1.700
Triliun untuk Pertahanan Al Araf ; Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra
Initiative |
KOMPAS, 22 Juni 2021
Kementerian Pertahanan
sedang merancang anggaran untuk sektor pertahanan dalam rangka modernisasi
persenjataan hingga 2024 sebesar sekitar Rp 1.700 triliun. Rencana itu
terdapat dalam rancangan Perpres tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Pertahanan
dan Kemanan (alpalhankam) yang sedang disusun Kemhan. Anggaran berasal dari
utang luar negeri, rencananya untuk akuisisi alpalhankam, biaya pemeliharaan
dan perawatan, biaya bunga selama lima periode renstra, dan dana kontingensi. Rencana ini menimbulkan
polemik dan kontroversi di masyarakat. Ekonom senior Indef, Didik J Rachbini
menilai kebutuhan anggaran untuk pertahanan yang mencapai ribuan triliun itu
di luar kepantasan. Selain itu, momentumnya juga salah karena Indonesia
sedang mengalami krisis Covid-19. Pada prinsipnya,
peningkatan ataupun pengurangan anggaran untuk sektor pertahanan itu bukan
berada dalam ruang yang kosong. Naik atau turunnya
anggaran sangat terkait dengan pertimbangan dan penilaian rasional terhadap
beberapa aspek: visi, orientasi, dan kebijakan pertahanan; doktrin; kondisi
sosial dan ekonomi; realitas ancaman dan dinamika lingkungan strategis yang
berkembang; kapabilitas pertahanan serta transparansi dan akuntabilitas dalam
modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista). Dalam konteks itu, apakah
peningkatan anggaran pertahanan hingga Rp.1700 triliun tepat dilakukan saat
ini? Perencanaan Pengalokasian anggaran
untuk pertahanan salah satunya ditujukan untuk memperkuat persenjataan.
Pengadaan alutsista sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan
pertahanan Indonesia memang sangat penting dan diperlukan. Kondisi alutsista
di Indonesia berdasarkan buku postur kebijakan pertahanan yang dibuat
Kemenhan memang jauh dari ideal. Namun, upaya modernisasi
alutsista perlu dilakukan dengan perencanaan pertahanan yang matang (defence
planning) dan tak bisa dilakukan hanya dalam satu malam atau satu tahun.
Upaya ini membutuhkan dana yang besar, sehingga perlu perencanaan yang
sistematis, terukur dan bertahap sehingga pemerintah perlu membuat program
jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam modernisasi alutsista di
Indonesia. Rencana modernisasi
alutsista sebenarnya sudah disusun sejak 2009 melalui program MEF (Minimum
Essential Force). Pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 150 triliun untuk MEF
selama lima tahun 2009-2014. Pada 2014-2019, Kemhan melanjutkan program
modernisasi itu dengan rencana anggaran yang hampir sama untuk lima tahun. Dengan demikian,
seharusnya Kemenhan tak perlu membuat jalan baru melalui peningkatan anggaran
pertahanan hingga Rp 1.700 triliun sampai 2024. Pemerintah semestinya tetap
dapat memodernisasi alutsista dengan rencana anggaran pertahanan seperti
sebelumnya sebesar 150 triliun untuk lima tahun. Jikapun ada keinginan
meningkatkan anggaran hingga 2024, angkanya semestinya tak sampai Rp 1.700
triliun. Angka sebesar itu pada saat ini terlalu berlebihan dan tidak tepat. Selain kebutuhan untuk
fokus dalam mengatasi krisis kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-9 dan
upaya pemulihan ekonomi, anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri
akan kian memperberat beban utang Indonesia yang saat ini mencapai Rp
6.445,07 triliun. Peningkatan anggaran
sektor pertahanan yang berlebihan di tengah situasi pandemi diduga memiliki
dimensi politis. Jangan sampai peningkatan anggaran sektor pertahanan ini
terkait dengan kepentingan politik pemenangan kontestasi Pemilu 2024 yang
butuh biaya politik besar. Sengkarut
alutsista Problem modernisasi
alutsista selama ini masalahnya tidak hanya terkait dengan besarnya anggaran.
Salah satu hal utama yang paling bermasalah dalam modernisasi alutsista
adalah transparansi dan akuntabilitas dalam penganggaran, yang sering kali
membuka potensi korupsi. Tanpa adanya transparansi
dan akuntabilitas, sama saja dengan memberi cek kosong pada elite politik
untuk melakukan penyalahgunaan anggaran. Sampai saat ini Kemenhan masih
memiliki masalah serius terkait transparansi dan akuntabilitas dan sering
berlindung dalam tameng rahasia negara untuk menutupi penyimpangan yang
terjadi. Transparansi dan
akuntabilitias dalam sektor pertahanan hanya akan terwujud jika pemerintah
melakukan proses reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31 Tahun
1997 yang menegaskan bahwa militer tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum
jika terlibat dalam tindak pidana umum. Tanpa itu, modernisasi alutsista
selalu dibayang-bayangi dugaan praktik korupsi. Selain itu, kendati
ketentuan pengadaan alutsista telah mensyaratkan untuk tak melibatkan pihak
ketiga (broker), dalam kenyataannya keterlibatan pihak ketiga masih terjadi.
Dalam beberapa kasus, dugaan penggelembungan (mark-up) yang merugikan
keuangan negara juga muncul. Problem modernisasi
alutsista berikutnya adalah tak adanya skala prioritas oleh Kemhan dalam
membuat perencanaan pertahanan serta tak konsisten dalam melanjutkan dan
mengimplementasikan rencana yang sudah dibuat. Kemhan seharusnya fokus untuk
memperkuat komponen utamanya, dalam hal ini TNI, dalam membangun kekuatan
pertahanan. Faktanya, Kemhan justru
membuat program-program yang tak relevan dengan komponen utamanya, seperti
pembentukan komponen cadangan, program cetak sawah, komponen cadangan
logistik strategis dan program-program lainnya yang tak relevan dengan fungsi
TNI sebagai alat pertahanan negara. Program komponen cadangan
itu diperkirakan akan menghabiskan anggaran pertahanan sebesar satu triliun
rupiah setiap tahunnya. Padahal, seharusnya anggaran ini bisa untuk membangun
rumah dinas prajurit. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar