Jumat, 18 Juni 2021

 

Menghentikan Kerentanan

Azyumardi Azra ;  Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar

KOMPAS, 17 Juni 2021

 

 

                                                           

Sulit dibantah, kerentanan Indonesia beberapa tahun terakhir dalam berbagai aspek kehidupan kian nyata. Wabah Covid-19 yang sudah berlangsung 15 bulan kini tengah meningkat kembali—melipatgandakan kerentanan negara-bangsa Indonesia yang sudah ada sebelumnya.

 

Di tengah fenomena tidak menyenangkan itu, beberapa kebijakan atau rencana kebijakan pemerintah menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat; membuat asa untuk segera keluar dari kerentanan hidup kian meredup.

 

Publik heboh ketika Kementerian Pertahanan berencana mengajukan anggaran Rp 1.750 triliun untuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pihak Kemenhan menyesalkan bocornya rancangan peraturan presiden terkait pembelian alutsista dan menyatakan anggarannya tidak sebesar itu. Namun, bantahan itu tidak mampu menghilangkan kontroversi yang sudah merebak.

 

Pemerintah juga memunculkan rencana kontroversial memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk ”sembako”, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tertentu. Rencana itu tertuang dalam rancangan undang-undang untuk revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyesalkan bocornya dokumen RUU KUP. Menkeu dan Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo beralasan, pemberlakuan kebijakan itu masih lama karena harus dibahas dan disahkan DPR. Bantahan mereka tidak menafikan rencana ”pajak sembako”, ”pajak jasa pendidikan”, atau ”pajak jasa kesehatan” tertentu.

 

Klarifikasi mereka juga tak mampu menepis peningkatan kegaduhan yang telanjur meruyak di ranah publik. Penolakan terhadap rencana itu terus datang dari berbagai penjuru masyarakat dan ormas, yang sekaligus meningkatkan spekulasi dan kecurigaan kepada pemerintah.

 

Pembelian alutsista besar-besaran dan RUU KUP bolehlah disebut masih rencana, tetapi kemunculannya di saat ekonomi rakyat masih sangat sulit dan ketika warga diserbu pandemi Covid-19 jelas mencerminkan sikap tidak sensitif pemerintah terhadap kesulitan hidup warga.

 

Ekonomi rakyat memburuk. Ini tampak kasatmata dari penutupan jaringan mal atau supermarket, swalayan, hotel atau restoran, atau kebangkrutan usaha di berbagai sektor. Kepahitan ini menambah barisan penganggur, orang miskin, dan duafa. Kehidupan mereka kian rentan.

 

Di tengah meningkatnya kerentanan ekonomi, kegaduhan politik terus-menerus juga menambah kerentanan politik-sosial. Akibatnya, makin banyak warga apatis dan kehilangan kepercayaan kepada kepemimpinan nasional dan elite politik yang tak menjalankan amanat reformasi.

 

Kegaduhan politik berkelanjutan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) yang kontroversial secara hukum, substansi, dan prosedurnya dalam pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara. Meski cacat, TWK dijadikan dasar bagi ketua KPK memberhentikan 51 pegawai KPK—termasuk beberapa pegawai senior yang sudah bekerja belasan tahun dan berperan penting dalam pemberantasan korupsi.

 

Pelemahan KPK meningkatkan kerentanan bukan hanya di bidang hukum dan pemerintahan, melainkan juga politik. Meski KPK yang telah dilemahkan masih aktif menangkap beberapa tersangka korupsi, masyarakat tak percaya KPK bisa melakukan pemberantasan korupsi secara substantif dan signifikan.

 

Kerentanan Indonesia dicatat Indeks Negara Rentan (Fragile State Index/FSI) yang mengukur kohesi, ekonomi, politik, dan sosial. Dalam laporan FSI 2021, Indonesia ada di peringkat ke-99 dari 179 negara; kian besar peringkat, makin jauh negara bersangkutan dari kerentanan; kian rendah posisinya, dia makin rentan. Apa indikator negara rentan? Menurut FSI, dalam bidang sosial mencakup, antara lain, peningkatan tekanan demografis, konflik suku dan agama; peningkatan masif pengungsi dari dalam dan luar negeri.

 

Bidang ekonomi mencakup, antara lain, korupsi yang meluas, kepincangan ekonomi yang makin lebar, pertumbuhan ekonomi yang tak seimbang di antara berbagai kelompok masyarakat, dan kemerosotan parah ekonomi. Kerentanan bidang politik mencakup, antara lain, delegitimasi atau kemerosotan kepercayaan kepada pemerintah, kemerosotan pelayanan publik, penerapan atau pengecualian pemberlakuan hukum secara semena-mena, operasi atau tindakan sewenang-wenang aparat keamanan.

 

Mengamati semua indikator itu, Indonesia terlihat mengandung kerentanan tinggi. Kerentanan bisa naik karena belum ada tanda-tanda meyakinkan perbaikan sosial, ekonomi, dan politik yang bisa mengurangi kerentanan Indonesia menuju negara dengan warga berketahanan kuat.

 

Fenomena kerentanan dikonfirmasi jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada Mei lalu (Kompas, 7/6/2021). Jajak pendapat menemukan hal yang patut dipertimbangkan pemerintah untuk mencegah peningkatan kerentanan dan, sebaliknya, bangkit mencapai ketahanan sosial, ekonomi, dan politik. Lihatlah, legitimasi atau kepercayaan warga kepada negara, persisnya pemerintah, cenderung merosot. Hampir 40 persen responden menyatakan hubungan pemerintah dengan warga tidak dalam keadaan baik.

 

Peningkatan distrust terhadap pemerintah terutama terkait pelayanan publik yang memburuk, kegaduhan politik, marjinalisasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang, dan kemerosotan pemberantasan korupsi. Indeks Perilaku Antikorupsi 2021 menunjukkan persentase responden warga umum yang menyuap atau diminta membayar suap ketika mengakses pelayanan publik cenderung naik (Kompas, 16/6/2021).

 

Semakin berkurangnya trust dan meningkatnya distrust sangat berbahaya. Gejala ini membuat menipisnya modal sosial yang mutlak perlu bagi negara-bangsa Indonesia dan negara mana pun untuk berpartisipasi dalam pembangunan mencapai kemajuan.

 

Menghadapi fenomena ini, pemerintah mesti lebih serius melakukan langkah konkret strategis, komprehensif, cepat, dan berjangkauan luas untuk menghentikan berbagai kerentanan. Konsep dan formula untuk mengatasi kerentanan sebenarnya sudah ada, tetapi tidak diterapkan dengan penuh kesungguhan, keteguhan, konsistensi, dan komitmen.

 

Setelah reformasi berjalan 22 tahun, pemerintah tak sepenuhnya mampu mewujudkan wacana, konsep, dan program untuk memperkuat ketahanan NKRI. Impian dan asa Indonesia untuk menjadi negara maju, modern, bermarwah, dan bermartabat, baik ke dalam maupun ke luar, seolah makin jauh dari jangkauan.

 

Kini yang sangat urgen ialah penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik, penegakan keadilan ekonomi dan sosial, rekonsolidasi demokrasi, akselerasi pemberantasan korupsi, serta penegakan hukum yang adil. Hanya dengan langkah dan cara itu, kerentanan negara dapat dibendung dan ketahanan nasional dibangun. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar