Populisme
Vaksin Ahmad Fuady ; Dokter, Peneliti, Pengamat Politik Kesehatan |
KOMPAS, 24 Juni 2021
Vaksin Nusantara terus
melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto
dengan sangat demonstratif memeragakan cara pembuatannya di depan anggota
DPR. Peragaan yang mirip demo memasak itu ternyata memantik antusiasme meski
mayoritas saintis dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyatakan
bahwa proses uji klinisnya tidak mematuhi kaidah ilmiah yang berlaku. Apa yang dilakukan Terawan
dengan Vaksin Nusantara-nya tentu bukan lagi sekadar persoalan sains. Vaksin
Nusantara telah masuk ruang politik lebih dahulu sebelum didedahkan secara
matang di ruang diskusi sains. Apa yang disodorkannya pun
ke para politisi bukan soal seberapa efektif vaksin tersebut mereduksi
keparahan infeksi atau mencegah penularan, tetapi lebih banyak menyodorkan
primordialisme sains. ‘Nusantara’ adalah kata kunci untuk mendefinisikan
‘kita’ sekaligus memosisikan diri berseberangan dengan vaksin buatan luar
negeri. Pemosisian diri seperti
ini tentu merupakan angin segar di tengah kembali riuhnya isu kapitalisasi
dan konspirasi industri vaksin. Untuk menekankan posisi
yang berlawanan dengan kekuatan global, Vaksin Nusantara harus bersusah payah
membuktikan bahwa komponen yang digunakan berasal dari dalam negeri. Terawan
mengklaim bahwa lebih dari 90 persen bahan produksinya telah ada di Indonesia
dan aksinya di hadapan anggota DPR adalah upaya pembuktian bahwa pembuatan
vaksin tidak sesukar yang dipikirkan banyak orang. Populisme
saintifik Ide ini dapat dengan mudah
disanggah oleh kelompok saintis. Tetapi, ketika demonstrasi pembuatan vaksin
telah masuk ke ruang anggota DPR, persoalannya bukan lagi tentang benar dan
salah dalam kaidah saintifik. Vaksin Nusantara telah membentuk populisme
saintifiknya sendiri yang didorong hasrat yang sama dari populisme politik. Jauh sebelum pandemi
Covid-19, keengganan orangtua di Eropa Barat untuk memvaksin anak-anak mereka
terbukti secara anekdotal berkorelasi dengan populisme politik yang bersemi
di regio tersebut. Yang mendorong keduanya bertumbuh dengan subur berpangkal
pada hal yang serupa: ketidakpercayaan yang mengakar kuat terhadap para elite
dan pakar. Hal yang sama terjadi pada diskursus sengit soal perubahan iklim. Para politisi bukan tak
memiliki kapasitas membaca data dan fakta. Mereka bukan elemen yang bergerak
sendirian, tetapi didampingi para ahli yang memberikan masukan ke telinga
kanan dan kirinya. Tetapi, populisme—sekali lagi—tak berkutat pada kebenaran,
melainkan ke sisi mana yang memberi keuntungan lebih berlipat untuk meraup
dukungan dan suara rakyat. Ketika pandemi Covid-19
menghantam dunia, sebagian orang memilih untuk memercayai bahwa pandemi
adalah bagian konspirasi elite. Proporsinya tidak kunjung menurun meskipun
pandemi telah berlangsung lebih dari setahun. Bukan hanya di Indonesia, 22
persen masyarakat Inggris pun menunjukkan ketidakpercayaan terhadap angka kematian
yang mereka anggap dibesar-besarkan. Di AS, puluhan pemrotes
memblokade dan menutup situs vaksinasi di awal tahun 2021. Bahkan, banyak
tenaga kesehatan bermunculan sebagai ‘pakar’ baru di media sosial dan dengan
cepat meraih popularitas karena menolak status pandemi, kuncitara, atau
vaksin. Pendekatan yang mereka
lakukan selalu sama: penggunaan kata yang iritan, bahkan cenderung agitatif,
dan penempelan potongan bukti ilmiah yang tidak lengkap atau tidak
diinterpretasikan dengan tepat. Sumbu ini berpadupadan dengan ketersesatan
masyarakat di tengah infodemi—informasi yang membeludak tak tertahan. Mereka tak memiliki
kemampuan mencari informasi selaiknya saintis, apalagi filsuf, namun
cenderung mencari informasi yang bersesuaian dengan kehendak dan harapannya
sendiri. Otak manusia memang
cenderung menginginkan apa yang ingin mereka dengarkan, sedangkan pandemi
dengan segala konsekuensi penanganannya bukanlah hal menyenangkan yang dapat
diterima dengan kerelaan penuh oleh manusia. Ketika mereka menemukan
informasi yang sesuai dengan harapannya, di situlah bibit populisme saintifik
mendapatkan lahan yang subur. Pemantik pertumbuhannya
adalah hasrat popularitas. Populisme ternyata tidak mati di tengah pandemi,
seperti yang diduga Santiago Zabala dalam bukunya, Pan(dem)ic! Populisme
hanya berubah bentuk. Jika Donald Trump dikenal sebagai pejurus populisme
kultural dan Andre Lopez Obrador di Meksiko diidentifikasi sebagai penganut
populisme ekonomi, Vaksin Nusantara barangkali dapat didaku sebagai varian
baru populisme vaksin. Populisme
medis Uniknya, populisme vaksin
ini tidak hadir dari ruang kosong yang hadir secara tiba-tiba. Ia didahului
oleh populisme yang telah lebih dahulu dipertontonkan di masa awal pandemi.
Gideon Lasco (2020) menyebutnya sebagai populisme medis. Ketika politik semakin
mencari bentuk khasnya masing-masing, pemirsa politik semakin terfragmentasi
satu sama lain, dan klaim-klaim mengenai pengetahuan sering dipertarungkan,
krisis kesehatan seperti pandemi menjadi isu yang makin rentan untuk
dipolitisasi. Siapa ‘kita’ dan siapa ‘mereka’ menjadi sangat penting dan
bahan permainan politik menarik di tengah pandemi. Narasi yang dikemukakan
para pejabat Pemerintahan Indonesia di awal pandemi adalah bentuk populisme
medis yang nyata. Ungkapan ‘virus itu hanyalah flu biasa’, ‘kita kuat’, atau
‘cukup hadapi dengan doa dan jamu’ adalah upaya simplifikasi. Upaya itu sama
sekali bukan bentuk pengabaian atau ketidaktahuan, karena dengan pengetahuan
yang berkembang pesat, para pejabat memiliki asupan informasi yang adekuat
tentang bahaya virus di masa depan. Tetapi, simplifikasi
adalah strategi yang secara sadar dipilih untuk mensegregasi opini antara
‘kita’ dan ‘mereka’—dan ‘kita’ selalu dicitrakan lebih tinggi daripada
‘mereka’. Ketika Vaksin Nusantara
muncul, upaya simplifikasi itu kembali dihadirkan dengan penuh kesadaran
dalam pernyataan-pernyataan yang memantik kekaguman, seperti “soalnya nanti
dikira sulit sekali bikin vaksin.” Pernyataan itu keluar dengan pola yang
sama seperti dulu simplifikasi pandemi dilakukan. Juga oleh orang yang sama. Strategi ini menajamkan
sekat antar kelompok. Posisinya yang berseberangan dengan arah sains jalur
utama bukan sebuah kelemahan, tetapi justru bahan bakar yang tepat untuk
mengobarkan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat yang lelah di tengah
sengkarut pandemi. Kehadirannya di ruang DPR adalah pencarian dukungan dari
para politisi yang kerap bergegas mengambil keuntungan popularitas. Politik
sains Situasi ini semestinya
tidak cukup hanya membuat geram para saintis, tetapi harus menjadi bahan
refleksi paling mendasar terhadap gagalnya sains mengatasi persoalan
kesehatan dan pandemi. Seberapapun hebat dan terhormatnya sains, ia tidak
dapat berdiri sendiri di atas mercusuarnya. Sains memang sebuah pencerahan,
tetapi sains juga perlu medium untuk mengamplifikasinya. Para saintis
kedokteran dan kesehatan barangkali telah paham tentang kedokteran berbasis
bukti (evidence based medicine). Akan tetapi, dalam ruang kebijakan, bukti
ilmiah bukanlah satu-satunya variabel yang superior. Dalam bentukan kebijakan,
bukti ilmiah selalu bersinggungan dengan politik dan budaya. Apa yang benar
secara ilmiah, belum tentu sepadan dengan kultur yang diyakini dan
dipraktikkan di tengah masyarakat. Begitu pun belum tentu sesuai dengan motif
di balik layar yang mendorong aksi politik yang lain. Pandemi ini mengajarkan
hal-hal baru kepada para saintis. Kita bukan hanya tengah berkejaran
mengumpulkan bukti baru tentang virus, obat, atau vaksin, tetapi juga
bertarung memahami pola pikir, motif, dan kepentingan yang saling
bercampuraduk di ruang publik. Apakah vaksin akan
menyelesaikan segala persoalan pandemi ini? Apakah penggunaan masker dan
kuncitara akan menyusutkan ketakutan banyak orang terhadap hilangnya mata
pencaharian dan masa depan finansial mereka? Nampaknya tidak, apalagi jika
ruang politik dan kebijakan didominasi oleh kepentingan jangka pendek dan
parsial yang dikuasai sebagian kelompok. Populisme vaksin pun tidak
akan memperbaiki keadaan, bahkan cenderung memperburuknya. Kunci dari
penanganan pandemi adalah kearifan politik dalam menjembatani banyaknya
kepentingan yang saling tarik-menarik, bukan mendaku diri tentang kebenaran
nisbi yang diusungnya sambil meremehkan yang lain. Pada titik itulah,
kearifan politik menjadi kata yang mujarab seperti yang disebutkan Rudolf
Virchow berabad lalu, ‘Medicine is a social science and politics is nothing
else but medicine on a large scale’. Kedokteran adalah ilmu pengetahuan
sosial, dan politik tidak lain adalah obat dalam skala yang lebih besar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar