Keadilan
Sosial dalam Pembiayaan Pendidikan Anita Lie ; Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya |
KOMPAS, 21 Juni 2021
”Setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan”. Demikian bunyi Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945.
Sejak kemerdekaan Indonesia, negara sudah berupaya memenuhi kewajiban
menyediakan layanan dasar pendidikan bagi semua anak secara bertahap.
Berbagai kebijakan dalam beberapa periode pemerintahan menggerakkan
peningkatan akses terhadap pendidikan dasar. Sejak awal 2000-an,
penambahan anggaran pendidikan telah meningkatkan angka partisipasi sekolah
sampai 31 persen melalui penambahan 10 juta siswa sekolah dasar dan menengah
(Bank Dunia, The Promise of Education, 2020). Di balik berbagai capaian
ini, pendidikan di Indonesia dinilai masih membutuhkan banyak perbaikan.
Lamanya belajar di sekolah tak sama dengan capaian kemampuan belajar.
Walaupun rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, kemampuan
rata-ratanya hanya setara dengan belajar 7,8 tahun (Human Capital Index,
2020). Di tengah gambaran ini,
kebocoran RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memicu
polemik terkait rencana Pajak Penambahan Nilai (PPN) atas jasa pendidikan.
Isu keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan jadi salah satu tantangan
berat untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan bermutu bagi semua anak
Indonesia. Artikel ini menyoroti disparitas layanan pendidikan dan harapan
terhadap perwujudan nilai keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan. Kesenjangan
pendidikan Keterbelahan digital
(digital divide) makin tampak nyata selama masa pandemi Covid-19. Berbagai
survei menemukan mayoritas siswa menyatakan tak ada interaksi yang dilakukan
guru selama kegiatan belajar dari rumah di tengah pandemi. Penelitian kami secara
mendalam menggali pengalaman dan perspektif guru di empat provinsi menemukan
ada spektrum yang sangat variatif dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh
(PJJ) selama pandemi (Lie dkk, PDUPT, Kemenristek-BRIN, 2020). Ada guru yang sudah
terampil menggunakan sistem kelola pembelajaran (learning management system)
beserta dengan perangkat konferensi audio-video dan saluran komunikasi.
Bahkan, selama 2,5 semester masa PJJ, ada akselerasi sebagian kecil guru
dalam penguasaan teknologi PJJ. Sebagian masih
mengandalkan buku paket yang dibawa siswa pulang dan saluran komunikasi,
seperti Whatsapp dan Line, yang sebenarnya tergolong primitif untuk keperluan
PJJ, tetapi menjadi satu-satunya pilihan karena keterbatasan infrastruktur. Lebih parah lagi, beberapa
guru mengakui PJJ tak terjadi karena siswa tak punya gawai serta akses
jaringan (termasuk akses ke TVRI) dan rumah mereka berjauhan. Sebagai guru
berdedikasi, mereka mengungkapkan rasa penyesalan dan frustrasi atas ketidakberdayaan
mereka mengatasi situasi ini. Disparitas layanan
pendidikan ini terjadi bukan hanya antardaerah, melainkan juga di dalam satu
daerah dan menjadi cermin kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat Indonesia. Pada sebagian sekolah yang
menampung anak-anak dari kelas menengah dan atas, PJJ justru membuka banyak
cakrawala pembelajaran dan memungkinkan mereka menikmati pembelajaran kelas
dunia dengan menembus batas kurikulum, ruang, dan waktu melalui penggunaan
jaringan telekomunikasi yang sudah menjadi kebutuhan pokok yang bisa
dijangkau. Ironisnya, pada banyak sekolah, PJJ tidak terjadi karena hambatan
akses. Faktor penandanya bukan
negeri atau swasta, urban atau rural, dan sekolah penerima atau nonpenerima
dana BOS, melainkan kelas sosial-ekonomi orangtua siswa. Yang perlu dicatat,
pandemi ini bukan faktor penyebab disparitas layanan pendidikan, melainkan
jadi kaca pembesar yang membuat permasalahan keadilan sosial di sektor
pendidikan jadi lebih gamblang. Peserta didik yang
tertinggal selama pandemi adalah anak-anak yang juga berpotensi tersisih
dalam lintasan pacu di luar masa pandemi. Sebagian anak-anak ini
kemungkinan juga tersisih dalam seleksi sekolah-sekolah negeri dengan
kapasitas terbatas dan harus ditampung di sekolah-sekolah swasta yang
berjuang memadukan antara dana BOS dan SPP yang sering tersendat dengan
pengeluaran sekolah, termasuk gaji guru yang minim. Sementara anak-anak dari
keluarga kaya justru menikmati pendidikan gratis tanpa PPN di sekolah negeri
unggulan karena berbagai prestasi yang dipacu oleh privilese dari keluarga. Harapan
keadilan sosial Pengenaan PPN multitarif
terhadap jasa pendidikan mengandung nilai mulia keadilan sosial. Tebersit
harapan cita-cita pemerataan mutu pendidikan bagi semua anak Indonesia bisa
diperjuangkan melalui prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Keluarga kaya membayar
lebih bagi pendidikan anaknya, sementara alokasi anggaran pendidikan yang
berdiferensiasi bisa tepat sasaran agar anak keluarga miskin juga menikmati
pendidikan bermutu melalui penyetaraan mutu guru, ketersediaan
sarana-prasarana di sekolah (negeri atau swasta) yang bisa menampung
anak-anak yang berpotensi tersisih. Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945
tentang hak pendidikan bagi setiap warga negara diikuti dengan Ayat (2)
tentang kewajiban pemerintah untuk membiayainya dan Ayat (3) yang berbunyi,
”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”,
serta Ayat (4) yang merumuskan anggaran pendidikan 20 persen. Target pemenuhan kewajiban
Pasal 31 ini secara superfisial telah memacu peningkatan angka partisipasi
sekolah yang dibanggakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun, dunia mencatat
capaian angka partisipasi dan besarnya anggaran yang sudah digelontorkan
untuk sistem pendidikan ternyata belum berhasil mendongkrak mutu pendidikan
dengan indikator kemampuan dan keterampilan peserta didik. Selain itu,
alokasi anggaran pendidikan yang tidak berdiferensiasi di lapangan telah
memunculkan ketidakadilan dalam pembiayaan pendidikan. Rencana pengenaan PPN
multitarif terhadap jasa pendidikan memang masih harus dimatangkan dan
disempurnakan. Kebijakan publik yang efektif tidak cukup bersumber dari suatu
nilai mulia, tetapi perlu memikirkan hilir implementasinya. The devil is in
the details of implementation. Sebaliknya, membenturkan
itikad mewujudkan keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan dengan Pasal 31
UUD 1945 dan melabelinya inkonstitusional pada tahap yang masih sangat dini
berpotensi membuat kita terjebak dalam kubangan pencapaian minimalis amanah
undang-undang. Selain itu, kewajiban
negara dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan seyogianya tak menutup
ruang peran dan tanggung jawab masyarakat untuk bergotong royong mewujudkan
solidaritas dan subsidiaritas untuk kebaikan bersama. Kita berharap polemik yang
terjadi seputar PPN multitarif atas jasa pendidikan bisa mengalir dan
berkembang menjadi diskursus konstruktif nonpartisan untuk mewujudkan
keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan agar anak Indonesia mempunyai
kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan bermutu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar