Selasa, 29 Juni 2021

Reformasi dari Jailolo Selatan

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 26 Juni 2021

 

 

                                                           

”Bagi pelaku kejahatan seksual, yang utama bukanlah soal seks, tetapi adalah penaklukannya,” ujar Stanton Samenow, penulis buku Inside the Criminal Mind (2004).

 

Oleh karena itu, sungguh memprihatinkan ketika minggu lalu, seorang anggota Kepolisian Sektor Jailolo Selatan, Maluku Utara, diduga memerkosa anak berusia 16 tahun. Seseorang yang seharusnya punya kuasa untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat justru ”menaklukkan” warganya sendiri.

 

Tidak adanya demo berjilid-jilid seperti pada kasus George Floyd di Amerika bukan berarti publik tidak memantau kasus di Jailolo Selatan. Publik jelas mencermati penyelesaian dari kasus yang menjadi salah satu catatan hitam ini. Hanya saja, Indonesia sedang dipusingkan oleh lonjakan kasus Covid-19 sehingga gugatan atas kasus itu lebih banyak di media arus utama maupun media sosial.

 

Kepolisian Negara Republik Indonesia sejauh ini telah bergerak memproses pemecatan Brigadir Satu NI. Bareskrim Polri juga akan mendampingi korban. Kita hargai langkah Polri. Di sisi lain, media—menurut Bill Kovach, adalah pemantau kekuasaan—akan pula melaporkan tiap progres pemidanaan terhadap NI.

 

Apabila terbukti bersalah, efek jera bagi pelaku berupa pengenaan pasal pidana yang seberat-beratnya kiranya dapat menjadi pesan tegas bagi kepolisian maupun publik. Bagi internal kepolisian, pemecatan maupun ancaman pidana paling lama 15 tahun dapat menjadi pengingat supaya jangan ada lagi peristiwa serupa di masa mendatang.

 

Sayangnya, penegak hukum tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 81 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, ancaman pidana paling lamanya tetap 15 tahun.

 

Sementara bagi publik, pidana bagi oknum polisi jelas memberi pesan bahwa tiada ampun bagi predator anak. Pesan ini penting mengingat kasus kejahatan seksual yang diungkap bagi publik di negeri ini boleh jadi ibarat puncak gunung es dari kasus-kasus serupa. Perempuan, termasuk anak perempuan di bawah umur, juga terus saja menjadi korban kekerasan.

 

Awal bulan Maret 2021, dalam pemaparan catatan tahunannya, Komnas Perempuan juga mengungkapkan kenaikan pengaduan sebesar 60 persen pada tahun 2020 menjadi 2.389 kasus. Tahun 2019, Komnas Perempuan mencatat ada 1.413 kasus pengaduan. Jumlah pengaduan melonjak di antaranya karena kini dimungkinkan adanya laporan secara daring.

 

Kasus di Jailolo Selatan ini idealnya dijadikan pijakan bagi Polri untuk lebih mereformasi diri. Konsep ”Presisi” atau Prediktif, Responsibilitas, Tranparansi Berkeadilan yang diperkenalkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga perlu segera diejawantahkan.

 

Pada era seperti sekarang ini, ketika masa depan sudah hadir, transparansi dapat pula dihadirkan dengan memanfaatkan teknologi. Memasang lebih banyak kamera pemantau di kantor polisi, yang dapat dimulai dari kantor Polsek Jailolo Selatan, kiranya dapat lebih mendorong transparansi kerja-kerja polisi yang dapat pula meningkatkan kepercayaan publik kepada lembaga kepolisian. ●


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar