Rabu, 16 Juni 2021

 

Pertahankan Ruang Inklusif Bangsa

Bambang Purwanto ;  Staf Pengajar Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM

KOMPAS, 16 Juni 2021

 

 

                                                           

Hari kebangkitan nasional dan hari lahir Pancasila yang merepresentasi ruang inklusif bangsa baru saja selesai dirayakan. Apa makna dari perayaan itu bagi kehidupan kebangsaan Indonesia sepanjang satu tahun yang akan dijalani, sampai momentum datang kembali di tahun depan?

 

Sejak reformasi dan berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto, bangsa ini terus bergerak ke arah eksklusivitas.

 

Satu fenomena yang tidak hanya dilupakan, melainkan juga dimungkiri keberadaannya. Pancasila yang seharusnya menjadi “jembatan untuk segala perbedaan”, terus dipinggirkan dan tidak lagi dianggap memiliki kesaktian. Sebaliknya, Pancasila diposisikan sebagai ancaman bagi usaha untuk terus membangun eksklusivitas diri.

 

Keberadaan ruang inklusif bangsa yang diwarisi dari proses panjang pergerakan kebangsaan Indonesia menghadapi penjajahan, terus terkikis dan hanya sedikit yang tersisa. Bahkan di era reformasi yang selalu dicitrakan berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya, beberapa upaya politis yang dilakukan hanya berakhir menjadi proyek, gengsi, dan jargon politik para elite, yang tidak memiliki efektivitas nyata untuk melawan kecenderungan proses eksklusivitas yang terus menguat. Para elite politik hanya sibuk memproduksi dan mereproduksi slogan, “bersama kita bisa” yang ketinggalan Indonesia, “partai setan” dengan asumsi pihak seberang tidak bertuhan, “revolusi mental” tanpa perubahan, dan “petugas partai” yang melupakan hak rakyat sebagai warga negara.

 

Belajar dari keseharian masa lalu

 

Lebih dari setengah abad yang lalu di awal Orde Baru, di wilayah perkotaan dimana masyarakatnya sejak lama mempraktikkan prinsip Fan Ngin Thong Ngin jit jong - Melayu dan Tionghoa sama saja itu, terdapat memori sosial tentang anak-anak Tionghoa beragama Buddha dan Khonghucu yang menjalani pendidikan dasar mereka di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) berbasis agama Islam.

 

Biarpun tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anak-anak Tionghoa yang menyelesaikan pendidikan dasar di MIN, satu hal yang pasti bahwa mereka tetap bertahan pada keyakinan yang diwarisi dari keluarganya ketika tumbuh dewasa, biarpun mereka dididik dalam payung besar tradisi agama lain pada awal pembentukan identitas diri..

 

Ada beberapa penjelasan mengapa keluarga Tionghoa itu menyekolahkan anak-anak mereka ke MIN, padahal mereka tidak beragama Islam. Pertama, romantisme masa lalu. Lokasi dimana MIN berada, dahulunya merupakan sekolah Tionghoa, yang kemudian dilarang oleh rezim Orde Baru. Seluruh bangunannya kemudian difungsikan sebagai kompleks pendidikan, dimana terdapat beberapa sekolah dasar sampai menengah atas, baik swasta maupun negeri.

 

Kedua, alasan praktis, karena lokasi rumah keluarga mereka tidak jauh dari MIN. Ketiga, para orang tua itu tidak mengerti atau tidak peduli, yang penting anak mereka bersekolah. Keempat, ada kesadaran pada diri orang tua para siswa tersebut untuk sejak awal memberi dasar kepada anak-anak mereka tentang arti keberagaman, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa.

 

Merujuk pada kenyataan bahwa kompleks dimana MIN berada terdapat juga lembaga pendidikan dasar negeri lainnya dan juga karir politik keluarga besar dari para siswa tersebut di kemudian hari, alasan terakhir nampaknya yang paling kuat. Sebuah kesadaran bahwa fitra keberagaman sebagai modal mengarungi masa depan sudah terbentuk, ketika mereka memutuskan untuk menjadi Indonesia dan menolak kesempatan kembali ke negeri leluhur.

 

Padahal, sebagian besar dari mereka berstatus tidak memiliki bukti kewarganegaraan apapun. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan dan birokrasi yang rumit serta korup, mewujudkan keinginan untuk memiliki surat tanda kewarganegaraan Indonesia bukan perkara yang mudah. Ketika secara resmi telah memiliki kewarganegaraan Indonesia, mereka juga tetap harus menanggung stigmatisasi oleh negara sebagai warga negara Indonesia keturunan.

 

Akibatnya, konsep WNI bukan bermakna sebagai status kewarganegaraan untuk semua orang yang berwarganegara Indonesia. Melainkan surat identitas diri yang bersifat eksklusif yang dipersyaratkan untuk mereka yang secara genealogis merupakan Tionghoa melalui selembar sertifikat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), sampai ketentuan itu akhirnya dicabut melalui Keppres No. 56/1996. Biarpun begitu, para pemilik SBKRI bersama para stateless yang jumlahnya masih sangat banyak di wilayah tersebut pada saat itu, memutuskan untuk tetap bertahan menjadi Indonesia.

 

Para orang tua itu sangat sadar bahwa diskriminasi hanya dilakukan oleh negara, bukan oleh masyarakat dengan siapa pendahulu mereka telah menjalani kehidupan sehari-hari secara damai tanpa prasangka sejak lebih dari satu abad sebelumnya. Bahkan para pendahulu itu telah membangun hubungan simbiotis dengan masyarakat tempatan dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda pada pertengahan abad ke-19, dipimpin oleh seorang tokoh tempatan yang di kemudian hari ditetapkan sebagai pahlawan nasional dari pulau tersebut.

 

Cara berpikir positif itu bersambut dengan sikap masyarakat tempatan, yang juga menyadari tentang arti penting dari hidup damai dalam keberagaman. Oleh karena itu tidak mengherankan ketika kelenteng Konghucu atau Tri Dharma mengadakan pameran tahunan dalam rangka sembahyang rebut atau festival Tiong Goan pada pertengahan bulan 7 penanggalan imlek, para orang tua dari keluarga Melayu tidak pernah segan bersama anak-anak mereka menikmati keramaian di dalam kelenteng yang gemerlap dengan hiasan lampu warna warni dan lilin besar kecil.

 

Bau dan kepulan asap hio tidak mengurangi antusiasme para keluarga Melayu itu untuk mendapatkan informasi tentang Tionghoa yang dipamerkan. Sementara itu di luar, patung-patung hantu yang akan dibakar beserta panggung-panggung yang dipenuhi berbagai sesajian yang akan diperebutkan pada saat yang telah ditentukan, menjadi pemandangan lain yang dinikmati para pengunjung dari berbagai etnik dan agama. Dalam semua kegiatan, beberapa orang tua maupun para murid sekolah MIN tadi terlihat aktif menyukseskan acara tersebut.

 

Keprihatinan yang berlanjut

 

Di era Reformasi, anak-anak Tionghoa di wilayah perkotaan yang sebelumnya semakin banyak menempuh pendidikan di sekolah negeri, mulai kembali mengelompok di lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta dengan identitas primordial yang kuat. Pada saat yang sama, pengelompokan yang didasarkan ikatan primordial juga dilakukan kelompok lainnya.

 

Di sisi lain, sekolah negeri berubah menjadi ruang hegemonik tertentu. Sementara itu, perantauan intelektual dan ekonomi yang dilakukan semua komunitas, memutuskan mereka dari kearifan yang sebelumnya mampu berfungsi sebagai perekat, digantikan oleh nilai dan mentalitas eksklusif yang tidak menghargai perbedaan.

 

Perubahan sosial yang terjadi pada semua kelompok sosial di dalam masyarakat, juga menciptakan realitas lain yang menjauh dari identitas diri yang terbentuk dari sejarah lebih dari seratus tahun sebelumnya. Mobilitas baik secara vertikal maupun horizontal menghadirkan individu dan kelompok sosial yang berbeda dari sebelumnya, ketika generasi baru masing-masing pihak terus membangun kesadaran tentang perbedaan yang tegas antara kita dengan mereka.

 

Marginalisasi keagamaan dan sosial yang dihadapi komunitas Tionghoa, sering “memaksa” mereka mencari identitas alternatif. Di masa sebelumnya ketika perubahan nama dan konversi keagamaan yang menyertai naturalisasi sosiologis melalui pengadopsian anak-anak, proses yang dijalani menghasilkan figur-figur yang berfungsi sebagai jembatan antara dua kelompok yang berbeda ketika mereka tumbuh dewasa, karena tidak adanya beban psikologis di belakangnya.

 

Di masa kemudian ketika konversi agama terjadi pada pribadi dewasa, proses yang berlangsung membawa serta emosi personal dan kelompok, yang bermuara pada tumbuh kembangnya ketidakpercayaan dan sikap saling curiga diantara para pihak yang berbeda.

 

Menunggu kesadaran negara

 

Keadaan menjadi semakin memprihatinkan, ketika dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat persemaian dan tumbuhnya inklusivitas dalam bingkai keindonesian, ternyata secara umum menjadi agensi utama yang memproduksi ruang eksklusif. Para peserta didik hanya mengenal perbedaan dan Indonesia pada buku teks, ruang kelas, atau gawai mereka, bukan dalam pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Sementara itu para elite politik terus mengeksploitasi eksklusivitas sebagai komoditi, baik untuk kepentingan personal maupun kelompok.

 

Di tengah-tengah keadaan tersebut, rezim terkini hadir dengan konsep “merdeka belajar” dalam bidang pendidikan, ditambah “kampus merdeka” untuk pendidikan tinggi. Ide yang seharusnya baik tersebut dengan cepat berubah menjadi hiasan bibir, ketika para birokrat dan kelompok kepentingan lainnya menggunakannya untuk menyenangkan rezim dan bahkan mendapatkan keuntungan pribadi. Kata kunci merdeka lebih dipahami sebagai prinsip liberal, yang bermuara pada hak peserta didik “menggunakan metode belajar yang cocok”, tanpa menyadari biaya sosio-kultural, politik, dan ekonomi mahal yang harus dibayar.

 

Padahal hampir seratus tahun yang lalu, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara telah berhasil menyelenggarakan proses pendidikan yang memerdekakan. Ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan perguruan Taman Siswa sebagai sekolah liar, para lulusannya tidak hanya memiliki berbagai keterampilan yang mengoptimalkan otak kiri dan otak kanan melainkan juga menyelaraskannya dengan hati nurani, dimana akal budi bersatu menghasilkan manusia Indonesia mandiri yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan.

 

Para lulusan tidak hanya dibekali keterampilan dan intelektualitas, melainkan juga mentalitas, spiritualitas, dan kebudayaan bangsa yang siap menghadapi tantangan global masa depan secara mandiri tanpa eksklusivitas. Jika para elite benar-benar memiliki kesadaran sejarah bahwa Ki Hadjar Dewantara sebagai inspirator, mengapa negara tidak mencari inspirasi secara holistik tentang merdeka belajar dari pengalaman yang telah lama dipraktikkan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menghadirkan revolusi mental tanpa kehilangan ruang inklusif bangsa dan pemborosan anggaran? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar