Pentingnya
Data Sosial Ekonomi Penderita Covid-19 Saratri Wilonoyudho ; Guru Besar Ilmu Kependudukan dan Anggota
Satgas Covid Jateng |
KOMPAS, 25 Juni 2021
Lonjakan kasus Covid-19 di
Kabupaten Kudus menyisakan banyak pertanyaan yang harus dijawab dan dicarikan
solusinya. Tulisan singkat ini akan mengajukan dua hipotesis untuk
menjawabnya. Dengan asumsi dari hasil
wawancara mendalam dengan responden, yakni unsur tenaga medis, tokoh masyarakat,
tokoh agama, birokrasi kesehatan, birokrasi pembangunan, para penyintas
Covid-19, dan kaum intelektual, dapat disimpulkan sementara bahwa kegiatan
sosial-keagamaan dan wisata sudah relatif terkendali. Misalnya, masyarakat
sudah taat untuk tidak mengadakan perayaan Idul Fitri dan Lebaran Ketupat,
demikian pula sudah dapat dikendalikan ibadah-ibadah khusus dengan prosedur
kesehatan (prokes) yang sesuai dengan petunjuk pemerintah. Dengan kata lain, perilaku
masyarakat di sejumlah tempat lain juga sudah menunjukkan hal yang demikian.
Namun, mengapa ada lonjakan kasus Covid-19 di Kudus? Dugaan sementara saya
adalah, pertama, bisa jadi ada virus baru yang lebih ganas dan ini perlu
penelitian dari ahli virus serta ahli epidemiologi. Kedua, seperti di India,
ada penularan di satu kerumunan besar. Kalau India penularan terjadi di
sungai tempat ritual, kalau di Kudus harus dicari. Kerumunan massal ini bisa
di tempat kerja ataupun dalam kegiatan sosial-budaya. Untuk di tempat kerja,
penularan diduga tidak sengaja karena keteledoran salah satu atau beberapa
orang yang membawa virus dan virus tersebut dibawa dari luar atau dari orang
luar (kota) yang masuk ke lingkungan setempat, kemudian dibawa berantai dalam
satu kerumunan massal tersebut. Memperkuat
basis data Untuk menjawab hipotesis
yang kedua, diperlukan basis data tentang pasien dengan karakteristik
sosial-ekonomi yang detail, syukur sudah diintegrasikan dalam satu jaringan
sistem informasi yang dapat terkoneksi dengan pemangku kepentingan secara
akurat, valid, dan selalu up to date. Menurut penuturan seorang
responden dari tenaga medis, sebenarnya pendataan pasien terpapar Covid-19
lengkap tersedia di puskesmas. Namun, faktanya, kelengkapan ini tidak
terkoneksi dengan birokrasi kesehatan di atasnya dan birokrasi yang menangani
perencanaan pembangunan, terutama data yang menyangkut jenis pekerjaan para
pasien. Padahal, jika data tentang
pekerjaan pasien ini jelas dan detail, akan dapat diketahui kira-kira di mana
ada kerumunan yang memudahkan penularan. Tentu data ini bukan untuk mengadili
tempat bekerja, melainkan untuk mencari solusi agar prokes diterapkan secara
benar dan tepat. Menurut responden dari
buruh pabrik, prokes di tempat kerjanya sangat ketat. Pulang dari pabrik
harus ke rumah langsung dan di rumah tidak boleh menerima orang asing yang
belum jelas. Jika tidak ditaati, sanksinya sangat berat, yakni pemecatan.
Namun, orang juga bisa teledor, misalnya tidak sengaja bertemu dengan orang
yang terpapar dan dirinya tidak sadar, lalu dibawa ke tempat kerja dalam satu
kerumunan. Menurut responden, umumnya
masyarakat, terutama kalangan bawah, harus berhitung besar untuk lapor atau
dites Covid-19 jika mereka mengalami gejala. Selain ada unsur malas atau
meremehkan, tidak punya ongkos untuk tes, juga ada ketakutan bahwa jika nanti
ketahuan, majikannya akan membayar tidak penuh. Bahkan, ada pekerja informal
yang terus terang mengaku, jika saya tes dan ketahuan, berarti saya harus
isolasi 14 hari, bagaimana saya harus menghidupi keluarga? Di sinilah pentingnya
sinergi pemerintah, perusahaan, dan gotong royong masyarakat dalam
menyediakan jaminan sosial ini. Belum lagi jika ketahuan
positif, maka akan ada ketakutan mendapat stigma negatif, sebagaimana
diungkapkan salah satu responden yang anaknya di-bully sebayanya sebagai
penyebar virus. Dengan demikian, data sosial ekonomi pasien Covid-19 ini
penting sekali, selain data pekerjaan, juga data usia, jenis kelamin, dan
pendidikan. Data dengan berbagai variabel tersebut dapat ditabulasi silang
dan dapat dijadikan sasaran penanganan Covid-19 secara preventif serta
melacak dari mana saja penularan itu terjadi. Peran
basis masyarakat Sebenarnya di Jateng sudah
ada program Jogo Tonggo, yakni menjaga tetangga, dan peran ini harus
ditingkatkan serta diintensifkan, misalnya mendata dan menyaring orang luar
yang datang atau pemudik dengan seleksi ketat jika tidak membawa surat bebas
Covid-19. Fakta menunjukkan, mereka juga kurang terdeteksi oleh pihak RT/RW
atau Jogo Tonggo setempat karena datangnya ada yang ”kucing-kucingan”
sehingga tidak bisa dipastikan apakah mereka telah bebas dari Covid-19. Jogo Tonggo juga bisa
mengajak PKK, Dasa Wisma, posyandu, tokoh agama, kalangan intelektual, dan
lain-lain agar melakukan edukasi lebih gencar kepada setiap keluarga tentang
gejala awal serta harus berani lapor untuk dites. Agar tidak takut dites dan
dicap stigma negatif, perlu penjelasan bahwa siapa pun bisa kena Covid-19,
termasuk pejabat dan artis, misalnya, dan agar warga tidak takut kehilangan
pendapatan, perlu dipikirkan bantuan sosial selama isolasi bagi warga miskin,
dan seterusnya. Di Jogo Tonggo ada
pos/tempat untuk dituju untuk laporan/bertanya (paran jujugan) yang
dikoordinasikan dengan berbagai lembaga yang ada di desa, mengingat adanya
banyak program dari pemerintah pusat/daerah. Demikian pula Jogo Tonggo
profesi (pasar, kantor, industri/pabrik, tempat publik lain), dan komunitas
(keluarga, tempat ibadah). Tidak lupa pemerintah harus memberikan insentif
atau fasilitas dukungan pada komunitas Jogo Tonggo. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar