Project
Multatuli, Sebuah Janji Inovasi Ignatius Haryanto ; Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia
Nusantara |
KOMPAS, 20 Juni 2021
Awal Juni kemarin,
hadirlah sebuah situs berita baru di Indonesia bernama Project Multatuli
(projectmultatuli.org). Salah satu pendirinya, Evi Mariani, yang pernah
menjadi redaktur pelaksana di koran The Jakarta Post, mengatakan bahwa nama
Multatuli dipilih karena ia sosok yang mengangkat kisah orang pinggiran,
kisah orang yang tak bisa bersuara untuk didengar di permukaan. Multatuli adalah nama pena
Eduard Douwes Dekker, penulis buku Max Havelaar. Dia seorang humanis yang
simpati pada penderitaan masyarakat Hindia Belanda atas kolonialisasi yang
dilakukan negeri asalnya. Pada situs web Project
Multatuli tertuliskan manifesto: ”Project Multatuli ini adalah sebuah
inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara
dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang
disisihkan”. Evi Mariani dalam pidato
pembukaannya juga menyebutkan, ”Project Multatuli adalah sebuah gerakan
jurnalisme publik yang dibangun saat pandemi, di tengah meningkatnya
polarisasi politik dan konservatisme, dan kemunduran demokrasi. Kami lahir
sebagai otokritik terhadap industri media di Indonesia yang didominasi oleh
pengusaha-pengusaha yang dekat dengan penguasa dan didominasi praktik-praktik
jurnalisme yang disetir pasar yang memaksa jurnalis mengejar klik semata
sehingga abai terhadap jurnalisme yang berkualitas. Industri media di
Indonesia adalah bagian dari status quo yang lebih banyak melayani elite, dan
didominasi perspektif laki-laki serta bias perkotaan.” Hari ketiga bulan Juni
tersebut, Project Multatuli ini resmi menerbitkan liputannya dan ditandai
dengan webinar dengan menggamit akademisi dari Australia, serta aktivis dari
kelompok pemuda adat Nusantara, serta aktivis dari masyarakat miskin kota.
Pada hari itu para pembaca sudah bisa mencecap jurnalisme seperti apa yang
ditawarkan oleh Project Multatuli ini. Ada dua liputan yang sudah
terbit. Pertama, esai foto tentang warga Baduy menjaga diri terhadap
Covid-19. Kedua adalah liputan terhadap seorang perempuan pengemudi ojek
daring yang justru bekerja pada hari Idul Fitri. Dua topik ini menggambarkan
sebuah dunia yang jarang diliput media. Media yang meliput selama ini hanya
tertarik pada kulit permukaan saja (masalah merger dua perusahaan start up
raksasa, konflik antara pengemudi dan pengelola jasa daring terkait soal
tarif layanan, kesejahteraan) sedangkan untuk masalah masyarakat adat, ia ada
tetapi sering dianggap tak ada. Kearifan lokal yang sering
menjadi pembicaraan di seminar-seminar dibuktikan langsung dengan melihat di
lapangan, bagaimana kearifan lokal itu justru melindungi masyarakat Baduy
dari terpaan virus Covid-19. Kita di wilayah Jabodetabek mungkin kerap
menertawakan jika di jalan melihat dua orang berpakaian hitam dengan ubel di
kepala bertelanjang kaki menyusuri jalan aspal. Mereka terlihat khas dengan
tas tradisional anyaman, serta botol berisikan madu alam, hendak menemui
pembeli. Itulah wajah orang Baduy yang sejauh ini dikenali ”orang Jakarta”. Liputan soal perempuan
pengemudi ojek daring (”Lebaran bersama Latifah, Menempuh 184 Km Mengantar Paket”)
adalah contoh bagaimana ”jurnalisme sol sepatu” (istilah yang digunakan
Sindhunata dalam kata pengantar buku Kartono Riyadi, dan juga istilah yang
digunakan Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sosial Mei 2021) sungguh
dilakukan untuk mendapatkan gambaran sejelas-jelasnya di lapangan. Tulisan ini sendiri
tergolong mewah. Tulisan sepanjang lebih dari tiga ribu kata ini adalah suatu
kemewahan yang makin sukar ditemui dalam produk jurnalistik hari ini. Panjang
tulisan yang demikian memberikan kita kepuasan atas detail-detail yang
dihadapi oleh seorang perempuan orangtua tunggal dari lima anak untuk
mengantar paket ke sudut-sudut Jabodetabek. Kita sebagai pembaca perlu
bersabar untuk tidak buru-buru mengklik halaman lain sebuah situs. Penulis
dan fotografer membuntuti Latifah selama hari pertama Lebaran kemarin dan
perjalanan sehari itu ternyata mencapai 184 Km. Di sini penulis jadi
teringat dengan majalah Pantau, majalah yang pernah terbit pada tahun
2001-2004, dan sempat menjadi salah satu oase untuk sebuah liputan-liputan
panjang. Sayang media ini tak bertahan lama, tetapi tulisan panjang yang
pernah dimuat Pantau, tetap dikenang walau telah ditulis hampir dua dekade
yang lalu. Dalam percakapan di
webinar awal Juni itu, Evi Mariani mengatakan bahwa Project Multatuli
menganut prinsip slow journalism, sebagai lawan jurnalisme yang serba cepat,
instan, tanpa detail penjelasan ataupun reportase yang cukup, dan berhubung
buru-buru, apa yang disampaikan sering salah juga. Dengan pendekatan slow
journalism, Project Multatuli berharap bisa menawarkan kedalaman dalam
liputannya. Persis inilah jurnalisme yang diharapkan saat ini. Dukungan
publik Tanpa malu Project
Multatuli mengatakan bahwa mereka membutuhkan dukungan publik dalam arti
donasi, berlangganan, selain mengharapkan dana dari donor, ataupun dari hasil
jual jasa para pengelolanya. Dalam hal dukungan publik
seperti ini memang akan bisa menjadi tantangan besar. Seperti ada pemeo di
kalangan masyarakat: yang ada di internet itu semuanya gratis. Padahal
sesungguhnya tidak demikian juga. Barang yang berkualitas dan dihasilkan
lewat kerja keras ya memang harus dihargai, dan barang seperti ini tidak
tersedia di banyak tempat. Oleh karena itu, menghargai kerja jurnalistik
semacam ini untuk menghasilkan informasi yang baik dan berguna tentu harus
didukung. Sama seperti banyak media
mulai menerapkan pembayaran untuk masyarakat mengakses beritanya, berangkat
dari pengandaian yang sama: apa yang ditawarkannya berbeda dari media
kebanyakan. Ia menawarkan konten yang lebih dalam, lebih analitis, lebih
eksklusif. Banyak model bisnis media di dunia menuju arah ke sana, walau
Reuters Institute pernah mengingatkan dalam laporan Digital News Report tahun
2019 bahwa pembaca bisa dilanda subscription fatigue, kejenuhan untuk
berlangganan. Dukungan publik akan
sukses sejauh ada kepercayaan (trust) dari masyarakat terhadap media
tersebut, dan dari situ publik diharapkan tergerak untuk mendukungnya.
Seberapa model bisnis seperti ini akan sukses di Indonesia, waktu pulalah yang
akan mengujinya. Namun untuk sementara ini, kita berharap karya jurnalistik
yang baik serta memberi ruang kepada mereka yang termarjinalkan akan terus
kita dapat dari Project Multatuli. Kita tentu berharap
inisiatif seperti Project Multatuli ini akan berumur panjang, dan inisiatif
serupa lebih banyak, dan pada akhirnya publik juga yang akan dapat manfaat
dari hadirnya karya-karya jurnalistik yang berkualitas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar