Karyawan Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu |
KOMPAS, 20 Juni 2021
Saya sedang duduk-duduk
bersama sahabat lama, ingin melepas rindu sambil melihat indahnya pantai Pulau
Bali dan kerinduan justru hadir di pulau ini. Entah mengapa kualitas hidup
saya selalu menjadi lebih baik kalau berada di tempat ini. Teman-teman yang saya
temui atau yang melihat foto-foto saya di media sosial selalu berkata:
”Kulitmu bersinar dan kelihatan sehat dan muda.” Iba Sore itu kami
berbincang-bincang cukup lama sampai waktunya kami harus beranjak pulang.
Pelayan memberi bon dan kami membayarnya. Saat itulah saya menanyakannya
bagaimana keadaan rumah makan selama pandemi yang masih berlangsung hingga
sekarang ini. Ia menjelaskan, situasi
sekarang ini sudah sedikit lebih baik ketimbang kondisi setahun lalu.
”Tetapi, ya gitu, Mas. Saya kasihan sama bos saya. Mereka masih harus
nalangin untuk urusan operasional. Meski keadaan resto sudah lebih baik, tapi
belum mencukupi.” ”Saya itu kasihan kalau
lihat Bapak sama Ibu. Mereka, kan, juga membutuhkan uang untuk kehidupan dan
kebutuhan mereka. Maka kami di sini bersepakat bekerja lebih rajin agar dapat
membantu mereka.” Angin pantai sore itu bertiup sepoi-sepoi menyejukkan,
tetapi benak saya jauh dari sejuk mendengar penjelasannya sore itu. Pertama kali dalam hampir
40 tahun bekerja, baik sebagai karyawan maupun pemilik perusahaan, belum
pernah saya mendengar barang sedetik pun, kalau ada karyawan yang merasa iba
dan sangat memedulikan kondisi pemilik perusahaan agar mereka tidak menjadi
sengsara karena situasi yang sebetulnya di luar batas tanggung jawab mereka. Sore itu saya tak cuma
geleng kepala, tetapi juga malunya setengah mati, perasaan tersindir langsung
menyelip masuk ke dalam hati. Perasaan campur aduk itulah yang saya rasakan
sore itu. Sambil berjalan kaki menuju ke luar hotel legendaris dan eksotis
itu, saya melayangkan lamunan pada masa menjadi karyawan. Pertanyaan datang bertubi-tubi
dalam kepala. Sebagai karyawan apakah saya peduli dengan pemilik perusahaan?
Apakah saya turut merasakan kebutuhan mereka kalau seandainya usaha tidak
berjalan dengan semestinya? Apakah saya dan
kawan-kawan mau bersepakat bekerja lebih keras agar perusahaan maju, pemilik
perusahaan tak kehilangan usahanya, dan pada akhirnya menyejahterakan saya
sebagai karyawan? Tidak
iba Mau tahu jawabannya? Saya
yakin Anda sudah tahu. Tentu tidak. Tidak sama sekali. Sebagai karyawan saya
tak peduli. Hal yang saya pedulikan adalah saya, saya, dan saya. Saya
berprestasi untuk saya, bukan untuk perusahaan meski menggunakan fasilitas
mereka. Saya menuntut kenaikan
upah dan sejuta permintaan karena saya telah bekerja dengan luar biasa. Saya
menggunakan mobil kantor untuk urusan pribadi, mampir sebentar ke sana dan
kemari dalam jam kerja. Saya bahkan mencetak surat lamaran di mesin cetak
perusahaan tanpa ada rasa bersalah. Saya tak peduli dengan
tenggat. Saya membiarkan atasan yang panik kalau tenggat sudah terlewati.
Bahkan saya berpikir upah atasan saya jauh lebih besar, jadi biarkan itu
menjadi urusannya. Panik adalah bagian dari diberikan upah besar. Saya bekerja sampai larut
malam tanpa berpikir listrik yang mereka harus bayar. Saya tak peduli berapa
biaya yang harus mereka keluarkan untuk pembayaran telepon. Kalau itu pun
semua untuk kepentingan kemajuan usaha, saya selalu berpikir itu sudah
menjadi tanggung jawab mereka. Sudah sewajarnya mereka
mempersiapkan dana yang cukup dan mampu untuk dapat melangsungkan jalannya
usaha. Sebagai karyawan itu bukan tanggung jawab saya, itu tidak tertulis
dalam kontrak kerja. Maka sore itu, ketika saya
mendengar cerita karyawan rumah makan yang memedulikan pemilik perusahaan dan
merasa kasihan dan memikirkan kebutuhan hidup mereka, saya malunya setengah
mati. Saya yang katanya mengenyam pendidikan tinggi, tak dapat berpikir
sesederhana dan sedalam itu. Mungkin karena saking tingginya pendidikan itu. Selama saya menjadi
karyawan, saya tak pernah merasa iba, apalagi terlintas memikirkan
kelangsungan hidup pemilik perusahaan kalau-kalau usaha ini tak berjalan
seperti mestinya. Saya tak pernah memberi ide kepada sesama kolega kerja
untuk bekerja lebih rajin agar perusahaan dapat maju. Bagaimana mau memberi
ide itu kalau berpikir untuk rajin saja tak ada sama sekali. Saya berjalan pulang,
melintas hari yang semakin gelap. Saya malu tak bisa seperti si mbak karyawan
rumah makan itu. Saya hanya bisa menyesal dan menikmati nasi yang telah
menjadi bubur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar