Meritokrasi
ASN dan Kekuasaan Miftah Thoha ; Guru Besar (Ret) Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS, 18 Juni 2021
Meritokrasi adalah tatanan
kepemerintahan atau kenegaraan yang melaksanakan sistem merit di dalam
menjalankan tata kepemerintahan dan kenegaraan. Sistem merit adalah sistem
yang berdasarkan pertimbangan kebenaran yang obyektif dan tak didasarkan atas
pertimbangan subyektif. Sistem ini berlandaskan pada aturan dan tataran
formal berdasarkan hukum dan peraturan lain yang sudah ditetapkan dan berlaku
di tata kepemerintahan dan kenegaraan. ASN adalah sebutan bagi aparatur sipil
negara untuk membedakan dengan aparatur negara lainnya yang biasanya disebut
aparatur negara militer TNI dan atau Polri. ASN beda dengan TNI dan
Polri walaupun ketiganya sama-sama di bawah pimpinan langsung Presiden RI.
Dulu TNI dan Polri pernah ber-Dwifungsi, bisa ditarik beraktivitas politik.
Namun, semenjak era Reformasi, TNI dan Polri kembali ke fungsi utama dan
pokok negara di bidang pertahanan dan keamanan, tak boleh atau dilarang
menjalankan aktivitas kegiatan politik. Barangkali, presiden yang
memimpin TNI dan Polri karena kedudukan presiden sebagai kepala negara.
Dengan demikian, hanya tugas-tugas negara yang dibebankan oleh presiden
kepada TNI dan Polri, khususnya di bidang pertahanan dan keamanan. Tugas TNI
dan Polri adalah tugas negara, bukan tugas penguasa. Mantan Panglima TNI Gatot
Nurmantyo pernah mengatakan bahwa politik TNI adalah politik negara,
menjalankan tugas negara, pertahanan dan keamanan negara. Adapun ASN, karena
merupakan aparatur negara sipil, berada di dalam sistem administrasi
pemerintahan yang dipimpin presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden memimpin ASN itu
karena kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan. Wajar sebagai kepala
pemerintahan, presiden setiap saat mengangkat dan mempromosikan pegawai
negeri dan setiap Idul Fitri membuat surat keputusan menaikkan THR atau gaji
ASN. Namun, kalau presiden meminta ASN membayar zakat malnya ke Baznas,
dikhawatirkan ada maksud lain, dengan pertimbangan subyektivitas di luar
tatanan agama dan administrasi pemerintahan. ASN Muslim punya pilihan sendiri
mau memberikan zakatnya ke mana. Di dalam UU ASN sendiri
ditetapkan bahwa pembina karier ASN itu adalah presiden, yang kemudian
mendelegasikan ke bawah kepada menteri, dan gubernur, bupati serta wali kota.
Namun, sebagaimana kita pahami, presiden sebagai kepala pemerintahan adalah
pejabat politik yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol. Identitas,
kualitas, dan warna politiknya sangat menonjol. Terkait sikap dan
pemikiran presiden terhadap ASN, haruslah dipahami tentang sistem meritokrasi
yang diterapkan kepada ASN itu. Dengan demikian, walaupun presiden orang parpol
atau pejabat politik, bisa membedakan tendensi-tendensi politik dengan yang
murni profesionalisme administrasi pemerintahan. Presiden sebagai kepala
negara tidak bisa mengintervensi dan memerintahkan TNI dan Polri membantu
memainkan kegiatan politik untuk menjalankan pemerintahannya. Presiden
sebagai kepala negara tidak boleh melibatkan TNI dan Polri ikut memilih dalam
pemilu. Seharusnya, dengan ASN juga berlaku seperti itu. Namun, di tahun
politik, keterlibatan politik ASN sering kali kita lihat sangat menonjol. Tanpa aturan yang tegas,
hubungan jabatan politik dan jabatan karier ASN akan selalu menjadi incaran
kegiatan politik. Bahkan, semua parpol sangat dimungkinkan ikut memengaruhi
ASN, padahal seharusnya menurut meritokrasi tidak diperbolehkan. Kedudukan
ASN dalam arena kegiatan politik sangat rawan. Seharusnya presiden membatasi
peran politiknya kepada ASN agar meritokrasi bisa diluruskan. Meritokrasi
dalam ASN UU ini secara tegas
melaksanakan dan mewujudkan sistem merit dalam menata manajemen pemerintahan.
Roh dan jiwa ASN adalah meritokrasi atau sistem merit ini. Menurut sejarah,
meritokrasi atau sistem merit mulai dilakukan pada zaman Dinasti Qin dan Han
di China. Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan
pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi para calon pejabat
pemerintahan. Dalam upayanya untuk
melaksanakan kekuasaan di tengah semakin luas, besar, dan menebarnya wilayah
kekuasaan kerajaan, pemerintah Dinasti Qin dan Han menghadapi ruwetnya
jaringan jabatan yang semakin kompleks. Prospektif jabatan tidak terbatas,
bisa diisi oleh calon dan mobilitas pejabat pemerintah. Tingkatan atau
rangking jabatan harus ditetapkan dengan melakukan sistem merit. Akhirnya ditetapkan sistem
sembilan tingkatan jabatan (nine-rank system), yang dibentuk oleh tiga
dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han. Kira-kira sama dengan
eselonisasi jabatan di zaman pemerintahan Orde Baru kita. Dari China ini konsep
sistem merit kemudian menyebar, digunakan di British India pada abad ke-17
dan menyebar ke daratan Eropa dan Amerika. Di Indonesia, sejak awal
kemerdekaan sampai sekarang telah pula dikenal dan dilaksanakan sistem merit
dalam manajemen pemerintahan. Namun, upaya pelaksanaannya tak seperti yang
diharapkan oleh disiplin ilmu meritokrasi. Sistem merit merupakan
suatu sistem yang menekankan pada pertimbangan dasar kompetensi bagi calon
yang akan diangkat, ditempatkan, dipromosikan, dan dipensiun sesuai UU
berlaku. Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian, dan
profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangkunya. Dan itu yang
akan jadi pertimbangan utama. Selain itu, netralitas
pejabat pemerintah yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang
tak bisa diabaikan. Prinsip ini intinya tak mengandung unsur kedekatan
kepentingan, baik kedekatan keluarga, suku, daerah, almamater, agama,
politik, maupun konglomerasi. Selain kompetensi dan
netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada akhlakul
karimah menjadi pertimbangan bagi calon yang akan menjadi aparatur
pemerintah, baik sipil maupun militer. Manipulasi
sistem merit Apa yang terjadi selama
ini, sistem merit dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja.
Proses pengangkatan calon diam-diam dilakukan melanggar konsepsi disiplin
ilmu tersebut. Kompetensi calon diganti menjadi kepentingan pemegang
kekuasaan. Keahlian dan
profesionalisme menjadi sebaliknya, sesuai persepsi dan keinginan pemegang
kekuasaan. Netralitas digantikan dengan pertimbangan kedekatan dengan
pemegang kekuasaan sehingga banyak terjadi satu kantor ditempati sanak
famili, agama yang sama, bahkan pendukung parpolnya. Hal seperti ini sudah
berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, terutama selama hampir 32 tahun
pemerintahan Orde Baru, bahkan sisa-sisa pemerintahan Orde Baru itu masih
dipraktikan sampai sekarang. Itu sebabnya, tahun 2014 dipelopori Komisi II
DPR dan dibantu dua guru besar UGM dan dua guru besar UI, terbentuk UU No 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang sarat dengan upaya menegakkan
meritokrasi ini. UU ini oleh pemerintah
dulu pernah ditolak, bahkan aparat pemda dengan disponsori dan didukung
pemerintah pusat berdemonstrasi menolak UU ini. Kalangan politik DPR juga
menghadapi rintangan. Meski inisiatif pembentukan UU ini berasal dari DPR,
ada upaya merevisi dan menghapus meritokrasi serta membubarkan Komisi ASN
sebagai lembaga penjaga sistem merit (merit system protecting board). Pendekatan
kekuasaan Tak efektifnya meritoktasi
dilaksanakan salah satunya karena dijalankannya pendekatan kekuasaan oleh
pejabat pemerintah. Politik kekuasaan yang bersumber pada kekuasaan politik
inilah yang selama ini mewarnai manajemen pemerintahan kita. Ada dua macam
kekuasaan dalam mengatur sistem administrasi pemerintahan: kekuasaan negara
dan kekuasaan politik. Kekuasaan negara bersumber
dari negara atas nama rakyat secara keseluruhan, kekuasaan politik berasal
secara subyektif dari parpol yang bertujuan mempunyai, melaksanakan, dan
mempertahankan kekuasaan pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang
dilakukan secara subyektif dari pertimbangan pemegang jabatan bisa dihindari
dengan mengendalikan emosi kekuasaan dan banyak mengamalkan pendekatan human
government yang menekankan pada manajemen pemerintah berbasis pada penghargaan
kepada faktor manusia yang kompeten dan profesional ciptaan Tuhan. Jabatan
politik Pendekatan kekuasaan di
atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan-jabatan politik dan
jabatan karier birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Pejabat
politik yang berasal dari kekuatan parpol di pemerintahan sudah lama kita
kenal. Parpol adalah kesatuan aspirasi politik dari sekelompok rakyat yang
bertujuan mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan
kekuasaan. Dalam sistem demokrasi,
kekuasaan yang ingin dicapai ialah kekuasaan pemerintahan. Manajemen
pemerintahan yang aslinya ditempati para pejabat birokrasi mulai dipimpin
pejabat politik dari parpol yang berkuasa atau yang memenangi pemilu, sejak
kita melaksanakan pemerintahan yang demokratis. Mulai dari sinilah kehadiran
jabatan politik dari parpol memimpin birokrasi pemerintahan. Kekuasaan jabatan yang
berkewajiban membuat dan merumuskan kebijakan kini dipegang oleh para pejabat
politik dari parpol. Kebijakan itu yang harus dilaksanakan oleh manajemen
pemerintahan atau oleh sistem birokrasi pemerintah. Maka, dengan demikian,
jelaslah bahwa pejabat birokrasi pemerintah secara otomatis menjadi
subordinasi atau di bawah kendali jabatan politik. Dari gambaran hubungan
kedua jabatan ini, sangat sulit pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik
pemegang jabatan politik yang menjadi atasannya. Di pemerintahan kita
terpengaruhnya ASN dalam proses politik banyak dijumpai di daerah-daerah
ketika melaksanakan pilkada. Banyak pegawai daerah yang ikut kampanye
mendukung calon yang akan memimpin mereka di pemerintah daerah. Mereka yang
tak ikut mendukung, jika calon tersebut menang pilkada, kariernya bisa
tersendat. Kasus
ASN di KPK Dalam upaya untuk
menyeleksi pegawai dan pejabat di KPK dengan menguji wawasan nasional yang
dimiliki, salah satu bentuk pertanyaannya jauh dari prinsip sistem merit yang
diuraikan di atas. Pegawai yang diuji harus menjawab salah satu, memilih
Pancasila atau Al-Quran. Ini pertanyaan yang mengarah ke gagasan politik. Tidak ada orang di dunia,
apalagi di Indonesia, yang tidak tahu bahwa Al-Quran adalah kitab suci orang
Islam. Pancasila adalah falsafah dan dasar negara Indonesia. Bagaimana
Al-Quran disandingkan dengan Pancasila? Bukankah ini mengada-ada dan mengarah
pada politisasi ASN? Mereka yang memilih Al-Quran tak lulus. Kasus KPK sungguh bisa
mencoreng sistem merit yang pada 2010-2014 kita perjuangkan untuk diwujudkan
dalam UU No 5 Tahun 2014. Sayang Presiden maupun Menteri PAN dan RB atau
pemegang kekuasaan pemerintahan ini pun tak paham tentang sistem tersebut.
Dalam UU ASN dikenal dua bentuk kepegawaian, yakni pegawai tetap atau pegawai
negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah berdasarkan kontrak (P3K). Jika
pegawai KPK tak lulus wawasan nusantara, bukan lalu di-non-job atau dipecat,
melainkan bisa jadi P3K. P3K ini diharapkan akan
banyak dijumpai dalam sistem merit, dan kariernya didasarkan kompetensi dan
keahlian calon, bukan karena anggota parpol. Apalagi semua pegawai KPK
sebelum dites wawasan nusantara adalah orang-orang yang kompetensi dan
keahliannya sudah banyak diketahui di bidang pengawasan dan pemberantasan
korupsi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar