Selasa, 29 Juni 2021

 

Setelah Dua Gerhana (Tanggapan Sekaligus Berita Baik untuk Aminudin TH Siregar dan Hendro Wiyanto)

Yuswantoro Adi ;  Pelukis yang menulis seni rupa

KOMPAS, 27 Juni 2021

 

 

                                                           

Gerhana terjadi manakala Bumi atau Bulan menghalangi sinar Matahari. Ketika terhalang oleh Bumi, disebut gerhana Bulan. Giliran oleh Bulan, namanya gerhana Matahari.

 

Saya tidak berani menentukan siapa di antara Ucok (Aminudin Th Siregar) dan Hendro Wiyanto yang pantas menjadi bumi atau bulannya. Namun, maaf, esai keduanya kemarin memang menyerupai gerhana bagi Seni Rupa Indonesia. Bagaimana tidak, keduanya pesimistis, setidaknya kurang optimistis, memandang kondisi seni rupa hari ini. Ini mengecewakan karena sesungguhnya kedua tokoh pintar itu punya potensi untuk menjadi matahari.

 

Bung Ucok menyebut betapa infrastruktur seni rupa, koleksi negara, museum, pameran, pasar dan seterusnya dalam nada menyedihkan. Lalu menawarkan ”historiografi penyadaran” dengan menggunakan tulisan Joebaar Ajoeb yang menakjubkannya sebagai ilustrasinya. Bung Hendro pada awalnya mengaku bingung. Kemudian menjelaskan tentang isi dan sisi peristiwa sekitar tulisan yang dimaksud. Lancar ia menengarai Ucok sebagai menggunakan jurus gerhana, celakanya ia ikut-ikutan menggerhana di akhir esainya.

 

Menurut saya, infrastruktur kita tak sebegitu menyedihkan. Mari kita urai mulai dari koleksi negara. Presiden Soekarno memiliki ribuan koleksi karya seni rupa yang kini menjadi milik negara. Presiden Soeharto sejatinya juga seorang kolektor. Kini hampir semuanya (barangkali bersama koleksi istri, anak dan atau keluarganya), tersimpan di Graha Lukisan TMII. Sayangnya, itu bukan milik negara. Tapi, kita masih boleh berharap, kini Taman Mini telah dikembalikan kepada negara. Saya tak cukup memiliki informasi tentang dua presiden selanjutnya, BJ Habibie dan Gusdur; adakah mereka juga mengoleksi karya seni?

 

Barangkali Presiden Megawati tidak menambahi koleksi, tetapi setidaknya beliau telah merapikan catatan tentang koleksi negara. Presiden SBY di akhir periode jabatannya memesan langsung kepada beberapa pelukis, lalu memajangnya di ruang koleksi negara bernama Balai Kirti di Istana Kepresidenan Bogor. Presiden Jokowi telah membeli beberapa karya seni atas nama negara. Saya mendengar beliau menjanjikan kepada pelukis Djokopekik; lukisannya yang barusan dikoleksi oleh negara akan dipajang di istana di ibu kota baru nantinya.

 

Museum Seni Rupa dan Keramik kita harus diakui memang relatif stagnan. Meski Galeri Nasional membantu sebisanya menambahi jumlah koleksinya sedikit. Di luar itu, nonpemerintah, swasta, dan atau perorangan, toh, memiliki museun yang sama sekali tidak sempit. Museum Pelita Harapan, Museum Macan, Museum OHD, Museum Sampoerna, Museum Dedi Kusuma, dan Museum Tumurun adalah beberapa di antaranya.

 

Sekadar informasi perupa Nasirun di Yogyakarta memiliki semacam museum kecil dengan mengoleksi karya; Fadjar Sidik, Nashar, Emiria Sunasa, Umi Dahlan, Nunung WS, Soenarto PR, Motinggo Busye, dan banyak lagi. Hebatnya, Nasirun juga memiliki karya tokoh pahlawan besar, saya tidak pernah mengiranya ternyata pintar melukis; Ki Hajar Dewantoro. Setidaknya ada dua gambar beliau telah terkoleksi. Termasuk berbagai nama perupa yang karyanya tidak atau belum ada di semua museum di atas.

 

Semua tahu bahwa pasar seni rupa tak segegap gempita dulu. Ditambah dengan pandemi, ia makin lesu. Namun, itu semua tak menyurutkan semangat berkesenian para perupa. Optimistis. Itulah yang saya ketahui dan tengah terjadi di Jogja. Tentang kenapa Jogja, karena di sanalah ”ibu kota” Seni Rupa Indonesia dan apa boleh buat, pandemi memaksa saya tidak boleh ke mana-mana.

 

Frasa ”gagal paham seni rupa” yang digerhanakan oleh dua Bung Penulis sebelum ini rasanya berlebihan. Aneka diskusi, seminar, debat seni rupa, webinar, dan sejenisnya masih tetap berlangsung. Pameran jalan terus. Tak melulu harus bersifat virtual atau daring, secara fisik pun juga ada meski harus ketat memenuhi protokol kesehatan. Yang bersifat regular, seperti Artjog dan Yogyakarta Annual Art (YAA), berjalan sesuai dengan jadwalnya. Yang bukan regular tak terhitung jumlah peristiwanya.

 

Peristiwa kesenian itu terselenggara di banyak tempat, juga sejumlah ruang atau, katakanlah, galeri yang merupakan kontribusi nyata dari para perupa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebutlah Sarang milik Jumaldi Alfi, Sangkring (Putu Sutawijaya), Studio Kalahan (Heri Dono), Cemeti (Nindityo dan Mella Jaarsma), Pendhapa (Dunadi), Tahunmas (Timbul Raharjo), dan akan terlalu panjang jika dituliskan secara terperinci.

 

Puji Tuhan, alhamdulillah banyak pameran tersebut bukan menampilkan wacana belaka, melainkan juga disambut baik oleh pasar. Menurut informasi yang saya terima, pameran YAA#5 di Sangkring pada pertengahan tahun kemarin, terjadi di tengah masa pandemi, berhasil menjual cukup banyak karya dari perupa muda.

 

Sebuah pameran besar yang dikuti 78 perupa bertajuk ”Akara” di Gedung PDI Perjuangan Yogyakarta, saat ini masih berlangsung, sudah terjual lebih dari sepertiganya. Angka yang terbilang bagus untuk saat ini. Bahkan, saya mendengar kabar pameran Nadiah Bamadhaj di Sarang baru-baru ini sold out alias terjual habis. Yang paling menggembirakan adalah mendengar secara langsung pengakuan Heri Pemad bahwa pada tahun pandemi ini, tepatnya Artjog 13 2020, justru mendapatkan penjualan karya terbesar dan item terbanyak selama ini.

 

Dengan kata lain, sebetulnya kondisi seni rupa, wacana, dan tentu saja pasarnya baik-baik saja. Sehat, segar, dan waras. Bahwa benar kami mendengar adanya aksi obral-brutal lukisan, dengan diskon hingga 90 persen, di luar sana. Ya itu memang menyakiti, tetapi perupa Jogja tidak mau terlalu terpengaruh, senantiasa tegar dan lantang berseru, ”Masa bodoh dengan semua itu!”

 

Satu lagi berita baik untuk kalian, wahai Bung-Bung. Setelah berhasil membuka jurusan/program studi baru, yakni Tata Kelola Seni, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta akan segera membuka jurusan Sejarah Seni yang kelak menghasilkan sarjana Art Historian. Salah satu elemen penting seni rupa yang belum banyak kita miliki saat ini.

 

Pandemi korona memang memaksa kita menunda bahkan menghentikan kegiatan. Ia bersifat gelap laksana gerhana. Ia memerintah kita untuk terus-menerus menyesuaikan diri pada apa yang disebut sebagai adaptasi terhadap kebiasaan baru: New Normal. Namun, jangan lupa, bukan kebetulan bernama sama: Corona adalah keindahan luar biasa sekaligus membahayakan dilihat dengan mata telanjang, berupa cincin cahaya yang kemilau. Terjadi sesaat, hanya sesaat ketika gerhana, terutama pada Gerhana Matahari Total, mencapai puncaknya. Setelahnya berangsur kembali terang. Selanjutnya akan terus terang benderang. Demikian pula Seni Rupa Indonesia.

 

Salam dari ibu kota, Jogja bung. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar