Rabu, 16 Juni 2021

 

Dilema Pengenaan PPN Sembako

Inayati ;  Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

KOMPAS, 16 Juni 2021

 

 

                                                           

Beberapa hari terakhir ini media massa dan media sosial diramaikan oleh berbagai komentar tentang rencana pemerintah untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai atas sembilan bahan kebutuhan pokok atau sembako.

 

Sebagian besar masyarakat memberikan pernyataan negatif terhadap rencana yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

 

Dalam draf yang beredar tersebut, pengaturan dalam Pasal 4A Ayat 2 UU No 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) tentang ”barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak” sebagai jenis barang yang tidak dikenai PPN telah dihapus. Dengan kata lain, apabila RUU ini disahkan, maka atas penyerahan barang kebutuhan pokok (sembako) menjadi terutang PPN.

 

Keunggulan PPN dan mesin uang pemerintah

 

Secara konseptual, PPN dianggap memiliki keunggulan antara lain tidak menimbulkan akumulasi beban pajak (cascading effect) sepanjang mata rantai produksi dan distribusi obyek PPN. Pemungutan PPN dianggap tidak mengganggu efisiensi, bersifat netral atau tidak mendistorsi dunia usaha karena hanya dipungut atas nilai tambah saja.

 

Hal ini dimungkinkan karena PPN menganut mekanisme pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan pada saat memperhitungkan pajak terutang yang akan disetorkan oleh wajib pajak. Namun, yang perlu diperhatikan adalah beban PPN sepenuhnya akan ditanggung oleh masyarakat sebagai konsumen akhir (destinaris) karena tidak dapat menggunakan skema pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.

 

Dengan demikian, menjadi jelas pemungutan PPN atas sembako akan menambah beban yang harus ditanggung oleh masyarakat di tengah semakin beratnya beban hidup sebagai dampak pandemi Covid-19.

 

PPN juga memiliki karakteristik bersifat umum (general) dalam arti PPN dapat dipungut atas seluruh konsumsi barang dan/atau jasa di dalam negeri tanpa kecuali. Konsep ini diaplikasikan dalam UU PPN saat ini berupa pengaturan yang bersifat negative list atau hanya mengatur obyek PPN yang dikecualikan atau diberikan insentif saja.

 

Dengan kata lain, PPN merupakan jenis pajak yang memiliki basis pengenaan pajak yang luas sehingga memiliki potensi besar sebagai sumber penerimaan negara. Mengacu pada karakteristik ini, tidak heran apabila PPN menjadi mesin penghasil uang yang efektif bagi pemerintah di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

 

Keberpihakan pemerintah

 

Di tengah kecenderungan rendahnya rasio pajak dan realisasi penerimaan pajak beberapa tahun terakhir, memperluas basis PPN dengan cara memungut PPN atas sembako merupakan alternatif yang bisa dianggap masuk akal dan cara yang mudah bagi pemerintah.

 

Sebenarnya ada alternatif lain bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak, selain memungut PPN atas sembako. Pemerintah bisa melakukan pengaturan kembali pembebasan atau insentif PPN yang diberikan untuk barang-barang tak esensial sehingga mengurangi kebijakan belanja pajak (tax expenditure) yang tak perlu sekaligus mendorong peningkatan penerimaan.

 

Selain itu, pemerintah juga dapat menghapus sejumlah regulasi pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) agar PPnBM dapat kembali pada fungsinya untuk mengendalikan kecenderungan masyarakat mengonsumsi barang mewah.

 

Pengaturan kembali (penyederhanaan dan pembatasan) kebijakan insentif PPN dan PPnBM dengan fokus pada kebutuhan primer masyarakat selain berpotensi meningkatkan penerimaan pajak, juga dapat menjadi instrumen komunikasi politik yang baik kepada masyarakat karena menunjukkan bukti keberpihakan dan kehadiran negara saat masyarakat mengalami kesulitan hidup.

 

Desain kebijakan pajak yang berpihak pada masyarakat berperan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai salah satu faktor yang mendukung kepatuhan wajib pajak pada masa akan datang.

 

Pajak untuk kesejahteraan

 

Pajak, termasuk PPN, merupakan pungutan wajib yang dapat dipaksakan dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, pada dasarnya pajak dipungut dengan tujuan untuk menyejahterakan, bukan menyengsarakan masyarakat.

 

Pilihan kebijakan untuk memungut atau tak memungut PPN atas sembako atau kebutuhan primer lain pada dasarnya refleksi keseriusan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi amanah konstitusi serta alasan negara Republik Indonesia didirikan para pendiri negara ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar