Rabu, 23 Juni 2021

 

Karyawan

Samuel Mulia ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu

KOMPAS, 20 Juni 2021

 

 

                                                           

Saya sedang duduk-duduk bersama sahabat lama, ingin melepas rindu sambil melihat indahnya pantai Pulau Bali dan kerinduan justru hadir di pulau ini. Entah mengapa kualitas hidup saya selalu menjadi lebih baik kalau berada di tempat ini.

 

Teman-teman yang saya temui atau yang melihat foto-foto saya di media sosial selalu berkata: ”Kulitmu bersinar dan kelihatan sehat dan muda.”

 

Iba

 

Sore itu kami berbincang-bincang cukup lama sampai waktunya kami harus beranjak pulang. Pelayan memberi bon dan kami membayarnya. Saat itulah saya menanyakannya bagaimana keadaan rumah makan selama pandemi yang masih berlangsung hingga sekarang ini.

 

Ia menjelaskan, situasi sekarang ini sudah sedikit lebih baik ketimbang kondisi setahun lalu. ”Tetapi, ya gitu, Mas. Saya kasihan sama bos saya. Mereka masih harus nalangin untuk urusan operasional. Meski keadaan resto sudah lebih baik, tapi belum mencukupi.”

 

”Saya itu kasihan kalau lihat Bapak sama Ibu. Mereka, kan, juga membutuhkan uang untuk kehidupan dan kebutuhan mereka. Maka kami di sini bersepakat bekerja lebih rajin agar dapat membantu mereka.” Angin pantai sore itu bertiup sepoi-sepoi menyejukkan, tetapi benak saya jauh dari sejuk mendengar penjelasannya sore itu.

 

Pertama kali dalam hampir 40 tahun bekerja, baik sebagai karyawan maupun pemilik perusahaan, belum pernah saya mendengar barang sedetik pun, kalau ada karyawan yang merasa iba dan sangat memedulikan kondisi pemilik perusahaan agar mereka tidak menjadi sengsara karena situasi yang sebetulnya di luar batas tanggung jawab mereka.

 

Sore itu saya tak cuma geleng kepala, tetapi juga malunya setengah mati, perasaan tersindir langsung menyelip masuk ke dalam hati. Perasaan campur aduk itulah yang saya rasakan sore itu. Sambil berjalan kaki menuju ke luar hotel legendaris dan eksotis itu, saya melayangkan lamunan pada masa menjadi karyawan.

 

Pertanyaan datang bertubi-tubi dalam kepala. Sebagai karyawan apakah saya peduli dengan pemilik perusahaan? Apakah saya turut merasakan kebutuhan mereka kalau seandainya usaha tidak berjalan dengan semestinya?

 

Apakah saya dan kawan-kawan mau bersepakat bekerja lebih keras agar perusahaan maju, pemilik perusahaan tak kehilangan usahanya, dan pada akhirnya menyejahterakan saya sebagai karyawan?

 

Tidak iba

 

Mau tahu jawabannya? Saya yakin Anda sudah tahu. Tentu tidak. Tidak sama sekali. Sebagai karyawan saya tak peduli. Hal yang saya pedulikan adalah saya, saya, dan saya. Saya berprestasi untuk saya, bukan untuk perusahaan meski menggunakan fasilitas mereka.

 

Saya menuntut kenaikan upah dan sejuta permintaan karena saya telah bekerja dengan luar biasa. Saya menggunakan mobil kantor untuk urusan pribadi, mampir sebentar ke sana dan kemari dalam jam kerja. Saya bahkan mencetak surat lamaran di mesin cetak perusahaan tanpa ada rasa bersalah.

 

Saya tak peduli dengan tenggat. Saya membiarkan atasan yang panik kalau tenggat sudah terlewati. Bahkan saya berpikir upah atasan saya jauh lebih besar, jadi biarkan itu menjadi urusannya. Panik adalah bagian dari diberikan upah besar.

 

Saya bekerja sampai larut malam tanpa berpikir listrik yang mereka harus bayar. Saya tak peduli berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk pembayaran telepon. Kalau itu pun semua untuk kepentingan kemajuan usaha, saya selalu berpikir itu sudah menjadi tanggung jawab mereka.

 

Sudah sewajarnya mereka mempersiapkan dana yang cukup dan mampu untuk dapat melangsungkan jalannya usaha. Sebagai karyawan itu bukan tanggung jawab saya, itu tidak tertulis dalam kontrak kerja.

 

Maka sore itu, ketika saya mendengar cerita karyawan rumah makan yang memedulikan pemilik perusahaan dan merasa kasihan dan memikirkan kebutuhan hidup mereka, saya malunya setengah mati. Saya yang katanya mengenyam pendidikan tinggi, tak dapat berpikir sesederhana dan sedalam itu. Mungkin karena saking tingginya pendidikan itu.

 

Selama saya menjadi karyawan, saya tak pernah merasa iba, apalagi terlintas memikirkan kelangsungan hidup pemilik perusahaan kalau-kalau usaha ini tak berjalan seperti mestinya. Saya tak pernah memberi ide kepada sesama kolega kerja untuk bekerja lebih rajin agar perusahaan dapat maju. Bagaimana mau memberi ide itu kalau berpikir untuk rajin saja tak ada sama sekali.

 

Saya berjalan pulang, melintas hari yang semakin gelap. Saya malu tak bisa seperti si mbak karyawan rumah makan itu. Saya hanya bisa menyesal dan menikmati nasi yang telah menjadi bubur. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar