungkin karena pandemi Covid-19 masih melanda, atau lantaran memori politik yang diwariskan (masih) dianggap kontroversial dan menciutkan jiwa, atau tersebab keluarga Pak Harto sekarang menerapkan pola hidup darurat, seremoni besar itu tidak ada. Sehingga, yang terselenggara adalah seremoni internal keluarga yang diisi dengan doa-doa dan secercah testimoni sosial politik. Satu-satunya seremoni seni yang saya catat adalah peragaan melukis sosok Pak Harto oleh Ki Joko Wasis di Yogyakarta, yang dilakukan sambil berjalan menyusuri jalan raya.

 

Sementara bersamaan dengan itu di Yogyakarta diselenggarakan pameran Akara yang mengisi ”Juni-Bulan Bung Karno”. Pameran karya 78 perupa ternama ini dibuka oleh Megawati Soekarnoputri dan dihibur nyanyian Krisdayanti. Timbunan gelora Bung Karno atas keheningan seremoni 100 Tahun Pak Harto ini bertambah ketika kantor Kementerian Pertahanan di Jakarta meresmikan monumen Bung Karno berkuda, yang dibikin oleh pematung Dunadi.

 

Ingatan juga mencatat, kadar seremoni 100 Tahun Pak Harto memang sangat berbeda dengan ketika Bung Karno (1901-1970) ”berusia” 100 tahun pada 2001. Kala itu buku-buku baru mengenai Bung Karno diterbitkan, sementara buku lama dicetak kembali. Kompetisi dan pameran seni mengenai Bung Karno tergelar di mana-mana. Baliho dan spanduk kultus Bung Karno terpampang di berbagai kota dan desa. Pemaparan ulang riwayatnya menggelora di puluhan media massa.

 

Tapi dalam keheningan seremoni itu kitab kenangan yang menulis hubungan non politik Pak Harto dan Bung Karno justru dengan serta merta terbuka. Seleret kejadian yang agaknya tidak banyak diketahui orang. Lantaran semua itu berkait dengan khazanah eksklusif: warisan benda seni Bung Karno di Istana Kepresidenan.

 

Pak Harto takut kualat

 

Pak Harto menguasai istana-istana kepresidenan yang ditebari benda seni warisan Bung Karno sejak 1967 hingga 1998. Seperti diakui Pak Harto, sebagai anak petani yang jadi tentara, kesenian relatif jauh dari kehidupannya. Lalu, dengan kenihilan itu, apa yang ia lakukan atas ribuan benda seni di Istana? Jawaban atas itu didapat dari Lim Wasim, pelukis Istana Presiden Sukarno (yang mendampingi Lee Man Fong) sejak 1962.

 

”Pak Harto hanya mewanti-wanti agar Kepala Rumah Tangga Istana Kepresidenan tidak mengubah sebagian besar pajangan di semua Istana. Karena Pak Harto percaya bahwa peletakan benda seni yang dilakukan Bung Karno itu ada perhitungan mistiknya. Pak Harto takut kualat!”

 

Namun, sambung Wasim, di sisi lain Pak Harto malah tidak mempedulikan karya seni yang tidak terpajang. Sehingga ia harus sekuat tenaga menjaga karya-karya seni itu di dalam gudang, sampai dirinya keluar dari Istana pada 1968. Eh, setelah dia keluar, ada laporan bahwa lukisan dan keramik koleksi Bung Karno banyak yang rusak atau bahkan hilang.

 

Tapi Pak Harto tidak seterusnya lengah. Ketika sadar bahwa di Istana ada maling, Pak Harto menganjurkan terbentuknya Sanggar Lukisan Istana Presiden. Institusi ini bertanggungjawab atas semua benda seni di situ. Bila ada yang rusak dan hilang lagi, sanggar itu yang ”digebuk”.

 

Di kemudian hari, menyadari bahwa dirinya masih saja kurang faham seni, Pak Harto lantas memberdayakan potensi Joop Ave untuk mengatur seluruh aspek artistik kompleks Istana Kepresidenan.

 

Dari situ muncul sebuah pertanyaan, jika Pak Harto tidak ingin menaruh selera seninya di dalam Istana, adakah Ibu Negara Tien Soeharto mau menggantikannya? Banyak orang yang berharap ihwal itu, mengingat pada tahun 1943 Ibu Tien pernah menjadi pengurus Keimin Bunka Sidhoso (Lembaga Kebudayaan Jepang) di Solo. Harapan itu ternyata tidak pernah terjawab. Walaupun tidak berarti Ibu Tien tak punya peran.

 

Misalnya, pada suatu kurun sang Ibu Negara menginstruksikan agar aneka lukisan dan patung bertema telanjang warisan Bung Karno diturunkan dari pajangan di semua Istana. Jurus wacana etis ini mengalahkan wacana mistis Bung Karno yang konon dipercayai Pak Harto. Itu sebabnya, selama hampir separuh pemerintahan Presiden Soeharto, puluhan lukisan dan patung nude itu oleh Sanggar Lukisan Istana Presiden ”disekap” dalam ruang tertutup di Istana Bogor.

 

Meskipun penyekapan atau alienasi lukisan-lukisan nude ini pada akhirnya menjadi bagian menarik dari program ”wisata istana”. Petugas istana kadang menawari untuk menonton lukisan-lukisan yang itu. Kadang, para pengunjung, yang mendengar adanya lukisan-lukisan indah itu, yang meminta digiring ke sana.

 

Di dalam ruangan tersebut terpajang puluhan lukisan perempuan cantik, dalam ukuran sedang. Hampir semuanya terbuat dari cat minyak, dan terkemas dengan pigura yang apik dan cocok, dalam gaya realis fotografis. Di situ nampak buah tangan Basoeki Abdullah, Antonio Blanco, Giovanetti, Joan Talwinski, serta sejumlah pelukis potret manca negara, yang semua menunjukkan keahlian yang luar biasa. Yang menyenangkan, lukisan-lukisan ”seronok” itu selalu terpelihara.

 

Keberanian Ibu Tien itu mendorong Pak Harto ikut memindahkan satu (ya, satu saja) lukisan dari tempat asalnya. Lukisan tersebut adalah ”Jenderal Sudirman” karya Yoes Soepadyo, yang dulu sangat disenangi Bung Karno. Lukisan ini lantas dipajang di Ruang Jepara, ruang besar untuk menerima tamu-tamu negara.

 

Konon hasrat Pak Harto memindahkan lukisan tersebut berangkat dari penghormatan yang sifatnya historikal. Jenderal Sudirman adalah komandannya pada era revolusi di Jawa Tengah. Lalu, ingat enggak, setiap kali televisi menyiarkan pertemuan Pak Harto dan tamunya, ”Jenderal Sudirman” selalu tampak menemaninya.

 

Dua museum warisan Pak Harto

 

Warisan lain dari Pak Harto yang layak diperhatikan adalah Museum Graha Lukisan dan Museum Purna Bhakti Pertiwi, yang semua terletak di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

 

Pada April 1997 keluarga Pak Harto membuka Museum Graha Lukisan. Dinamakan demikian lantaran yang dipajang di situ hampir semua lukisan. Graha Lukisan yang memiliki luas ruang pamer 6.580 meter persegi memajang lukisan Affandi, Bagong Kussudiardja, But Muchtar, Antonio Blanco, Huang Fong, Wayan Asta, sampai Lucia Hartini. Lukisan Srihadi Soedarsono dalam beberapa tema ada di situ. Lukisan WG Hofker dari Belanda, Berber dari Bosnia, Li Shuji dari Tiongkok, sampai Siew Hock Meng dari Singapura juga ter-display dengan mentereng.

 

Sebagian dari ratusan lukisan itu tentulah dibeli sendiri oleh keluarga “daripada” Pak Harto. Namun tidak sedikit yang merupakan pemberian dari famili, sahabat, dan handai taulan.

 

Yang mengejutkan, di antara jajaran lukisan muncul seri litografi karya Pablo Picasso yang menggambarkan faset-faset lukisan ”Guernica” yang mashur itu. Serenteng karya limited edition tersebut merupakan hadiah Raja Spanyol Juan Carlos kepada Ibu Tien Soeharto. Syahdan, litografi ini pernah ketlingsut bertahun-tahun dalam kopor di rumah Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta, sampai kemudian diketemukan oleh Mbak Titiek (Siti Hediati Hariyadi). Maka begitu diketemukan, litografi ”Guernica” pun dieman-eman betul, dan dijadikan ikon Graha Lukisan.

 

Museum Purna Bhakti Pertiwi yang diresmikan pada 1993, luasnya tiga kali lebih besar dari Museum Graha Lukisan. Museum ini memajang ratusan cenderamata koleksi Pak Harto, dari yang berkualitas biasa sampai yang luar biasa, yang didapat pada kala Pak Harto menjadi pemimpin rakyat sejak 1967.

 

Dalam kelindan 100 Tahun Pak Harto, saya lantas teringat apa yang dikatakan oleh Sampurno, Direktur Taman Mini Indonesia Indah yang pernah menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan. ”Dua museum ini, Purna Bhakti Pertiwi dan Graha Lukisan, adalah buah dari kerja diplomatik yang semestinya dihibahkan kepada rakyat sebagai warisan nonpolitik.” ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar