Jumat, 18 Juni 2021

 

Titik Lonjakan Covid-19

Hari Kusnanto ;  Guru Besar, Departemen Kedokteran Keluarga dan Komunitas, FKKMK UGM

KOMPAS, 17 Juni 2021

 

 

                                                           

Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, setelah mobilitas masyarakat dan kerumunan meningkat, jumlah kasus Covid-19 melonjak. Kenyataan ini diperparah oleh merebaknya varian-varian SARS-CoV-2 yang lebih mengancam (variant of concern).

 

Hasil penyelidikan epidemiologis mengungkapkan bahwa B117 (berawal dari Inggris), B1351 (pertama ditemukan di Afrika Selatan), dan B1617 (penyebab gelombang penularan yang dahsyat di India) mampu menyebar dengan cepat.

 

Varian B117 dan B1617 diperkirakan mengakibatkan risiko kematian lebih tinggi.

 

Sementara varian B1351, P1 (awalnya dideteksi di Brasil) dan B1617 (Delta) kemungkinan mampu lolos dari antibodi yang menetralisasi virus sehingga mengurangi efektivitas vaksin.

 

Kasus-kasus baru Covid-19 yang sempat menggemparkan di Kudus, Jawa Tengah, sudah mengalami penurunan. Namun, pemerintah setempat beserta masyarakat terus mencermati penyebaran Covid-19 ke Demak, Pati, Grobogan, dan Sragen.

 

Perhatian atas kasus-kasus di Kudus datang dari masyarakat luas, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat, bahkan juga dari komunitas yang tinggal di provinsi lain.

 

Solidaritas sosial yang menyertai kewaspadaan atas potensi penularan Covid-19 merupakan kekuatan dalam merespons lonjakan kasus di Kudus dan sekitarnya.

 

Masyarakat juga mencermati penularan yang meningkat di luar Jawa-Bali, seperti di Kalimantan Timur dan Riau.

 

Pelajaran dari negara lain

 

Penanganan Covid-19 di Taiwan sejak awal pandemi selalu mendapat pujian. Penutupan perbatasan wilayah negara, penangkalan kedatangan wisatawan asing, karantina, pelacakan, testing, dan isolasi yang diterapkan secara ketat berhasil meminimalkan jumlah kasus Covid-19.

 

Sekian lama terhindar dari penularan Covid-19 yang meluas, sementara negara-negara lain porak-poranda oleh penyakit dan kematian akibat pandemi, membuat Taiwan lengah. Rumah sakit tidak lagi melakukan testing pasien yang bergejala mirip Covid-19.

 

Masyarakat terlalu percaya pada benteng kuat yang mengelilingi wilayah Taiwan yang rasanya tak mungkin tertembus virus dari luar. Virus selalu mampu memanfaatkan jalur penularan untuk melanggengkan spesiesnya jika manusia memberinya kesempatan.

 

Pemerintah Taiwan melonggarkan persyaratan karantina bagi pilot yang datang dari negara lain, dari semula 14 hari kurungan dikurangi menjadi lima hari, bahkan kemudian cukup tiga hari saja. Kluster pilot terpapar oleh varian B117 yang menular dengan cepat ke masyarakat, merambah ke tempat-tempat hiburan dengan kerumunan orang menjadi mangsa empuk penyebaran virus.

 

Di Singapura, petugas bandara menjadi sumber penularan bagi masyarakat luas, meskipun masih bisa dikendalikan dengan baik, karena kepatuhan masyarakat dalam protokol kesehatan dan kedisiplinan petugas kesehatan dalam melakukan pelacakan dan testing.

 

Korea Selatan sampai sekarang belum pernah melakukan lockdown, tetapi masyarakat dan pemerintah patuh atas kewajiban masing-masing. Jumlah kasus 500 orang dengan tingkat kematian kurang dari lima orang per hari mungkin belum ideal, tetapi Korsel dipercaya mampu mengendalikan penularan Covid-19 melalui keterbukaan informasi dan transparansi atas kondisi pandemi dan respons efektif atas penularan virus.

 

Industri kesehatan Korsel digerakkan dengan cepat mengembangkan dan memproduksi sarana testing sejak awal pandemi.

 

Jepang masih berkutat dengan proses vaksinasi yang lambat dan keengganan masyarakat bekerja dari rumah. Kasus-kasus Covid-19 masih naik turun dari 1.000 kasus menuju 6.000 kasus per hari tanpa berhasil mencapai stabilitas jumlah kasus yang rendah.

 

Strategi mengandalkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan (self-restraint) tanpa intervensi pemerintah atas perilaku masyarakat tak cukup berhasil untuk mencegah penularan. Swedia dengan strategi mirip Jepang juga tidak mampu menghentikan laju penularan, walaupun pencapaian vaksinasi lebih baik dari Jepang.

 

Titik lonjakan

 

Mengapa lonjakan kasus terjadi? Dalam buku The Tipping Point, Malcolm Gladwell menjelaskan bagaimana perubahan sosial mencapai critical mass, ibarat pandemi virus yang menyebar luas dengan cepat.

 

Dengan analogi Gladwell, terdapat tiga faktor yang mampu menghadirkan titik lonjakan kasus Covid-19.

 

Pertama, peran segelintir elemen penularan (the law of the few) seperti individu yang menularkan virus secara efisien (superspreader), segelintir varian virus yang menyebar dengan lebih cepat, dan sumber penularan yang lolos dari ”penjagaan”, seperti pilot asing yang singgah di Taiwan.

 

Faktor kedua, bagaimana pesan tentang pengendalian pandemi melekat di benak masyarakat (stickiness).

 

Seberapa mudah vaksinasi dan protokol kesehatan untuk memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan membatasi bepergian diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat? Jika pelaksanaan protokol kesehatan dan program vaksinasi masih sulit terwujud, ledakan kasus Covid-19 tak terelakkan.

 

Faktor ketiga, konteks yang diwarnai kondisi sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat atau negara. Potensi solidaritas sosial yang dimiliki bangsa Indonesia dapat menjadi pendukung kesetiakawanan dan gotong royong untuk membantu masyarakat di daerah lain yang dilumpuhkan oleh penularan Covid-19.

 

Sebaliknya, budaya post-modernisme di Swedia yang memberikan kebebasan pada warganya untuk memakai masker atau tidak, cuci tangan atau tidak, sebagai konsekuensi prinsip-prinsip pluralisme, kesadaran diri, dan relativisme moral yang dari perspektif pandemi, memungkinkan terjadi lonjakan penularan Covid-19. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar