Menjadi
Kawan di Era Disinformasi Sutta Dharmasaputra ; Pemimpin Redaksi Harian Kompas |
KOMPAS, 21 Juni 2021
Hari ulang tahun selalu
diperingati. Sebuah kehidupan berawal dari sana. Dari tiada menjadi ada.
Refleksi diri pun menemukan momentumnya. Merenungkan sejauh mana telah
berjalan, konsisten menjaga arah, mengoreksi jika bergeser, atau harus
berbalik apabila sudah salah arah. Harian Kompas pada 28 Juni
2021 pun berulang tahun. Berawal dari dering sebuah telepon Letnan Jenderal
Ahmad Yani yang kala itu Menteri Panglima Angkatan Darat kepada Frans Seda,
Menteri Perkebunan di Kabinet Dwikora I yang juga Ketua Partai Katolik. Yani
mengusulkan kepada Seda untuk membuat surat kabar guna mengimbangi informasi
yang saat itu sudah banyak yang dipolitisasi. Yayasan Bentara Rakyat pun
dibentuk. Pengurusnya terdiri dari IJ Kasimo (Ketua), Drs Frans Seda (Wakil
Ketua), FC Palaunsuka (Penulis I), Drs Jakob Oetama (Penulis II), dan PK
Ojong (Bendahara). Semula, harian ini akan diberi nama Bentara Rakyat. Namun,
ketika Frans Seda menghadap Bung Karno dan melaporkan nama harian yang akan
terbit, Bung Karno mengusulkan nama lain. ”Sambil tersenyum beliau
memandang saya. Aku akan memberi nama yang lebih bagus…. Kompas! Tahu, toh,
apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan
rimba!” Setelah dibicarakan dengan
Redaksi dan Yayasan, nama Bentara Rakyat yang sudah disiapkan pun diubah.
Setelah itu ditentukan sifat harian yang harus bersifat independen, berusaha
menggali berita sendiri karena banyak sumber berita saat itu sudah
”diverpolitisir”, mengimbangi secara aktif pengaruh komunis dan
kawan-kawannya, dengan tetap berpegang pada kebenaran, kecermatan sesuai
profesi dan moral pemberitaan (Helen Ishwara, ”PK Ojong, Hidup Sederhana
Berpikir Mulia”). Digawangi Jakob Oetama dan
PK Ojong, Kompas yang bermula dari modal kecil Rp 100.000 dan bekerja di
ruang sempit, menumpang di kantor Intisari, terus mengabarkan informasi
kepada pembacanya. Roda mesin percetakan pun
terus berputar setiap hari melewati banyak era. David T Hill, Profesor Studi
Asia Tenggara di Murdoch University, menyebut Kompas sebagai koran tiga
zaman. Didirikan tahun 1965 pada masa Presiden Soekarno, menjadi koran
terkemuka pada zaman Orde Baru, bertahan sebagai koran paling prestisius
selama era Reformasi. Era
disinformasi Kini, harian Kompas pun
memasuki sebuah era revolusi teknologi informasi. Sebuah era yang
memungkinkan siapa pun bisa memproduksi informasi, memublikasikannya, juga
menyebarkannya secara masif di platform digital. Informasi membanjir. Ada
yang menyebutnya sebagai information overload, infobesity era, bahkan
information explosion era. Sedemikian melimpahnya
informasi, maka kebenaran, kabar bohong, dan berita palsu pun bercampur aduk.
Era informasi berubah menjadi era disinformasi. Perkembangan masyarakat
yang semakin mengglobal menambah kompleksitas. Mantan Menteri Pendidikan
Daoed Joesoef menyebut, untuk merespons situasi kompleks yang tak terhingga
ini, infinitely complex, diperlukan makroskop. Cara kita melihat, memahami,
dan bertindak harus dengan cara baru yang merupakan gabungan metode dan
teknikalitas yang berasal dari aneka disiplin. Pandemi Covid-19 yang
memorakporandakan seluruh tatanan dengan sangat cepat dan masif membuat
situasi menjadi lebih kompleks lagi. Kompas yang dilahirkan
dengan visi besar, yaitu memberi arah dan jalan dalam mengarungi ”lautan” dan
”hutan rimba”, memiliki tantangan yang tidak ringan. Kami pun menyadari harus
terus berbenah dan bertransformasi agar bisa menyajikan informasi yang
menjawab kebutuhan tersebut. Meningkatkan kualitas
jurnalisme untuk memandu masyarakat mendapatkan informasi yang penting dan
inspiratif di era revolusi teknologi informasi serta post truth terus menjadi
tekad kami. Kami akan terus berupaya mengembangkan jurnalisme solusi dengan
memadukan jurnalisme berkedalaman, jurnalisme data, dan jurnalisme makna. Moto ”Amanat Hati Nurani
Rakyat” juga menjadi pengingat untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan dan terwujudnya keadilan sosial. Prof Dr Ignatius Kardinal
Suharyo Hardjoatmodjo Pr saat perayaan 50 tahun Kompas mengingatkan bahwa
humanisme transendental dilaksanakan secara nyata dengan menghormati
kehidupan, menjunjung tinggi martabat manusia, memperjuangkan kesejahteraan
umum, memperluas semangat solidaritas, dan memberi perhatian lebih kepada
sesama yang kurang beruntung. Prof Dr Buya Ahmad Syafii
Maarif pun berpesan supaya Kompas tetap berada di jalur sosialisme demokrat
untuk bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sepaham berjuang keras tanpa
letih demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tema Hari Ulang Tahun
Ke-56 Kompas melanjutkan tema tahun lalu, yaitu ”Kawan dalam Perubahan”. Kami
menyadari, tanpa kepercayaan dan dukungan para mitra dan pembaca, kami tidak
bisa berbuat banyak. Karena itu, dengan rasa hormat, perkenankan kami
menyampaikan terima kasih. Perjalanan panjang ini
sungguh anugerah dan menjadi bekal untuk menelusuri lorong-lorong waktu
berikutnya. Mohon doa restu untuk terus menapaki perjalanan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar